Aminah meyakini pasti ada cara menjual pecel semanggi yang lebih modern, daripada menggendong bakul lantas memasarkannya dengan berjalan kaki keliling kampung-kampung di Kota Surabaya.
Sebagai perempuan asli Kampung Sawo, Sambikerep, Surabaya, Jawa Timur, tentu Aminah pernah merasakan beratnya berjualan seperti itu.
Kampung Sawo di Kelurahan Beringin, Kecamatan Sambikerep, selama ini memang dikenal sebagai salah satu kampung penghasil pecel semanggi, makanan tradisional khas Surabaya. Makanan dari daun semanggi berbumbu sambal pedas terbuat dari ketela rambat, kacang tanah, dan gula merah yang nikmat.
Mayoritas perempuan di kampung itu hingga kini masih menjalani rutinitas sebagai penjual pecel semanggi, mewarisi aktivitas nenek moyangnya, dengan cara dipanggul menggunakan selendang dan berjalan kaki menyusuri kampung-kampung lain di Kota Surabaya.
Di lingkungan tempat tinggal Aminah, dari total 64 KK penghuninya, terdata sebanyak 43 orang berjualan pecel semanggi. "Saya tahu data itu karena suami saya beberapa tahun lalu pernah menjabat Ketua RT di sini," ucap ibu dari dua orang anak itu, Sabtu.
Namun menurut Aminah, jumlah penjual pecel semanggi terbaru di kampungnya saat ini diyakini lebih banyak lagi. "Saya kira sekarang bertambah banyak karena perempuan yang muda-muda juga terlihat semakin banyak yang mulai ikut berjualan," ujarnya.
Perempuan-perempuan muda ini tak lagi memanggul bakul berisi pecel semanggi dagangannya, melainkan telah menaruhnya di boncengan sepedanya dan menjajakannya keliling kampung di Surabaya.
Meskipun demikian masih banyak ibu-ibu yang masih memanggulnya. Ibu-ibu itu berangkat bersama-sama mulai pukul 5 pagi, nyarter mobil angkot dari depan kampung. Lalu diturunkan di kawasan Kupang, untuk kemudian berjualan sendiri-sendiri ke kampung-kampung yang ditujunya masing-masing.
Meski berangkatnya bersama-sama, para penjual pecel semanggi ini pulangnya sendiri-sendiri. "Sebab kita tidak pernah tahu, rejeki orang kan beda-beda. Ada yang jualannya habis duluan, ada yang sampai malam baru habis dan bahkan ada yang gak habis. Karenanya pulangnya gak bisa bersama-sama," imbuhnya.
Dulu Aminah, setelah didrop bersama ibu-ibu lainnya di kawasan Kupang, setelah berangkat bersama-sama dengan nyarter mobil angkot dari depan kampungnya, lebih senang berjualan menuju ke Taman Bungkul.
"Ya saya jualan di Taman Bungkul, 'ngemper' di sana sampai pecel semangginya habis. Tapi ya gitu, kalau jualan di Taman Bungkul sambil kejar-kejaran dengan Satpol PP," kenangnya.
Manfaatkan internet
Tahun 2011, Aminah mencoba memanfaatkan kecanggihan teknologi internet untuk berjualan pecel semanggi. Praktis sejak itu dia sudah jarang menjualnya dengan terjun ke lapangan lagi.
"Saya coba pasarkan pecel semanggi melalui media sosial," katanya. Karena waktunya kini lebih banyak di rumah, sambil menunggu order dari internet, Aminah pun sambil berinovasi dengan banyak produk makanan lainnya.
Dia pernah mencoba membuat peyek semanggi, dikemas dan dipasarkan lewat internet, namun hasil kreasinya ini kurang mendapat respon di pasaran.
Hingga akhirnya perempuan berusia 39 tahun ini berinovasi agar pecel semanggi bisa diproduksi secara instan, sehingga bisa dibawa oleh orang-orang di luar kota sebagai oleh-oleh dan dapat dimasak sendiri di rumah.
Inovasi produk pecel semanggi instan yang diimpikannya itu berhasil di tahun 2015, setelah melalui berbagai macam uji coba. "Uji cobanya itu ya saya tes, dari bumbu-bumbu dan semanggi yang saya jadikan instan kuat bertahan berapa lama," katanya.
Semula Aminah hanya mampu membuat bumbu pecel semanggi instannya itu bertahan hingga selama satu minggu.
