Warna putih mendominasi pemandangan dari balik kaca bus. Udara pun semakin dingin. Semak belukar maupun lahan-lahan mengering keabu-abuan.
Hampir seluruh pohon telah meranggas, tanpa daun sehelai pun di ranting-ranting mereka. Hamparan ladang padi terselimuti tumpukan bunga es kering yang turun semalam dari langit prefektur Nagano, Jepang.
Bus telah melaju hampir tiga jam dari ibukota, Tokyo, pada akhir musim beku yang menghampiri Negeri Sakura. Sebuah gedung bercat putih-cokelat lantas menyambut kami yang telah membelah hamparan salju di sini kanan-kiri perjalanan.
Tepuk tangan meriah datang dari para pegawai kantor desa Hakuba yang sembari menahan dingin akibat hembusan angin gunung. Selanjutnya, mereka perkenalkan desa mereka yang mempunyai keunggulan alam pada musim dingin.
"Saat akhir musim dingin, pegunungan Alpen Jepang hanya menyisakan salju pada puncak-puncaknya saja. Puncak gunung itu tampak seperti kuda putih. Kami menyebutnya Si Kuda Putih," kata Sekretaris Jenderal Asosiasi Pariwisata Hakuba Goryu Bunsei Sato tentang maskot di desanya yang bernama "Victoire Cheval Blanc Murao 3rd".
Jepang menyebut wilayahnya yang berada di ketinggian 705 meter di atas permukaan laut itu sebagai desa. Desa Hakuba bukanlah daerah dengan sebagian besar penduduknya berladang atau petani. Hampir seluruh warga Hakuba mengandalkan sektor pariwisata sebagai sumber pendapatan mereka, terutama wisata olahraga ski salju dan papan seluncur salju.
Setidaknya terdapat lima resor wisata olahraga ski di desa seluas 189,36 kilometer persegi itu. Maka, hilir-mudik turis domestik dan mancanegara membawa perlengkapan ski salju dan papan seluncur salju menjadi pemandangan lumrah di Hakuba.
"Olahraga ski telah masuk di desa kami sejak 1913. Kami sudah mulai mempunyai sebuah tempat penginapan bagi turis pada 1937," kata Wakil Kepala Desa Hakuba Oota Humitoshi.
Pada zaman Edo, Hakuba merupakan bagian dari Provinsi Shinano dan dikuasai oleh Matsumoto. Daerah itu disebut "jalur garam" karena merupakan penghubung antara wilayah penghasil garam dan produk laut lain dari pantai barat Jepang ke wilayah timur.
Kini, "jalur garam" itu berubah berkat kekayaan alam berupa serbuk salju yang menghujani Hakuba sepanjang musim dingin. "Salju serbuk alamiah itu menjadi ciri khas desa kami dibanding tempat lain di dunia," ujar Humitoshi.
Serbuk salju itu menyelimuti hampir seluruh pengunungan Alpen Jepang, dari bagian puncak gunung hingga lereng. Pecinta olahraga ski salju dan papan seluncur sangat menyukai salju yang berbentuk serbuk dibandingkan es padat karena memudahkan mereka saat bermain.
Udara dingin dari Rusia dan China berbenturan dengan udara hangat dari Samudera Pasifik di pegunungan Alpen Jepang sehingga menghasilkan salju berbentuk bubuk. "Itulah alasan Olimpiade Musim Dingin 1998 diselenggarakan di Hakuba, Nagano. Sejak saat itu, kami terus menerima wisatawan asing dari berbagai negara," kata Humitoshi.
Namun, berkah salju serbuk di Hakuba tidak berlangsung lama. Selepas musim dingin, wisatawan pun mulai meninggalkan desa itu. Pariwisata memang tetap terbuka, penduduk 9.120 jiwa itu mengandalkan pendakian gunung yang lantas diwarnai aneka bunga warna-warni.
Salah satu pemilik pondok penginapan di Hakuba, Kyoji Hitomi mengakui memang hanya salju pada musim dingin yang menjadi andalan wisata. Hitomi menghabiskan tiga musim lainnya untuk mengelola pondok penginapan di kota Kyoto.
"Kami bersyukur. Tahun ini, salju yang turun lebih banyak dibanding tahun lalu sehingga turis juga lebih banyak," kata Hitomi yang mengelola pondok penginapan Tokiwatei dengan arsitektur rumah khas Jepang.
Bersama istri dan sejumlah kerabatnya, Hitomi mengelola pondok Tokiwatei mulai akhir Desember hingga akhir Maret. "Saya adalah generasi keempat yang mengelola pondok penginapan ini dan juga di Kyoto," ujar Kyoji Hitomi.
