Malang, Jawa Timur (ANTARA) - Musim hujan hingga beberapa bulan ke depan dengan curah (intensitas) yang sangat tinggi memaksa setiap pribadi untuk memasang kewaspadaan tinggi, apalagi yang berada di wilayah rawan bencana hidrometeorologi, seperti banjir dan tanah longsor.
Bencana apapun, termasuk banjir ternyata tak pernah pilih-pilih wilayah, tak terkecuali wilayah yang berada di dataran tinggi seperti Kota Batu, Jawa Timur, yang berada di ketinggian 700-2000 meter atau rata-rata 871 meter di atas permukaan laut (mdpl).
Siapa mengira, Kota Batu dengan luas 136,74 kilometer persegi dan berada di dataran tinggi itu sebagian wilayahnya luluh lantak karena terjangan banjir bandang akibat hujan dengan intensitas ekstrem pada Kamis (4/11) lalu.
Menurut catatan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jatim, kota berpenduduk kurang dari 215 ribu jiwa itu diguyur hujan deras selama sekitar tiga jam dan mengakibatkan meluapnya Sungai Brantas di sisi Gunung Biru, yang dari tahun ke tahun semakin rawan.
Sebelumnya, Kota Batu juga beberapa kali dilanda banjir, namun banjir yang terjadi Kamis pekan lalu adalah yang paling parah keadaannya.
Curah hujan di Kota Batu pada 2018-2019, berdasarkan catatan BMKG menunjukkan anomali curah hujan, terutama dalam bulan November-Desember.
Jumlah hujan pada November 2018 mencapai 211.70 mm kubik dan Desember 149.90 mm kubik. Pada 2019, di bulan November mencapai yakni 51,7 mm kubik dan Desember 232,5 kubik.
Artinya, ada semacam naik turun curah hujan yang signifikan. Fenomena tersebut menunjukkan bahwa naik turunnya hujan yang tidak konsisten adalah bagian dari anomali cuaca sebagai dampak turunan perubahan iklim.
Anomali cuaca terkadang panas berkepanjangan, tetapi tiba-tiba hujan deras, merupakan bahaya hidrometeorologi yang risikonya setiap tahun meningkat akibat dari perubahan iklim yang semakin masif.
Kota Batu merupakan wilayah yang sangat terpengaruh perubahan iklim. Suhu di Kota Batu rata-rata kini 22,6-23 derajat celcius jika dibandingkan dengan lima tahun lalu sekitar 21-22,3 derajat celcius.
Jika dilihat dari citra satelit, ruang terbuka hijau (RTH) Kota Batu belum sampai 30 persen, masih sekitar 12-15 persen. Merujuk data citra satelit tersebut, pada konteks hutan yang juga merujuk citra satelit dari Global Forest Watch pada 2001 hingga 2020, Kota Batu kehilangan 348 hektare tutupan pohon, yang setara dengan 256kt emisi CO2e.
Pada tahun 2013-2020, 94 persen kehilangan tutupan pohon di Kota Batu terjadi di dalam hutan alam. Total kehilangan di dalam hutan alam setara dengan 67,0kt emisi CO2e. Sepanjang tahun 2002-2020, Batu kehilangan 113 hektare hutan primer.
Dari data yang dihimpun terkait eksistensi keberadaan lahan hijau, dari luas 6.034,62 hektare di 2012 menjadi 5.279,15 hektare di tahun 2019.
Banjir Bandang
Hujan deras dengan intensitas ekstrem yang mengguyur wilayah Malang Raya (Kota Malang, Kabupaten Malang, Kota Batu) sekitar tiga jam pada Kamis (4/11), meluluhlantakkan sebagian wilayah di Kota Batu dan Kota Malang.
Dari analisis yang dilakukan Walhi Jatim, daerah hulu (Kota Batu) tak mampu menghambat laju derasnya guyuran hujan, air hujan tak terserap dengan baik, bahkan meluncur deras ke daerah yang lebih rendah.
Menurut aktivis Walhi Jatim Purnawan Dwikora Negara, sekitar 150 hektare kawasan hutan yang menjadi hulu dari sungai yang diterjang banjir ini dibuka untuk ladang dan pertanian. Bahaya hidrometeorologi ini adalah tingkat kerentanan dan kerawanan bencana yang mungkin terjadi karena faktor iklim. Hal ini juga dapat bertambah rentan dengan rusaknya ekosistem di kawasan itu.
Rusaknya ekosistem di Batu meningkatkan potensi perubahan iklim. Selain itu, juga meningkatkan risiko bencana perubahan iklim. Salah satu contoh konkrit adalah bencana banjir bandang yang melanda Kota Batu pada pekan lalu.
