Jakarta (ANTARA) - Rouf, pengemudi truk pengangkut tanah yang mengalami kecelakaan di Km 92 Tol Cipularang pada 14 November, ditetapkan sebagai tersangka oleh Polres Purwakarta. Rouf dijerat dengan pasal berlapis UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ), dengan ancaman 12 tahun penjara.

Kasus kecelakaan di Km 92 Tol Cipularang memang tragis; menghancurkan 17 mobil, menewaskan 1 orang, 4 orang luka parah, dan 14 orang luka ringan.

Kejadian di Km 92 hanyalah segelintir insiden kecelakaan di jalan tol. Sebab, jika merujuk pada laporan tahunan 2023 Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT) Kementerian Pekerjaan Umum, angka kecelakaan di jalan tol di Indonesia memang membuat miris.

Tercatat, jumlah kecelakaan mencapai 4.381 kejadian, dengan korban meninggal mencapai 336 jiwa. Tingkat rerata fatalitas korban mencapai 1,19 per 100 juta perjalanan per kendaraan per kilo meter. Walau angka tersebut mengalami penurunan sebesar 16 persen (dibanding 2022), potret performa fatalitas kecelakaan di jalan tol jelas masih sangat tinggi.

Pembangunan jalan tol di Indonesia, selama 10 tahun terakhir memang terbilang kinclong, mengalami akselerasi yang sangat signifikan. Hingga Oktober 2024, jumlah total jalan tol yang beroperasi di Indonesia mencapai 3.020, 24 km, dan dalam waktu dekat akan bertambah lagi kisaran 172 km.

Sebagaimana spirit jalan tol, makin terintegrasinya pembangunan jalan tol di Indonesia, bermanfaat positif untuk pertumbuhan ekonomi, mempercepat waktu tempuh, dan menambah konektivitas perjalanan. Oleh karena itulah, walau tarif tol dirasa mahal, sepertinya masyarakat makin gandrung menggunakan jalan tol, terutama saat perjalanan libur panjang atau long week end.

Namun, keberadaan jalan tol yang makin eksis dan terintegrasi itu, menjadi paradoksal manakala harus ditebus dengan angka fatalitas yang tinggi. Kampanye nirkecelakaan atau zero accident di jalan tol seolah tiada artinya. Lalu, musabab apa saja sehingga kecelakaan fatal di jalan tol masih begitu tinggi? Ada beberapa musabab terhadap fenomena ini.

Pertama, literasi kepatuhan pengguna jalan tol terhadap rambu-rambu yang (cenderung) masih rendah, misalnya, melanggar kecepatan, 60--80/100 km per jam, menyalip dari kiri, atau menggunakan bahu jalan. Selain itu mengantuk sekejap (micro sleep) saat mengemudi, juga acap menjadi penyebab kecelakaan. Perilaku lain seperti menelepon, menyetel musik, bahkan merokok saat berkendara; juga tak luput bisa memicu kecelakaan fatal. Fenomena serupa juga terjadi saat berkendara di jalan arteri.



Terkait pelanggaran kecepatan, konteksnya bukan hanya kendaraan yang melebihi kecepatan saja (overspeed) tetapi juga kendaraan yang kecepatan rendah (low speed), dalam hal ini kendaraan truk. Sering juga bus melaju di jalur kanan.

Selain itu, keberadaan truk yang mengangkut beban melebihi kapasitas (ODOL/overload, overdimention) sangat mengkhawatirkan. Bukan saja merugikan secara ekonomi dan merusak struktur jalan, tetapi juga memicu fatalitas jika terjadi kecelakaan. Sering terjadi kendaraan pribadi yang melaju kencang menyundul truk ODOL yang berjalan sangat lambat. Dalam hal ini, perlu komitmen serius Pemerintah (lintas kementerian dan lembaga) untuk melarang keberadaan truk ODOL dan pihak kepolisian konsisten dalam penegakan hukum. Adapun  BUJT bisa berperan untuk menghalau truk ODOL saat mereka memasuki ke area jalan tol.

Kedua, masih lemahnya penegakan hukum, khususnya yang berbasis teknologi. Walau jalan tol dilengkapi CCTV per 1 km, bahkan ada yang per 500 m, hal ini belum terintegrasi terhadap penegakan hukum secara digital, yakni ETLE (Electronic Traffic Law Enforcement) oleh Korlantas Mabes Polri. Jika sistem ini berjalan, maka pengguna jalan tol yang melanggar rambu-rambu, khususnya yang melanggar kecepatan, bisa ditilang secara otomatis.