Walaupun menjadi satu-satunya penginapan yang mempunyai arsitektur rumah Jepang, pondok Tokiwatei tidak lantas menjadi primadona bagi para pengunjung. Hitomi masih harus bersaing dengan puluhan penginapan lain yang memiliki arsitektur rumah modern.
"Banyak turis Australia yang berkunjung ke Hakuba dan mereka lebih memilih tinggal di penginapan modern yang juga menyajikan makanan seperti burger, kentang goreng dan steak," ujar Hitomi yang menyuguhkan menu nasi, yakizakana atau ikan panggang, tempura, dan sup miso.
Sebagian rombongan kami, sejumlah peserta program JENESYS 2016 yang merupakan pertukaran pemuda dari kawasan Asia Pasifik ke Jepang, berkesempatan menikmati rumah kayu Tokiwatei. Meski tampak tradisional, Tokiwatei dilengkapi penghangat ruangan dan saluran gas untuk pasokan air panas.
Suasana semakin hangat ketika Hitomi membimbing kami bermain ski salju. Kami yang baru pertama kali mencicipi musim dingin dan olahraga ski salju pun tak kuasa mengarahkan papan ski yang licin.
"Saya khawatir kalian akan mendapatkan pengalaman yang kurang menarik karena tidak dapat menikmati permainan ski salju," ujar Hitomi yang mencemaskan sebagian peserta yang beberapa kali terjatuh akibat tergelincir dari es.
Sekian belas kali terjatuh, Hitomi menyarankan agar kami beristirahat. "Saya rasa kalian sudah cukup bagus sebagai pemula. Setelah ini kita makan agar tenaga kita kembali," ujar bapak satu anak itu.
Kami puas menyantap hidangan tempura dan mie udon di dalam restoran bertungku di tepi area ski. "Apakah kalian merasa lelah? Bagaimana kalau kita menikmati onsen?" Hitomi menawarkan.
Kehangatan Hakuba makin meningkat tatkala perjalanan kami berikutnya berujung pada pemandian umum ala Jepang yang bersumber dari mata air panas alami. Mereka menyebutnya onsen.
Bagi kami yang tidak terbiasa mandi bersama-sama, tentu rasa risih langsung muncul. Alasan kami, onsen menyaratkan pengunjung untuk tidak mengenakan satu helai kain pun.
"Ayo, silakan masuk," kata Hitomi mengajak kami ke ruang ganti. Rak-rak kayu dengan keranjang baju berjejer di tepi kiri ruang ganti berukuran sekitar lima kali enam meter. Sedangkan cermin dan wastafel berada di sisi kanan.
Onsen mempunyai sebuah kolam air panas besar yang mampu menampung enam belas orang untuk berendam bersama. Tetapi, seluruh pengunjung wajib membilas badan dengan sabun sebelum berendam di kolam air panas itu.
Sambil mengemudikan mobil van, Hitomi mengatakan wisata musim dingin di Hakuba tidak hanya olahraga ski ataupun onsen. "Kalian bisa mengamati monyet salju yang berendam di onsen di desa Jigokudani, Nagano," ujar Hitomi. Tapi, kami menyampaikan program kunjungan di Jepang yang kami ikuti tidak termasuk kunjungan melihat monyet salju itu.
Bagi Hitomi yang lebih lama tinggal di Kyoto dibanding Hakuba, Nagano, akses transportasi secara langsung dari bandara internasional Narita Jepang menuju kawasan wisata salju Alpen Jepang itu kurang memadai.
"Kami ingin wisatawan dapat mengakses kereta secara langsung dari Narita menuju Nagano. Seringkali, tamu-tamu kami dari Australia harus berpindah ke moda transportasi lain sebelum ke Hakuba," katanya.
Jika dibandingkan Kyoto, tentu wisatawan di Hakuba tidak sebanyak dan bervariasi seperti di bekas ibukota Negeri Matahari Terbit itu. "Kyoto lebih menawarkan budaya Jepang. Di sini, olahraga ski salju menjadi tujuan utama. Hakuba perlu lebih sering promosi wisata ke negara-negara beriklim tropis karena mereka tidak mempunyai salju," kata Hitomi.
Selain wisatawan Australia, Pemerintah Desa Hakuba telah menyasar masyarakat ASEAN yang ingin menikmati wisata musim dingin murah tanpa harus ke negara-negara Eropa atau Amerika Utara.