"Saya coba lagi yang bisa bertahan lebih lama, hingga akhirnya jadi seperti yang sekarang, yaitu mampu bertahan selama 1,5 bulan, dan saya pastikan ini tanpa bahan pengawet," katanya.
Aminah kemudian mengemasnya ke dalam dua bentuk ukuran untuk dilempar ke pasaran. Yaitu kemasan ukuran kecil, yang di dalamnya terdiri dari daun semanggi 30 gram, bumbu semanggi 200 gram, lengkap dengan krupuk pulinya sebanyak 5 biji. Aminah menjualnya seharga Rp50 ribu.
Selain itu Aminah juga mengemasnya menjadi ukuran besar, yang di dalamnya terdiri daun semanggi 80 gram, bumbu semanggi 500 gram dan krupuk puli sebanyak 10 biji. Untuk kemasan besar ini Aminah menjualnya seharga Rp95 ribu.
"Untuk kemasan ukuran kecil itu bisa dimasak menjadi sebanyak empat porsi. Sedangkan yang kemasan besar bisa menjadi 10 porsi," tuturnya.
Lumayan, hingga kini, pemesannya melalui internet datang dari berbagai daerah bahkan sampai ke Jakarta, Bali dan Kalimantan.
Aminah juga memasok ke sejumlah toko yang menjadi pusat oleh-oleh di Surabaya dan Malang. Di Sentra UKM yang ada di Surabaya, pasti ada produknya, seperti di Sentra UKM Merr, Siola, Balai Kota, dan di pusat oleh-oleh Jalan Gentengkali.
Diah berharap produk pecel semanggi instan ini juga bisa menjadi komoditas ekspor. "Ini sedang saya usahakan untuk diekspor. Untuk saat ini sudah ada orang Indonesia yang rutin mengambil untuk dijual ke Belanda," ucapnya.
Menularkan hasil
Aminah mencoba menularkan hasil temuan produk pecel semanggi instannya ini kepada para tetangganya. "Hanya saja para tetangga, ibu-ibu itu sementara ini masih belum mau ribet," katanya.
Memang, diakuinya, untuk membuat bumbu pecel semanggi ke dalam produk instan pembuatannya jauh lebih lama daripada yang biasanya membuat bumbu untuk langsung disajikan.
Meski Aminah telah meyakinkan, menjual produk instan dengan yang untuk disajikan penghasilannya juga sama.
"Ibu-ibu yang berjualan keliling kampung itu, kalau habis, sehari bisa dapat Rp350 ribu. Sama, saya sehari minimal juga dapat segitu. Tapi saya kan di rumah, gak capek-capek muter menggendong semanggi keliling kampung," ungkapnya.
Namun setidaknya sampai sekarang Aminah tidak pernah lelah menyerukan agar para tetangganya itu menjual pecel semanggi dengan cara modern. Meski tidak harus menjual produk semanggi instan seperti yang dilakukannya.
Paling tidak dia sudah menyarankan untuk menuliskan nomor ponsel mereka besar-besar di keranjangnya agar kalau ada pesanan dalam jumlah besar, orang-orang itu tahu harus menghubungi siapa.
Kini malah Aminah mencemaskan keberadaan tumbuhan semanggi itu sendiri. Mengingat pembangunan kota kini juga merambah ke wilayah Surabaya Barat, tempat para penghasil pecel semanggi di Sambikerep ini bermukim.
"Orang-orang sejak beberapa tahun yang lalu sudah banyak yang melepas lahannya ke pengembang," tuturnya. Bahkan kini dikatakan Aminah, banyak warga yang menanam semanggi ke lahan yang telah dibeli pengembang.
"Nah, kalau lahan-lahan yang ditanami warga itu sudah dibangun oleh Citraland, bukankah kita sudah tidak punya lahan lagi untuk menanam semanggi," imbuhnya.
Aminah pernah mengusulkan ke Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini, agar Pemkot Surabaya menyediakan lahan khusus untuk tanaman semanggi.
"Katakanlah Pemkot punya kebun semanggi sendiri, kan enak. Bisa dibuat untuk tempat wisata juga, tempat di mana orang-orang bisa mengenal tanaman semanggi, yang di sana nantinya wisatawan bisa memetik, sekaligus membuat sendiri pecel semanggi, makanan tradisional khas Surabaya," usulnya. Namun hingga kini usulannya itu masih belum direspon oleh Wali Kota Tri Rismaharini.
