Palembang (ANTARA) - Kisah klasik tentang petani terbelit utang dengan bunga di luar kewajaran kini berlalu sudah. Wawan Darmawan, petani di Desa Sumber Mulya, Kecamatan Muara Telang, Kabupaten Banyuasin, Sumatera Selatan, berhasil lepas dari jerat rentenir berkat program mengubah nasib ala PT Pertamina.
Sinar mentari sangat terik di Desa Sumber Mulya, Jumat (27/9/2019) siang, tetapi tidak mengusik semangat Wawan Darmawan (56), yang tengah serius memberi arahan kepada pekerja yang sedang membajak sawah miliknya menggunakan traktor tangan.
“Petani masa kini, tidak harus nyangkul,” seloroh Wawan membuka perbincangan kala dijumpai di tengah kesibukannya.
Wawan adalah satu dari 80 petani di Kecamatan Muara Telang, Kabupaten Banyuasin, Sumatera Selatan (Sumsel), yang mendapat bantuan pinjaman modal Program Kemitraan PT Pertamina (Persero) Wilayah Sumatera Bagian Selatan.
Saking berterima kasih pada program ini, Wawan sampai menyebutnya sebagai program mengubah nasib petani.
Tidak berlebihan kiranya sebutan itu mengingat masa-masa sulit yang harus dilalui Wawan sebelumnya. Kesulitan itu dimulai pada 2000, kala Wawan memutuskan berhenti bekerja dari sebuah perusahaan kayu lapis yang telah dijalaninya selama 17 tahun.
Sejak itu praktis ia sama sekali tidak memiliki penghasilan tetap. Keputusannya berhenti bekerja sempat dicemooh orang-orang di sekitarnya karena dinilai bodoh mengingat setelah itu ia tidak memiliki mata pencarian lagi. Wawan dan warga lain di desa ini merupakan generasi kedua dari keluarga transmigrasi tahun 1979, yang pada umumnya hanya mempunyai dua profesi yakni bertani atau menjadi buruh pabrik.
Dorongan melepas predikat buruh pabrik tak lain karena Wawan ingin “move on” dari kehidupan yang dinilainya sama sekali tidak memberikan sumbangsih meski sudah 17 tahun mengabdi di perusahaan tersebut.
“Saya kerja di pabrik itu hasilnya nol besar, sama sekali tidak ada kepedulian perusahaan untuk kesejahteraan kami. Lepas memimpin demo, saya langsung keluar,” kata pria yang ayahnya merupakan transmigran asal Bandung, Jawa Barat, ini.
Lantaran setiap keluarga transmigrasi memiliki lahan sawah pemberian pemerintah seluas 4 - 5 hektare, Wawan mulai berpikir untuk menjadi petani. Namun, ini bukan perkara mudah mengingat ia sama sekali tidak berpengalaman bekerja di sawah. Parahnya, ia pun tak punya modal untuk mulai menggarap lahan.
Keinginan yang kuat untuk bangkit dari keterpurukan membuat Wawan akhirnya nekat meminjam uang ke ‘Bank Bali,’ istilah yang disematkan kepada tengkulak oleh masyarakat sekitar.
Rupanya, hubungan masyarakat dengan para tengkulak di daerah ini sudah demikian erat, sehingga menjadi hal biasa bagi petani meminjam uang dengan bunga hingga 90 persen. Pengembaliannya pun bukan berupa uang, tapi beras hasil panen di mana petani akhirnya tidak memiliki posisi tawar untuk menetapkan harga.
Wawan yang enggan berurusan dengan perbankan karena takut dengan kewajiban membayar angsuran setiap bulan, malah terjebak jeratan utang pada tengkulak yang pada praktiknya tak ubah seperti rentenir.
Meski tak harus membayar angsuran setiap bulan, namun utang Wawan jelas membengkak. Apalagi pada 2010, Wawan mengalami gagal panen saat padinya diserang wabah patah leher. Kejadian ini sangat membekas di hatinya karena kala itu ia berutang Rp50 juta pada tengkulak untuk modal menggarap 4 hektare sawah yang akhirnya malah diserang hama.