"Mulai 2010, wisatawan asing di Hakuba bukan hanya dari Australia melainkan juga Asia Tenggara. Sejak saat itu, kami sering mendengar keluhan wisatawan muslim tentang makanan halal," kata Bunsei Sato.
Resor-resor wisata di Hakuba, lanjut Sato, mulai menyediakan makanan halal bagi para wisatawan muslim. "Kami terus berusaha menyesuaikan dengan permintaan wisatawan meskipun hal itu masih menjadi tantangan bagi kami," katanya.
Sato menambahkan kekurangan Hakuba bagi wisatawan muslim adalah ketiadaan masjid. "Kami tetap ingin menekankan agar warga mampu beradaptasi dengan seluruh wisatawan," ujarnya. Pernyataan Sato itu terbukti dengan kehadiran satu-dua hotel di Hakuba yang menyediakan kamar ibadah dan perlengkapannya serta makanan halal.
Fokus pariwisata Hakuba untuk menargetkan pasar turis muslim ASEAN semakin lengkap dengan keberadaan sejumlah pegawai dari Malaysia di hotel. Direktur Utama Resor Ski Hakuba Goryu Hideki Ito mengatakan jumlah pegawai asing di resornya antara 30 hingga 40 orang dari total 250 orang pegawai.
"Kami sangat menghargai keberadaan para pekerja asing di Hakuba karena mereka antusias mempelajari karakter dan budaya orang Jepang," kata Ito.
Sebaliknya, warga Hakuba juga sangat antusias mengetahui karakter dan budaya para pengunjung asing, terutama dari kawasan ASEAN. Selain penyediaan sarana ibadah dan makanan halal, antusiasme warga Hakuba juga tampak dari minat mereka mengetahui kebiasaan sehari-hari para pengunjung di tempat tinggal asalnya.
Hitomi misalnya, sangat tertarik tatkala kami memperlihatkan betapa indahnya pantai-pantai dan laut tropis Indonesia. "Istri saya suka olahraga menyelam. Kami akan mengunjungi Indonesia," ujar Hitomi yang lebih tertarik dengan olahraga selancar ombak.
Suhu -4 derajat celcius pada malam hari di Hakuba pun terasa hangat di ruang dapur beralas tatami di dalam Tokiwatei. Kami lantas bersama-sama mengucapkan "Itadakimasu" dan mulai menyantap sayuran di atas "nabemono" panas.
Hampir seluruh pohon telah meranggas, tanpa daun sehelai pun di ranting-ranting mereka. Hamparan ladang padi terselimuti tumpukan bunga es kering yang turun semalam dari langit prefektur Nagano, Jepang.
Bus telah melaju hampir tiga jam dari ibukota, Tokyo, pada akhir musim beku yang menghampiri Negeri Sakura. Sebuah gedung bercat putih-cokelat lantas menyambut kami yang telah membelah hamparan salju di sini kanan-kiri perjalanan.
Tepuk tangan meriah datang dari para pegawai kantor desa Hakuba yang sembari menahan dingin akibat hembusan angin gunung. Selanjutnya, mereka perkenalkan desa mereka yang mempunyai keunggulan alam pada musim dingin.
"Saat akhir musim dingin, pegunungan Alpen Jepang hanya menyisakan salju pada puncak-puncaknya saja. Puncak gunung itu tampak seperti kuda putih. Kami menyebutnya Si Kuda Putih," kata Sekretaris Jenderal Asosiasi Pariwisata Hakuba Goryu Bunsei Sato tentang maskot di desanya yang bernama "Victoire Cheval Blanc Murao 3rd".
Jepang menyebut wilayahnya yang berada di ketinggian 705 meter di atas permukaan laut itu sebagai desa. Desa Hakuba bukanlah daerah dengan sebagian besar penduduknya berladang atau petani. Hampir seluruh warga Hakuba mengandalkan sektor pariwisata sebagai sumber pendapatan mereka, terutama wisata olahraga ski salju dan papan seluncur salju.
Setidaknya terdapat lima resor wisata olahraga ski di desa seluas 189,36 kilometer persegi itu. Maka, hilir-mudik turis domestik dan mancanegara membawa perlengkapan ski salju dan papan seluncur salju menjadi pemandangan lumrah di Hakuba.
"Olahraga ski telah masuk di desa kami sejak 1913. Kami sudah mulai mempunyai sebuah tempat penginapan bagi turis pada 1937," kata Wakil Kepala Desa Hakuba Oota Humitoshi.