Sebagai perempuan asli Kampung Sawo, Sambikerep, Surabaya, Jawa Timur, tentu Aminah pernah merasakan beratnya berjualan seperti itu.
Kampung Sawo di Kelurahan Beringin, Kecamatan Sambikerep, selama ini memang dikenal sebagai salah satu kampung penghasil pecel semanggi, makanan tradisional khas Surabaya. Makanan dari daun semanggi berbumbu sambal pedas terbuat dari ketela rambat, kacang tanah, dan gula merah yang nikmat.
Mayoritas perempuan di kampung itu hingga kini masih menjalani rutinitas sebagai penjual pecel semanggi, mewarisi aktivitas nenek moyangnya, dengan cara dipanggul menggunakan selendang dan berjalan kaki menyusuri kampung-kampung lain di Kota Surabaya.
Di lingkungan tempat tinggal Aminah, dari total 64 KK penghuninya, terdata sebanyak 43 orang berjualan pecel semanggi. "Saya tahu data itu karena suami saya beberapa tahun lalu pernah menjabat Ketua RT di sini," ucap ibu dari dua orang anak itu, Sabtu.
Namun menurut Aminah, jumlah penjual pecel semanggi terbaru di kampungnya saat ini diyakini lebih banyak lagi. "Saya kira sekarang bertambah banyak karena perempuan yang muda-muda juga terlihat semakin banyak yang mulai ikut berjualan," ujarnya.
Perempuan-perempuan muda ini tak lagi memanggul bakul berisi pecel semanggi dagangannya, melainkan telah menaruhnya di boncengan sepedanya dan menjajakannya keliling kampung di Surabaya.
Meskipun demikian masih banyak ibu-ibu yang masih memanggulnya. Ibu-ibu itu berangkat bersama-sama mulai pukul 5 pagi, nyarter mobil angkot dari depan kampung. Lalu diturunkan di kawasan Kupang, untuk kemudian berjualan sendiri-sendiri ke kampung-kampung yang ditujunya masing-masing.
Meski berangkatnya bersama-sama, para penjual pecel semanggi ini pulangnya sendiri-sendiri. "Sebab kita tidak pernah tahu, rejeki orang kan beda-beda. Ada yang jualannya habis duluan, ada yang sampai malam baru habis dan bahkan ada yang gak habis. Karenanya pulangnya gak bisa bersama-sama," imbuhnya.
Dulu Aminah, setelah didrop bersama ibu-ibu lainnya di kawasan Kupang, setelah berangkat bersama-sama dengan nyarter mobil angkot dari depan kampungnya, lebih senang berjualan menuju ke Taman Bungkul.
"Ya saya jualan di Taman Bungkul, 'ngemper' di sana sampai pecel semangginya habis. Tapi ya gitu, kalau jualan di Taman Bungkul sambil kejar-kejaran dengan Satpol PP," kenangnya.
Manfaatkan internet
Tahun 2011, Aminah mencoba memanfaatkan kecanggihan teknologi internet untuk berjualan pecel semanggi. Praktis sejak itu dia sudah jarang menjualnya dengan terjun ke lapangan lagi.
"Saya coba pasarkan pecel semanggi melalui media sosial," katanya. Karena waktunya kini lebih banyak di rumah, sambil menunggu order dari internet, Aminah pun sambil berinovasi dengan banyak produk makanan lainnya.
Dia pernah mencoba membuat peyek semanggi, dikemas dan dipasarkan lewat internet, namun hasil kreasinya ini kurang mendapat respon di pasaran.
Hingga akhirnya perempuan berusia 39 tahun ini berinovasi agar pecel semanggi bisa diproduksi secara instan, sehingga bisa dibawa oleh orang-orang di luar kota sebagai oleh-oleh dan dapat dimasak sendiri di rumah.
Inovasi produk pecel semanggi instan yang diimpikannya itu berhasil di tahun 2015, setelah melalui berbagai macam uji coba. "Uji cobanya itu ya saya tes, dari bumbu-bumbu dan semanggi yang saya jadikan instan kuat bertahan berapa lama," katanya.
Semula Aminah hanya mampu membuat bumbu pecel semanggi instannya itu bertahan hingga selama satu minggu.