Stres dan kebingungan. Itulah beban yang mengimpit perasaan Wawan setiap mengingat utang yang harus dikembalikan, bukan lagi Rp50 juta melainkan sudah menjadi Rp90 juta. “Saya sempat stres waktu itu, bisa dikatakan ini jadi titik terendah dalam hidup saya,” kata Wawan setelah hampir 10 tahun terjerat rentenir.
Di tengah kemelut hidup yang tidak menentu, Wawan yang supel dan memiliki pergaulan luas, mendapat informasi mengenai Program Kemitraan PT Pertamina. Lewat program itu, Pertamina menyalurkan bantuan modal ke petani di Muara Telang, daerah yang dikenal menjadi sentra produksi beras di Sumatera Selatan. Bantuannya berupa dana segar senilai Rp50 juta sampai Rp100 juta per orang dengan bunga sangat rendah.
“Sebenarnya dibilang bunga, ini bukan bunga karena sifatnya hanya jasa pinjaman 3 persen per tahun dengan perhitungan saldo menurun. Biasanya jika kami pinjam Rp50 juta, hanya bayar lebihnya Rp1 juta,” kata dia.
Berkat program mengubah nasib petani ala Pertamina tersebut, akhirnya Wawan berhasil lepas dari jerat tengkulak pada 2013 setelah selama tiga tahun dia mampu mengangsur utang.
Keberhasilan melewati masa sulit ini membuat Wawan semakin optimistis menatap masa depan. Apalagi pencapaiannya dari hasil bertani sudah melampaui ekspektasi.
Semula, saat beralih profesi menjadi petani, lelaki yang hanya mengenyam pendidikan SD ini tak berkhayal muluk. Anak dan istri dapat makan sehari-hari saja sudah cukup. Ia tak berani bermimpi bisa membiayai sekolah anak-anaknya.
Namun, seiring dengan kemapanan ekonomi ditambah semakin luasnya wawasan dan pergaulan, Wawan berani berharap bisa mencetak generasi intelektual dari keluarga kecilnya.
Jika ditelisik lebih dalam, keinginan Wawan itu juga tak lepas dari karakternya yang senang bergaul dan belajar hal-hal baru. Meski hanya tamat sekolah dasar, ia aktif membangun komunikasi dengan banyak pihak, khususnya yang berkaitan dengan teknologi pertanian rawa.
Sawah di Desa Muara Telang memanfaatkan lahan rawa sehingga pertaniannya menggunakan sistem pasang surut yang sangat mengandalkan air hujan. Tak ada irigasi di desa yang berada pada sebuah delta di tengah-tengah Sungai Musi seluas 60.000 hektare ini.
Walau sudah terbilang berhasil, Wawan tak berhenti mencari hal baru. Pada 2014, ia sukses menjadi inisiator penerapan tiga kali masa tanam. Awalnya ia sempat dikatakan tak waras. “Buat apa tiga kali, itu kasih makan tikus, satu kali saja sudah untung,” kata dia menirukan cemooh warga kala itu.
Namun, berkat keberaniannya memulai hal baru, kini seluruh petani di Kecamatan Muara Telang ikut menerapkan sistem dua kali tanam. Sementara untuk tiga kali tanam, petani-petani setempat masih butuh dorongan.
Setiap panen tiba, Wawan memproduksi sekitar 7 ton beras/hektare sehingga dari total 4 hektare lahan miliknya ia mengumpulkan sekitar 28 ton beras dengan harga jual Rp4.000/Kg.
“Itulah kenapa saya ingin anak-anak saya sekolah. Ke depan, lahan itu sudah sangat terbatas, artinya teknologi yang harus ditingkatkan dan harapan saya anak-anak muda masa kini bisa menjadi petani masa kini juga,” kata dia.
Selain berhasil meningkatkan produksi pertanian di desanya, ketekunan dan kepedulian untuk terus mengembangkan teknologi pertanian di lahan rawa membuat lahan pertanian Wawan kerap dikunjungi peneliti dari dalam dan luar negeri. Tercatat peneliti dari Vietnam, Thailand, Cina, dan Jepang yang pernah menyambanginya.
