Jakarta (ANTARA) - Penelitian yang dilakukan akademisi Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Padjadjaran Bandung bertajuk “Respon Gusi Pada Pengguna Vape Saat Mengalami Peradangan Gusi (Gingivitas Experimental)" menemukan bahwa nikotin bukanlah penyebab gangguan pertahanan gusi terhadap bakteri.
Salah satu peneliti, Amaliya, menjelaskan penelitian klinis tersebut digelar untuk mengetahui sejauh mana produk tembakau alternatif, yang diklaim memiliki risiko lebih rendah daripada rokok, memiliki dampak pertahanan gusi terhadap bakteri plak gigi pada pengguna vape dibandingkan gusi para perokok yang tidak beralih.
“Hasil penelitian ini membuktikan bahwa pengguna vape yang telah berhenti dari merokok menunjukkan perbaikan kualitas gusi yang dibuktikan dengan tingkat peradangan dan pendarahan gusi yang sama seperti yang dialami oleh non-perokok. Artinya, kondisi pertahanan gusi pengguna vape telah kembali normal,” ujar Amaliya dalam paparannya pada Senin (26/9).
Lebih lanjut ia meneruskan nikotin selama ini dianggap sebagai penyebab gangguan pertahanan gusi dengan ditandai oleh penyempitan pembuluh darah pada gusi. Tetapi pada penelitian terlihat bahwa pengguna vape dengan cairan e-liquid yang mengandung nikotin tidak memperlihatkan gangguan pertahanan tersebut.
Berdasarkan hasil penelitian pendahuluan (preliminary study), hal itu menunjukkan nikotin bukan penyebab utama penyempitan pembuluh darah pada gusi, serta pertahanan gusi pengguna vape hampir menyerupai kondisi gusi pada non-perokok.
“Hal tersebut kemungkinan disebabkan oleh kandungan lain dari rokok, bukan nikotin sehingga perlu diteliti lebih lanjut,” tegas Amaliya.
Penelitian klinis yang dilakukan Amaliya, Agus Susanto, serta Jimmy Gunawan itu melibatkan 15 responden berusia 18-55 tahun yang dibagi ke dalam tiga kelompok dengan distribusi gender tidak merata. Kelompok pertama adalah perokok dengan masa konsumsi rokok minimal satu tahun.
Kelompok kedua adalah pengguna vape yang telah beralih dari rokok dengan masa penggunaan minimal satu tahun. Kelompok terakhir adalah non-perokok atau bukan pengguna produk tembakau yang akan dijadikan sebagai acuan untuk hasil penelitian.
"Penelitian ini bertujuan untuk mengamati respon gusi yang dinilai dari derajat peradangan dan pendarahan gusi yang merupakan tanda awal dari pertahanan gusi terhadap bakteri plak gigi selama percobaan gingivitis (peradangan gusi) pada pengguna vape dibandingkan perokok dan bukan perokok," kata salah satu peneliti.
"Peradangan gusi merupakan mekanisme pertahanan dalam merespon plak bakteri yang menempel di permukaan gigi,” sambung Amaliya.
Isu pengurangan bahaya rokok menjadi topik utama dalam 5th Scientific Summit yang diselenggarakan secara hibrida pada 21-22 September 2022 di Athena, Yunani. Forum bertema “Tobacco Harm Reduction: Novel Product, Research & Policy” dihadiri peneliti, dokter, ilmuwan, dan akademisi dari berbagai bidang di seluruh dunia yang memaparkan hasil penelitian maupun pengalaman serta praktik terbaik untuk mengurangi bahaya rokok.
Selain Amaliya, para peneliti, dokter, ilmuwan, maupun akademisi lainnya yang menjadi narasumber dalam forum ini beberapa di antaranya adalah Profesor Manajemen Rumah Sakit dan Ekonomi Kesehatan Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM), Sharifa Ezat Wan Puteh, Direktur Centre of Research Excellence: Indiegenous Sovereignty & Smoking dari Selandia Baru. Marewa Glover, Psikolog dan Pendiri Klinik Berhenti Merokok bernama Fagerstrom Consulting, Karl Fagerstrom, hingga Profesor Psikologi Kesehatan dari Universitas College London, Lion Shahab.