"Saya coba lagi yang bisa bertahan lebih lama, hingga akhirnya jadi seperti yang sekarang, yaitu mampu bertahan selama 1,5 bulan, dan saya pastikan ini tanpa bahan pengawet," katanya.
Aminah kemudian mengemasnya ke dalam dua bentuk ukuran untuk dilempar ke pasaran. Yaitu kemasan ukuran kecil, yang di dalamnya terdiri dari daun semanggi 30 gram, bumbu semanggi 200 gram, lengkap dengan krupuk pulinya sebanyak 5 biji. Aminah menjualnya seharga Rp50 ribu.
Selain itu Aminah juga mengemasnya menjadi ukuran besar, yang di dalamnya terdiri daun semanggi 80 gram, bumbu semanggi 500 gram dan krupuk puli sebanyak 10 biji. Untuk kemasan besar ini Aminah menjualnya seharga Rp95 ribu.
"Untuk kemasan ukuran kecil itu bisa dimasak menjadi sebanyak empat porsi. Sedangkan yang kemasan besar bisa menjadi 10 porsi," tuturnya.
Lumayan, hingga kini, pemesannya melalui internet datang dari berbagai daerah bahkan sampai ke Jakarta, Bali dan Kalimantan.
Aminah juga memasok ke sejumlah toko yang menjadi pusat oleh-oleh di Surabaya dan Malang. Di Sentra UKM yang ada di Surabaya, pasti ada produknya, seperti di Sentra UKM Merr, Siola, Balai Kota, dan di pusat oleh-oleh Jalan Gentengkali.
Diah berharap produk pecel semanggi instan ini juga bisa menjadi komoditas ekspor. "Ini sedang saya usahakan untuk diekspor. Untuk saat ini sudah ada orang Indonesia yang rutin mengambil untuk dijual ke Belanda," ucapnya.
Menularkan hasil
Aminah mencoba menularkan hasil temuan produk pecel semanggi instannya ini kepada para tetangganya. "Hanya saja para tetangga, ibu-ibu itu sementara ini masih belum mau ribet," katanya.
Memang, diakuinya, untuk membuat bumbu pecel semanggi ke dalam produk instan pembuatannya jauh lebih lama daripada yang biasanya membuat bumbu untuk langsung disajikan.
Meski Aminah telah meyakinkan, menjual produk instan dengan yang untuk disajikan penghasilannya juga sama.
"Ibu-ibu yang berjualan keliling kampung itu, kalau habis, sehari bisa dapat Rp350 ribu. Sama, saya sehari minimal juga dapat segitu. Tapi saya kan di rumah, gak capek-capek muter menggendong semanggi keliling kampung," ungkapnya.
Namun setidaknya sampai sekarang Aminah tidak pernah lelah menyerukan agar para tetangganya itu menjual pecel semanggi dengan cara modern. Meski tidak harus menjual produk semanggi instan seperti yang dilakukannya.
Paling tidak dia sudah menyarankan untuk menuliskan nomor ponsel mereka besar-besar di keranjangnya agar kalau ada pesanan dalam jumlah besar, orang-orang itu tahu harus menghubungi siapa.
Kini malah Aminah mencemaskan keberadaan tumbuhan semanggi itu sendiri. Mengingat pembangunan kota kini juga merambah ke wilayah Surabaya Barat, tempat para penghasil pecel semanggi di Sambikerep ini bermukim.
"Orang-orang sejak beberapa tahun yang lalu sudah banyak yang melepas lahannya ke pengembang," tuturnya. Bahkan kini dikatakan Aminah, banyak warga yang menanam semanggi ke lahan yang telah dibeli pengembang.
"Nah, kalau lahan-lahan yang ditanami warga itu sudah dibangun oleh Citraland, bukankah kita sudah tidak punya lahan lagi untuk menanam semanggi," imbuhnya.
Aminah pernah mengusulkan ke Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini, agar Pemkot Surabaya menyediakan lahan khusus untuk tanaman semanggi.
"Katakanlah Pemkot punya kebun semanggi sendiri, kan enak. Bisa dibuat untuk tempat wisata juga, tempat di mana orang-orang bisa mengenal tanaman semanggi, yang di sana nantinya wisatawan bisa memetik, sekaligus membuat sendiri pecel semanggi, makanan tradisional khas Surabaya," usulnya. Namun hingga kini usulannya itu masih belum direspon oleh Wali Kota Tri Rismaharini.