Banjir terjadi karena air dari atas runoff (mengalir mengikuti pola) ke yang lebih datar dan rendah, akibat daya tampung sungai tidak mampu menampung volume air. Logika sederhana, jika air dengan deras menuju bagian bawah secara cepat, secara sains dasar kita paham bahwa ada kerusakan di wilayah atas.
Seharusnya air di atas bisa dikendalikan jika ada kawasan tangkapan dan resapan air yang mumpuni. Tetapi, karena rusak, akhirnya kawasan resapan dan tangkapan air tidak berfungsi, akibatnya air run off ke wilayah yang lebih rendah (bawah).
Di wilayah hulu sungai telah terjadi alih fungsi kawasan di sepanjang Tulungrejo hingga Sumber Brantas, Kecamatan Bumiaji. Alih fungsi kawasan hutan untuk pertanian dan peruntukan lain menjadi salah satu penyebab menurunnya kerja wilayah resapan dan tangkapan air.
Di atas kawasan tersebut, banyak yang menjadi lahan pertanian, salah satunya juga didorong oleh alih fungsi lahan produktif untuk wisata dan peruntukan lain, seperti hotel dan perumahan.
Dampaknya, beberapa orang mulai merambah kawasan hutan untuk dijadikan pertanian. Hal ini menunjukkan jika ada faktor ketimpangan ekonomi, khususnya akses dan kelola atas lahan sehingga mendorong ekspansi ruang pertanian baru.
Selain bahaya banjir dan longsor, serta peningkatan suhu udara, Kota Batu juga terancam krisis air. Sebab, mata air di Kota Batu tersisa 50 persen saja dengan beberapa sumber yang sudah kritis debit airnya.
Keterancaman ini diakibatkan oleh salah urus tata ruang. Tidak ada kawasan perlindungan kawasan esensial khususnya kawasan hutan, lahan hijau dan kawasan mata air. Hal ini diperparah pada Revisi Perda RTRW Kota Batu, yang di dalam Perda revisi tersebut tidak menjelaskan soal perlindungan kawasan esensial.
Perda revisi tersebut berpotensi menjadi penyebab maraknya alih fungsi dan dalam politik lingkungan disebutkan sebagai kesalahan kebijakan yang mendorong bencana. Sehingga, ke depan banjir dan aneka bencana ruang adalah tanggung jawab pemerintah, sebab Perda RTRW tidak sensitif bencana dan masa depan lingkungan hidup Kota Batu.
Bahkan, menurut Walhi, Perda ini tidak transparan dan partisipatif. Masyarakat tidak tahu menahu dan tidak dilibatkan. Kini Perda tersebut sudah di pemerintah pusat, dan yang bisa menghentikan adalah Pemkot Batu, karena kewenangan dan pengelolaan hutan berada di tangan Perhutani dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
Oleh karena itu, Walhi mengajak semua bergerak mengawal revisi Perda RTRW dan mendesak perlindungan kawasan esensial, demi masa depan Kota Batu. Sebab, jika Kota Batu hancur, Kota Malang dan sepanjang DAS Brantas akan hancur juga.
Karena perubahan hutan dan alih fungsi lahan menjadi industri pariwisata dan pertanian, daerah tangkapan air berkurang signifikan, sehingga ketika terjadi hujan dengan intensitas ekstrem, air meluncur deras, tak ada pepohonan yang mampu mengikat air, akibatnya banjir melanda, bahkan wilayah di bawahnya juga terdampak parah.
Catatan Pakar Kebencanaan Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta Prof Suratman bahwa banjir bandang yang melanda Kota Batu itu menunjukkan ada gangguan ekosistem di wilayah tersebut.
Banjir ini sebagai peringatan ekosistem yang terganggu oleh manusia. Gangguan ekosistem akibat alih fungsi lahan oleh manusia menjadi salah satu pemicu terjadinya banjir bandang di kota apel itu.
Secara administratif hutan tersebut berada di wilayah Kota Batu, namun perencanaan, pengelolaan hingga monitor dan evalluasi (monev)-nya di bawah wewenang Perhutani dan Kementeria Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
Dampak banjir bandang, tidak hanya menyesakkan dada, tidak hanya menyisakan isak tangis, tapi harta benda lenyap, bahkan tidak jarang juga ada korban nyawa. Ada tujuh orang yang tercatat meninggal dunia dan puluhan rumah rusak.
Selain kerusakan rumah, banjir bandang juga menyebabkan setidaknya 73 kendaraan roda dua dan tujuh kendaraan roda empat rusak, hewan ternak mati sebanyak 107 ekor, dan sepuluh kandang dilaporkan rusak dan puluhan kepala keluarga terpaksa harus mengungsi ke rumah kerabatnya.