Salah satu peneliti, Amaliya, menjelaskan penelitian klinis tersebut digelar untuk mengetahui sejauh mana produk tembakau alternatif, yang diklaim memiliki risiko lebih rendah daripada rokok, memiliki dampak pertahanan gusi terhadap bakteri plak gigi pada pengguna vape dibandingkan gusi para perokok yang tidak beralih.
“Hasil penelitian ini membuktikan bahwa pengguna vape yang telah berhenti dari merokok menunjukkan perbaikan kualitas gusi yang dibuktikan dengan tingkat peradangan dan pendarahan gusi yang sama seperti yang dialami oleh non-perokok. Artinya, kondisi pertahanan gusi pengguna vape telah kembali normal,” ujar Amaliya dalam paparannya pada Senin (26/9).
Lebih lanjut ia meneruskan nikotin selama ini dianggap sebagai penyebab gangguan pertahanan gusi dengan ditandai oleh penyempitan pembuluh darah pada gusi. Tetapi pada penelitian terlihat bahwa pengguna vape dengan cairan e-liquid yang mengandung nikotin tidak memperlihatkan gangguan pertahanan tersebut.
Berdasarkan hasil penelitian pendahuluan (preliminary study), hal itu menunjukkan nikotin bukan penyebab utama penyempitan pembuluh darah pada gusi, serta pertahanan gusi pengguna vape hampir menyerupai kondisi gusi pada non-perokok.
“Hal tersebut kemungkinan disebabkan oleh kandungan lain dari rokok, bukan nikotin sehingga perlu diteliti lebih lanjut,” tegas Amaliya.
Penelitian klinis yang dilakukan Amaliya, Agus Susanto, serta Jimmy Gunawan itu melibatkan 15 responden berusia 18-55 tahun yang dibagi ke dalam tiga kelompok dengan distribusi gender tidak merata. Kelompok pertama adalah perokok dengan masa konsumsi rokok minimal satu tahun.
Kelompok kedua adalah pengguna vape yang telah beralih dari rokok dengan masa penggunaan minimal satu tahun. Kelompok terakhir adalah non-perokok atau bukan pengguna produk tembakau yang akan dijadikan sebagai acuan untuk hasil penelitian.
"Penelitian ini bertujuan untuk mengamati respon gusi yang dinilai dari derajat peradangan dan pendarahan gusi yang merupakan tanda awal dari pertahanan gusi terhadap bakteri plak gigi selama percobaan gingivitis (peradangan gusi) pada pengguna vape dibandingkan perokok dan bukan perokok," kata salah satu peneliti.
"Peradangan gusi merupakan mekanisme pertahanan dalam merespon plak bakteri yang menempel di permukaan gigi,” sambung Amaliya.
Isu pengurangan bahaya rokok menjadi topik utama dalam 5th Scientific Summit yang diselenggarakan secara hibrida pada 21-22 September 2022 di Athena, Yunani. Forum bertema “Tobacco Harm Reduction: Novel Product, Research & Policy” dihadiri peneliti, dokter, ilmuwan, dan akademisi dari berbagai bidang di seluruh dunia yang memaparkan hasil penelitian maupun pengalaman serta praktik terbaik untuk mengurangi bahaya rokok.
Selain Amaliya, para peneliti, dokter, ilmuwan, maupun akademisi lainnya yang menjadi narasumber dalam forum ini beberapa di antaranya adalah Profesor Manajemen Rumah Sakit dan Ekonomi Kesehatan Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM), Sharifa Ezat Wan Puteh, Direktur Centre of Research Excellence: Indiegenous Sovereignty & Smoking dari Selandia Baru. Marewa Glover, Psikolog dan Pendiri Klinik Berhenti Merokok bernama Fagerstrom Consulting, Karl Fagerstrom, hingga Profesor Psikologi Kesehatan dari Universitas College London, Lion Shahab.