Pada zaman Edo, Hakuba merupakan bagian dari Provinsi Shinano dan dikuasai oleh Matsumoto. Daerah itu disebut "jalur garam" karena merupakan penghubung antara wilayah penghasil garam dan produk laut lain dari pantai barat Jepang ke wilayah timur.
Kini, "jalur garam" itu berubah berkat kekayaan alam berupa serbuk salju yang menghujani Hakuba sepanjang musim dingin. "Salju serbuk alamiah itu menjadi ciri khas desa kami dibanding tempat lain di dunia," ujar Humitoshi.
Serbuk salju itu menyelimuti hampir seluruh pengunungan Alpen Jepang, dari bagian puncak gunung hingga lereng. Pecinta olahraga ski salju dan papan seluncur sangat menyukai salju yang berbentuk serbuk dibandingkan es padat karena memudahkan mereka saat bermain.
Udara dingin dari Rusia dan China berbenturan dengan udara hangat dari Samudera Pasifik di pegunungan Alpen Jepang sehingga menghasilkan salju berbentuk bubuk. "Itulah alasan Olimpiade Musim Dingin 1998 diselenggarakan di Hakuba, Nagano. Sejak saat itu, kami terus menerima wisatawan asing dari berbagai negara," kata Humitoshi.
Namun, berkah salju serbuk di Hakuba tidak berlangsung lama. Selepas musim dingin, wisatawan pun mulai meninggalkan desa itu. Pariwisata memang tetap terbuka, penduduk 9.120 jiwa itu mengandalkan pendakian gunung yang lantas diwarnai aneka bunga warna-warni.
Salah satu pemilik pondok penginapan di Hakuba, Kyoji Hitomi mengakui memang hanya salju pada musim dingin yang menjadi andalan wisata. Hitomi menghabiskan tiga musim lainnya untuk mengelola pondok penginapan di kota Kyoto.
"Kami bersyukur. Tahun ini, salju yang turun lebih banyak dibanding tahun lalu sehingga turis juga lebih banyak," kata Hitomi yang mengelola pondok penginapan Tokiwatei dengan arsitektur rumah khas Jepang.
Bersama istri dan sejumlah kerabatnya, Hitomi mengelola pondok Tokiwatei mulai akhir Desember hingga akhir Maret. "Saya adalah generasi keempat yang mengelola pondok penginapan ini dan juga di Kyoto," ujar Kyoji Hitomi.
Walaupun menjadi satu-satunya penginapan yang mempunyai arsitektur rumah Jepang, pondok Tokiwatei tidak lantas menjadi primadona bagi para pengunjung. Hitomi masih harus bersaing dengan puluhan penginapan lain yang memiliki arsitektur rumah modern.
"Banyak turis Australia yang berkunjung ke Hakuba dan mereka lebih memilih tinggal di penginapan modern yang juga menyajikan makanan seperti burger, kentang goreng dan steak," ujar Hitomi yang menyuguhkan menu nasi, yakizakana atau ikan panggang, tempura, dan sup miso.
Sebagian rombongan kami, sejumlah peserta program JENESYS 2016 yang merupakan pertukaran pemuda dari kawasan Asia Pasifik ke Jepang, berkesempatan menikmati rumah kayu Tokiwatei. Meski tampak tradisional, Tokiwatei dilengkapi penghangat ruangan dan saluran gas untuk pasokan air panas.
Suasana semakin hangat ketika Hitomi membimbing kami bermain ski salju. Kami yang baru pertama kali mencicipi musim dingin dan olahraga ski salju pun tak kuasa mengarahkan papan ski yang licin.
"Saya khawatir kalian akan mendapatkan pengalaman yang kurang menarik karena tidak dapat menikmati permainan ski salju," ujar Hitomi yang mencemaskan sebagian peserta yang beberapa kali terjatuh akibat tergelincir dari es.
Sekian belas kali terjatuh, Hitomi menyarankan agar kami beristirahat. "Saya rasa kalian sudah cukup bagus sebagai pemula. Setelah ini kita makan agar tenaga kita kembali," ujar bapak satu anak itu.
Kami puas menyantap hidangan tempura dan mie udon di dalam restoran bertungku di tepi area ski. "Apakah kalian merasa lelah? Bagaimana kalau kita menikmati onsen?" Hitomi menawarkan.
Kehangatan Hakuba makin meningkat tatkala perjalanan kami berikutnya berujung pada pemandian umum ala Jepang yang bersumber dari mata air panas alami. Mereka menyebutnya onsen.
Bagi kami yang tidak terbiasa mandi bersama-sama, tentu rasa risih langsung muncul. Alasan kami, onsen menyaratkan pengunjung untuk tidak mengenakan satu helai kain pun.