Bencana apapun, termasuk banjir ternyata tak pernah pilih-pilih wilayah, tak terkecuali wilayah yang berada di dataran tinggi seperti Kota Batu, Jawa Timur, yang berada di ketinggian 700-2000 meter atau rata-rata 871 meter di atas permukaan laut (mdpl).
Siapa mengira, Kota Batu dengan luas 136,74 kilometer persegi dan berada di dataran tinggi itu sebagian wilayahnya luluh lantak karena terjangan banjir bandang akibat hujan dengan intensitas ekstrem pada Kamis (4/11) lalu.
Menurut catatan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jatim, kota berpenduduk kurang dari 215 ribu jiwa itu diguyur hujan deras selama sekitar tiga jam dan mengakibatkan meluapnya Sungai Brantas di sisi Gunung Biru, yang dari tahun ke tahun semakin rawan.
Sebelumnya, Kota Batu juga beberapa kali dilanda banjir, namun banjir yang terjadi Kamis pekan lalu adalah yang paling parah keadaannya.
Curah hujan di Kota Batu pada 2018-2019, berdasarkan catatan BMKG menunjukkan anomali curah hujan, terutama dalam bulan November-Desember.
Jumlah hujan pada November 2018 mencapai 211.70 mm kubik dan Desember 149.90 mm kubik. Pada 2019, di bulan November mencapai yakni 51,7 mm kubik dan Desember 232,5 kubik.
Artinya, ada semacam naik turun curah hujan yang signifikan. Fenomena tersebut menunjukkan bahwa naik turunnya hujan yang tidak konsisten adalah bagian dari anomali cuaca sebagai dampak turunan perubahan iklim.
Anomali cuaca terkadang panas berkepanjangan, tetapi tiba-tiba hujan deras, merupakan bahaya hidrometeorologi yang risikonya setiap tahun meningkat akibat dari perubahan iklim yang semakin masif.
Kota Batu merupakan wilayah yang sangat terpengaruh perubahan iklim. Suhu di Kota Batu rata-rata kini 22,6-23 derajat celcius jika dibandingkan dengan lima tahun lalu sekitar 21-22,3 derajat celcius.
Jika dilihat dari citra satelit, ruang terbuka hijau (RTH) Kota Batu belum sampai 30 persen, masih sekitar 12-15 persen. Merujuk data citra satelit tersebut, pada konteks hutan yang juga merujuk citra satelit dari Global Forest Watch pada 2001 hingga 2020, Kota Batu kehilangan 348 hektare tutupan pohon, yang setara dengan 256kt emisi CO2e.
Pada tahun 2013-2020, 94 persen kehilangan tutupan pohon di Kota Batu terjadi di dalam hutan alam. Total kehilangan di dalam hutan alam setara dengan 67,0kt emisi CO2e. Sepanjang tahun 2002-2020, Batu kehilangan 113 hektare hutan primer.
Dari data yang dihimpun terkait eksistensi keberadaan lahan hijau, dari luas 6.034,62 hektare di 2012 menjadi 5.279,15 hektare di tahun 2019.
Banjir Bandang
Hujan deras dengan intensitas ekstrem yang mengguyur wilayah Malang Raya (Kota Malang, Kabupaten Malang, Kota Batu) sekitar tiga jam pada Kamis (4/11), meluluhlantakkan sebagian wilayah di Kota Batu dan Kota Malang.
Dari analisis yang dilakukan Walhi Jatim, daerah hulu (Kota Batu) tak mampu menghambat laju derasnya guyuran hujan, air hujan tak terserap dengan baik, bahkan meluncur deras ke daerah yang lebih rendah.
Menurut aktivis Walhi Jatim Purnawan Dwikora Negara, sekitar 150 hektare kawasan hutan yang menjadi hulu dari sungai yang diterjang banjir ini dibuka untuk ladang dan pertanian. Bahaya hidrometeorologi ini adalah tingkat kerentanan dan kerawanan bencana yang mungkin terjadi karena faktor iklim. Hal ini juga dapat bertambah rentan dengan rusaknya ekosistem di kawasan itu.
Rusaknya ekosistem di Batu meningkatkan potensi perubahan iklim. Selain itu, juga meningkatkan risiko bencana perubahan iklim. Salah satu contoh konkrit adalah bencana banjir bandang yang melanda Kota Batu pada pekan lalu.