Berbagai prestasi pun diraih Wawan, seperti beberapa penghargaan dari Dinas Pertanian Provinsi Sumsel dan Kementerian Pertanian (Kementan) RI.
“Saya ini sering diminta Kementan menjadi pembicara soal pertanian, hingga ke Kalimantan. Tapi tetap saja, ada rasa kurang percaya diri dalam diri saya. Saya pun bertekad, anak-anak saya tidak boleh seperti itu,” tegas Wawan yang mengaku sering tak percaya diri karena merasa bukan orang ‘sekolahan’.
Bersama Suharti, istri tercinta, Wawan pun membulatkan tekad untuk meningkatkan pendidikan tiga buah hati mereka. Si sulung, Nur Endah Komala Sari, sekarang tercatat sebagai guru SMA Negeri 1 Terusan Dalam, Banyuasin, setelah menyelesaikan pendidikan di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas PGRI Palembang. Anak kedua masih menuntut ilmu di Universitas Sriwijaya Palembang. Sedangkan si bungsu, Muhammad Wahyudi tengah menuntut ilmu di tingkat madrasah aliyah pada Pondok Pesantren YPPI Al Hidayah Basmol, Cengkareng, Jakarta Barat.
Untuk membiayai pendidikan anak-anak, Wawan menyisihkan setidaknya Rp2 juta hingga Rp3 juta per bulan. Uang sebesar itu sekarang bukan angka yang menakutkan bagi Wawan untuk didapat setiap bulan. Dengan modal yang memadai, cara bertani Wawan pun ikut “move on” dari konvensional beralih ke mekanis memakai mesin sederhana seperti traktor tangan.
Rupanya, apa yang dilakukan Wawan tak sekadar menyelamatkan hidupnya dari belitan utang, namun juga menjadi inspirasi bagi rekan-rekannya sesama petani di Desa Sumber Mulia. Seperti Sutaji dan Siswanto, sahabat Wawan yang akhirnya sama-sama memanfaatkan Program Kemitraan Dari hasil sawah yang didapat, keduanya kini mampu membiayai pendidikan anak-anak mereka hingga perguruan tinggi.
Sementara Pengamat Ekonomi Universitas Sriwijaya Palembang Isni Andriana mengatakan praktik rentenir di kalangan petani sangat sulit dihilangkan karena adanya kemudahan dan kedekatan secara emosional yang sudah masuk dalam bagian ekosistem kemasyarakatan di pedesaan.
Rentenir tidak memberikan persyaratan yang rumit, sementara perbankan sebaliknya, sehingga wajar saja jika petani memilih rentenir. Sementara jika mengharapkan bantuan pihak ketiga, berupa pinjaman lunak baik dari pemerintah maupun kalangan swasta dalam bentuk stimulus maka dananya sangat terbatas.
Saat ini, ada model baru yakni pinjaman melalui sistem finansial teknologi (fintech) yang dapat menjadi solusi karena persyaratannya juga tidak serumit perbankan. Namun, dana yang dipinjam sangat dibatasi dengan masa pengembalian yang singkat dan suku bunga yang tinggi.
"Solusinya sebenarnya ada, dengan dihidupkan kembali koperasi.Tapi saat ini, tidak semua desa bisa mengembangkan koperasinya," kata Kepala Jurusan Manajemen Fakultas Ekonomi Unsri ini.
Pelaksana Tugas Kepala Desa Sumber Mulya Sutijo membenarkan bahwa sebagian besar warganya terjerat tengkulak. Bahkan jika dirata-ratakan mencapai 80 persen dari sekitar 1.000 kepala keluarga di desa tersebut.
"Hanya 20 persen yang bisa mandiri, itu pun karena awalnya dibantu program kemitraan seperti yang dilakukan Pertamina. Petani akhirnya bisa berangkat, karena bisa dikatakan tidak ada bunga, hanya biaya administrasi," kata dia.