Ketiga, kondisi fisik jalan tol, misalnya terdapat benda asing di jalan tol (kayu), air tergenang (aqua planing), kebakaran di sepanjang jalan yang menimbulkan asap pekat sehingga menimbulkan kecelakaan beruntun, seperti kasus di ruas Tol Surabaya Mojokerto. Kebakaran juga timbul oleh adanya pengguna tol yang membuang puntung rokok, dan kemudian membakar rumput kering (musim kemarau).

Keempat, belum ada upaya yang sungguh-sungguh dan sistematis dari operator jalan tol (Badan Usaha Jalan Tol), untuk melakukan rekayasa guna mereduksi fatalitas kecelakaan, baik rekayasa teknis dan atau rekayasa sosiologis. Upaya yang dilakukan operator jalan tol untuk hal ini masih terbilang parsial (adhoc).
 


Harus ada upaya radikal

Upaya rekayasa menurunkan kecelakaan yang dilakukan oleh manajemen ruas Tol Kertosono-Ngawi, seperti singing road, memasang stiker menyala di bodi truk dan memberikan kopi gratis pada sopir truk, berikut inovasi lainnya, diklaim mampu menurunkan angka kecelakaan fatal hingga 70 persen (2019--2023). Ini upaya yang sangat positif, yang bisa di-copy paste oleh operator jalan tol lainnya.

Merujuk pada konfigurasi persoalan di atas, bukan hal yang aneh jika potensi terjadinya kecelakaan di jalan tol justru akan meningkat, seiring meningkatnya jumlah kendaraan yang melintasi jalan tol (lalu lintas harian), dan seiring pula bertambahnya ruas jalan tol, khususnya di Pulau Jawa.

Oleh karena itu, harus ada upaya radikal untuk mengatasinya. Mitigasi yang mendesak dilakukan untuk menekan (tingginya) kecelakaan tol, antara lain: menekan tingginya fenomena speed gap di jalan tol, yang mencapai lebih dari 70 persen. Makin tinggi speed gap, kian tinggi potensi terjadinya kecelakaan, dan sebaliknya. Speed gap yang ideal di jalan tol adalah maksimal 30 persen.

Untuk mendorong terciptanya speed gap yang ideal maka, meningkatkan kepatuhan kecepatan maksimal pengguna kendaraan pribadi maksimum 80 km/jam (tol dalam kota), dan maksimum 100 km/jam untuk tol luar kota. Adapun untuk kategori low speed, maka paling lambat adalah 60 km/jam, dan berjalan di sebelah kiri.

Untuk menciptakan kondisi ideal seperti ini, maka tak ada opsi lain, Pemerintah harus segera melarang total truk ODOL tersebut. Upaya melarang truk ODOL jangan hanya klaim dan janji sesaat.

Jalan tol adalah jalan berbayar. Oleh karena itu operator jalan tol (BUJT) wajib bertanggung jawab untuk mewujudkan performa jalan tol yang menjunjung tinggi aspek keselamatan, keamanan, dan kenyamanan. Ketiga aspek ini merupakan hak dasar bagi pengguna jalan tol selama berkendara di jalan tol.

Kepatuhan terhadap instrumen standar pelayanan minimal (SPM) yang dimandatkan oleh regulator, dalam hal ini Kementerian PU, harus diwujudkan setiap saat. Lolosnya truk ODOL yang memasuki area jalan tol adalah bentuk gagalnya pemenuhan SPM oleh operator tol.

Untuk mewujudkan kepatuhan SPM tersebut, sangat diperlukan berbagai terobosan dan inovasi teknis dan sosiologis guna mencapai standar keselamatan yang tinggi di jalan tol, salah satunya inovasi menghalau truk ODOL dari area jalan tol plus dukungan dan sinergi  dari kementerian/lembaga lainnya.

Jangan sampai jalan tol di Indonesia justru menjadi killing field bagi penggunanya karena melakukan pembiaran truk ODOL melenggang di jalan tol.

 

*) Tulus Abadi, Pengamat Perlindungan Konsumen dan Kebijakan Publik, Anggota Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT) Unsur Masyarakat, Kementerian Pekerjaan Umum



Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Menyorot performa keselamatan di jalan tol

Pewarta : Tulus Abadi *)
Uploader : Aang Sabarudin
Copyright © ANTARA 2024