Banjir terjadi karena air dari atas runoff (mengalir mengikuti pola) ke yang lebih datar dan rendah, akibat daya tampung sungai tidak mampu menampung volume air. Logika sederhana, jika air dengan deras menuju bagian bawah secara cepat, secara sains dasar kita paham bahwa ada kerusakan di wilayah atas.
Seharusnya air di atas bisa dikendalikan jika ada kawasan tangkapan dan resapan air yang mumpuni. Tetapi, karena rusak, akhirnya kawasan resapan dan tangkapan air tidak berfungsi, akibatnya air run off ke wilayah yang lebih rendah (bawah).
Di wilayah hulu sungai telah terjadi alih fungsi kawasan di sepanjang Tulungrejo hingga Sumber Brantas, Kecamatan Bumiaji. Alih fungsi kawasan hutan untuk pertanian dan peruntukan lain menjadi salah satu penyebab menurunnya kerja wilayah resapan dan tangkapan air.
Di atas kawasan tersebut, banyak yang menjadi lahan pertanian, salah satunya juga didorong oleh alih fungsi lahan produktif untuk wisata dan peruntukan lain, seperti hotel dan perumahan.
Dampaknya, beberapa orang mulai merambah kawasan hutan untuk dijadikan pertanian. Hal ini menunjukkan jika ada faktor ketimpangan ekonomi, khususnya akses dan kelola atas lahan sehingga mendorong ekspansi ruang pertanian baru.
Selain bahaya banjir dan longsor, serta peningkatan suhu udara, Kota Batu juga terancam krisis air. Sebab, mata air di Kota Batu tersisa 50 persen saja dengan beberapa sumber yang sudah kritis debit airnya.
Keterancaman ini diakibatkan oleh salah urus tata ruang. Tidak ada kawasan perlindungan kawasan esensial khususnya kawasan hutan, lahan hijau dan kawasan mata air. Hal ini diperparah pada Revisi Perda RTRW Kota Batu, yang di dalam Perda revisi tersebut tidak menjelaskan soal perlindungan kawasan esensial.
Perda revisi tersebut berpotensi menjadi penyebab maraknya alih fungsi dan dalam politik lingkungan disebutkan sebagai kesalahan kebijakan yang mendorong bencana. Sehingga, ke depan banjir dan aneka bencana ruang adalah tanggung jawab pemerintah, sebab Perda RTRW tidak sensitif bencana dan masa depan lingkungan hidup Kota Batu.
Bahkan, menurut Walhi, Perda ini tidak transparan dan partisipatif. Masyarakat tidak tahu menahu dan tidak dilibatkan. Kini Perda tersebut sudah di pemerintah pusat, dan yang bisa menghentikan adalah Pemkot Batu, karena kewenangan dan pengelolaan hutan berada di tangan Perhutani dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
Oleh karena itu, Walhi mengajak semua bergerak mengawal revisi Perda RTRW dan mendesak perlindungan kawasan esensial, demi masa depan Kota Batu. Sebab, jika Kota Batu hancur, Kota Malang dan sepanjang DAS Brantas akan hancur juga.
Karena perubahan hutan dan alih fungsi lahan menjadi industri pariwisata dan pertanian, daerah tangkapan air berkurang signifikan, sehingga ketika terjadi hujan dengan intensitas ekstrem, air meluncur deras, tak ada pepohonan yang mampu mengikat air, akibatnya banjir melanda, bahkan wilayah di bawahnya juga terdampak parah.
Catatan Pakar Kebencanaan Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta Prof Suratman bahwa banjir bandang yang melanda Kota Batu itu menunjukkan ada gangguan ekosistem di wilayah tersebut.
Banjir ini sebagai peringatan ekosistem yang terganggu oleh manusia. Gangguan ekosistem akibat alih fungsi lahan oleh manusia menjadi salah satu pemicu terjadinya banjir bandang di kota apel itu.
Secara administratif hutan tersebut berada di wilayah Kota Batu, namun perencanaan, pengelolaan hingga monitor dan evalluasi (monev)-nya di bawah wewenang Perhutani dan Kementeria Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
Dampak banjir bandang, tidak hanya menyesakkan dada, tidak hanya menyisakan isak tangis, tapi harta benda lenyap, bahkan tidak jarang juga ada korban nyawa. Ada tujuh orang yang tercatat meninggal dunia dan puluhan rumah rusak.
Selain kerusakan rumah, banjir bandang juga menyebabkan setidaknya 73 kendaraan roda dua dan tujuh kendaraan roda empat rusak, hewan ternak mati sebanyak 107 ekor, dan sepuluh kandang dilaporkan rusak dan puluhan kepala keluarga terpaksa harus mengungsi ke rumah kerabatnya.