"Ayo, silakan masuk," kata Hitomi mengajak kami ke ruang ganti. Rak-rak kayu dengan keranjang baju berjejer di tepi kiri ruang ganti berukuran sekitar lima kali enam meter. Sedangkan cermin dan wastafel berada di sisi kanan.
Onsen mempunyai sebuah kolam air panas besar yang mampu menampung enam belas orang untuk berendam bersama. Tetapi, seluruh pengunjung wajib membilas badan dengan sabun sebelum berendam di kolam air panas itu.
Sambil mengemudikan mobil van, Hitomi mengatakan wisata musim dingin di Hakuba tidak hanya olahraga ski ataupun onsen. "Kalian bisa mengamati monyet salju yang berendam di onsen di desa Jigokudani, Nagano," ujar Hitomi. Tapi, kami menyampaikan program kunjungan di Jepang yang kami ikuti tidak termasuk kunjungan melihat monyet salju itu.
Bagi Hitomi yang lebih lama tinggal di Kyoto dibanding Hakuba, Nagano, akses transportasi secara langsung dari bandara internasional Narita Jepang menuju kawasan wisata salju Alpen Jepang itu kurang memadai.
"Kami ingin wisatawan dapat mengakses kereta secara langsung dari Narita menuju Nagano. Seringkali, tamu-tamu kami dari Australia harus berpindah ke moda transportasi lain sebelum ke Hakuba," katanya.
Jika dibandingkan Kyoto, tentu wisatawan di Hakuba tidak sebanyak dan bervariasi seperti di bekas ibukota Negeri Matahari Terbit itu. "Kyoto lebih menawarkan budaya Jepang. Di sini, olahraga ski salju menjadi tujuan utama. Hakuba perlu lebih sering promosi wisata ke negara-negara beriklim tropis karena mereka tidak mempunyai salju," kata Hitomi.
Selain wisatawan Australia, Pemerintah Desa Hakuba telah menyasar masyarakat ASEAN yang ingin menikmati wisata musim dingin murah tanpa harus ke negara-negara Eropa atau Amerika Utara.
"Mulai 2010, wisatawan asing di Hakuba bukan hanya dari Australia melainkan juga Asia Tenggara. Sejak saat itu, kami sering mendengar keluhan wisatawan muslim tentang makanan halal," kata Bunsei Sato.
Resor-resor wisata di Hakuba, lanjut Sato, mulai menyediakan makanan halal bagi para wisatawan muslim. "Kami terus berusaha menyesuaikan dengan permintaan wisatawan meskipun hal itu masih menjadi tantangan bagi kami," katanya.
Sato menambahkan kekurangan Hakuba bagi wisatawan muslim adalah ketiadaan masjid. "Kami tetap ingin menekankan agar warga mampu beradaptasi dengan seluruh wisatawan," ujarnya. Pernyataan Sato itu terbukti dengan kehadiran satu-dua hotel di Hakuba yang menyediakan kamar ibadah dan perlengkapannya serta makanan halal.
Fokus pariwisata Hakuba untuk menargetkan pasar turis muslim ASEAN semakin lengkap dengan keberadaan sejumlah pegawai dari Malaysia di hotel. Direktur Utama Resor Ski Hakuba Goryu Hideki Ito mengatakan jumlah pegawai asing di resornya antara 30 hingga 40 orang dari total 250 orang pegawai.
"Kami sangat menghargai keberadaan para pekerja asing di Hakuba karena mereka antusias mempelajari karakter dan budaya orang Jepang," kata Ito.
Sebaliknya, warga Hakuba juga sangat antusias mengetahui karakter dan budaya para pengunjung asing, terutama dari kawasan ASEAN. Selain penyediaan sarana ibadah dan makanan halal, antusiasme warga Hakuba juga tampak dari minat mereka mengetahui kebiasaan sehari-hari para pengunjung di tempat tinggal asalnya.
Hitomi misalnya, sangat tertarik tatkala kami memperlihatkan betapa indahnya pantai-pantai dan laut tropis Indonesia. "Istri saya suka olahraga menyelam. Kami akan mengunjungi Indonesia," ujar Hitomi yang lebih tertarik dengan olahraga selancar ombak.
Suhu -4 derajat celcius pada malam hari di Hakuba pun terasa hangat di ruang dapur beralas tatami di dalam Tokiwatei. Kami lantas bersama-sama mengucapkan "Itadakimasu" dan mulai menyantap sayuran di atas "nabemono" panas.