Ia mengisahkan, dirinya dan sejumlah motor penggerak di desa tersebut sempat menghidupkan koperasi pada 2004 untuk mengatasi mudahnya petani terjerat rentenir dan tengkulak ini. Namun, koperasi yang didampingi oleh Dinas Pertanian itu tak bertahan lama yakni hanya tiga tahun karena kekurangan kompak dari anggota.
"Ujung-ujungnya, petani kembali menjual hasil produksinya ke tengkulak karena modal dari koperasi sudah dimakan untuk kebutuhan sehari-hari," kata dia.
Mengubah Nasib
Sebagai salah satu perusahaan BUMN terbesar di Indonesia, PT Pertamina memiliki dua tanggung jawab besar. Pertama, meningkatkan profit dalam rangka meningkatkan kesejahteraan negara dan kedua, melaksanakan tanggung jawab sosial serta lingkungan.
Peran dan tanggung jawab sosial Pertamina dilaksanakan salah satunya melalui SMEPP & SR (Small Medium Enterprise Partnership Program & Social Responsibility) atau lebih dikenal dengan sebutan Program Kemitraan dan Bina Lingkungan (PKBL), sebagaimana yang diatur dalam Permen-02/MBU/7/2017 tentang Program Kemitraan dan Bina Lingkungan Badan Usaha Milik Negara.
Program Kemitraan Pertamina merupakan program pemberian pinjaman modal dengan jasa pinjaman 3 persen per tahun dengan perhitungan saldo menurun.
Dana yang disalurkan adalah dana bergulir yang ditujukan meningkatkan kemampuan usaha kecil di delapan sektor usaha, yaitu sektor industri, perdagangan, pertanian, peternakan, perkebunan, perikanan, dan usaha jasa.
Apa yang dicapai Wawan, petani Desa Sumber Mulia, Kecamatan Muara Telang, ini yang kini sudah terlepas dari jerat rentenir sungguh sejalan dengan harapan PT Pertamina (Persero) ketika menelurkan program ini pada 2004 di daerah tersebut.
Region Manager Communication & CSR Pertamina Sumbagsel Rifky Rakhman Yusuf mengatakan, Kecamatan Muara Telang sejak lama menjadi lumbung pangan di Sumatera Selatan karena terdapat ribuan hektare sawah sejak ada program transmigrasi tahun 1979. Sayangnya, kesejahteraan petani di puluhan desa di sana masih memprihatinkan.
“Rupanya sebagian besar petani terjerat tengkulak yang memberikan pinjaman modal dengan suku bunga yang tinggi, ini yang melandasi kami menyalurkan program kemitraan di sana,” kata Rifky.
Ia mengatakan PT Pertamina sangat peduli atas persoalan kesejahteraan petani ini, mengingat mereka merupakan pahlawan dalam penyediaan pangan nasional. Selain itu, perusahaan juga ingin membantu pemerintah dalam mencapai swasembada pangan.
Oleh karena itu, program yang dimulai sejak 2004 ini sudah menyalurkan dana Rp33,2 miliar untuk wilayah Sumatera Bagian Selatan, dan khusus di Kabupaten Banyuasin sudah memanfaatkan dana Rp13,2 miliar dengan menyasar ratusan petani.
Rifky menambahkan, untuk memastikan program ini selalu tepat sasaran, Pertamina juga senantiasa memonitor, termasuk selektif dalam menentukan penerima bantuan.
“Tentunya kami melakukan survei terlebih dahulu untuk memastikan kelayakan penerima bantuan. Ini penting, karena banyak petani yang harus dibantu,” kata dia.
Pada 2020, lanjut Rifky, khusus di Kecamatan Muara Telang, Pertamina menargetkan setidaknya ada 20 petani baru yang menyerap program ini mengingat pihaknya telah mengalokasikan dana Rp1,5 miliar. Itu artinya, ada 20 petani lagi yang nasibnya akan berubah menjadi lebih baik.
Petani masa kini harus bebas rentenir
....Itulah kenapa saya ingin anak-anak saya sekolah. Ke depan, lahan itu sudah sangat terbatas, artinya teknologi yang harus ditingkatkan dan harapan saya anak-anak muda masa kini bisa menjadi petani masa kini juga....