Jakarta (ANTARA Sumsel) - Jaksa penuntut umum (JPU) mengungkap kasus pembunuhan yang terkait dengan saksi ahli dari Jessica Wongso, pakar toksikologi asal Australia Michael Robertson, yang terjadi pada tahun 2000.
JPU Ardito Muwardi mempermasalahkan hal tersebut dan memberikan bukti berupa hasil cetak berita pembunuhan di Amerika Serikat itu yang dimuat di laman daring dailymail.co.uk kepada Majelis Hakim.
"Apakah informasi itu benar atau tidak?" tanya Ardito kepada saksi ahli dalam sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Rabu.
Michael Robertson menjawab bahwa nama yang ada dalam berita itu adalah dirinya. Namun, dia menolak menegaskan bahwa berita itu benar atau tidak.
Berdasarkan pantauan Antara pada laman media Inggris dailymail.co.uk tersebut, Michael Robertson diduga terlibat dalam pembunuhan Gerard Baden-Clay, yang dilakukan oleh istrinya, seorang pakar toksikologi Amerika Serikat, Kristin Rossum pada tahun 2000.
Nama Michael terseret karena dia diketahui memiliki hubungan asmara dengan Kristin, bawahannya di lembaga penelitian di San Diego, AS, di mana Michael menjadi kepala toksikologis.
Kasus ini sempat menggemparkan AS karena Gerard Baden-Clay tewas akibat dosis berlebihan dari fentanil, penghilang rasa sakit disebut berdosis 150 kali lebih kuat daripada morfin, yang didapatkan Kristin Rossum dari lembaga penelitian tempat di bawah kepemipinan Michael Robertson. Michael saat itu diduga memberikan bantuan kepada Kristin untuk mendapatkan obat tersebut.
Usai pembunuhan, jenazah Gerard ditutupi oleh daun bunga mawar untuk mengesankan korban bunuh diri. Perkara ini pun dikenal dengan pembunuhan "American Beauty", sama seperti judul film pada tahun 1999 yang memiliki adegan terkenal dimana aktor perempuannya berbaring dengan hanya ditutupi oleh daun bunga mawar.
Michael Robertson sendiri akhirnya dinyatakan tidak terlibat dalam perkara tersebut. Sementara Kristin divonis bersalah dan dihukum seumur hidup.
Otto Marah
Menanggapi tindakan JPU yang mengumbar kasus saksi ahli berdasarkan berita daring, pengacara terdakwa Otto Hasibuan tidak bisa menyembunyikan rasa marahnya.
Di hadapan media dia menyebut pengangkatan perkara Michael Robertson yang disodorkan di pengadilan adalah "sampah".
"Itu sampah dan harus diusut tuntas. Itu kan tadi diberikan oleh Bapaknya Mirna, Darmawan Salihin kepada jaksa saat sidang. Tidak boleh seperti itu," kata Otto, sembari menambahkan bahwa ada yang melihat Darmawan memberikan cetakan berita daring itu kepada JPU.
JPU, lanjut dia, seharusnya melakukan verifikasi lebih lanjut mengenai setiap bukti di yang disodorkan ke pengadilan. Karena kalau tidak benar, maka hal tersebut bisa dikatakan penghinaan.
Untuk dugaan keterlibatan Darmawan Salihin dalam sidang, dengan memberikan data tambahan untuk JPU, Otro menyatakan akan bertindak dan mengadukannya ke Kejaksaan Agung.
"Tidak boleh membawa apapun yang belum diverifikasi ke persidangan. Akan kami usut bagaimana Darmawan diam-diam berkomunikasi dengan JPU," tutur Otto.
Dia menegaskan, persidangan kasus tewasnya Wayan Mirna Salihin diduga akibat kopi bersianida ini seharusnya menjadi ajang untuk menegakkan hukum, bukan mencari-cari kesalahan.
"Kalau Jessica salah silakan dihukum. Namun kalau tidak ya dibebaskan," ujar Otto.
Wayan Mirna Salihin sendiri tewas pada Rabu, 6 Januari 2016 di Kafe Olivier, Grand Indonesia, Jakarta. Korban diduga meregang nyawa akibat menenggak kopi es vietnam yang dipesan oleh terdakwa Jessica Kumala Wongso.
JPU Ardito Muwardi mempermasalahkan hal tersebut dan memberikan bukti berupa hasil cetak berita pembunuhan di Amerika Serikat itu yang dimuat di laman daring dailymail.co.uk kepada Majelis Hakim.
"Apakah informasi itu benar atau tidak?" tanya Ardito kepada saksi ahli dalam sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Rabu.
Michael Robertson menjawab bahwa nama yang ada dalam berita itu adalah dirinya. Namun, dia menolak menegaskan bahwa berita itu benar atau tidak.
Berdasarkan pantauan Antara pada laman media Inggris dailymail.co.uk tersebut, Michael Robertson diduga terlibat dalam pembunuhan Gerard Baden-Clay, yang dilakukan oleh istrinya, seorang pakar toksikologi Amerika Serikat, Kristin Rossum pada tahun 2000.
Nama Michael terseret karena dia diketahui memiliki hubungan asmara dengan Kristin, bawahannya di lembaga penelitian di San Diego, AS, di mana Michael menjadi kepala toksikologis.
Kasus ini sempat menggemparkan AS karena Gerard Baden-Clay tewas akibat dosis berlebihan dari fentanil, penghilang rasa sakit disebut berdosis 150 kali lebih kuat daripada morfin, yang didapatkan Kristin Rossum dari lembaga penelitian tempat di bawah kepemipinan Michael Robertson. Michael saat itu diduga memberikan bantuan kepada Kristin untuk mendapatkan obat tersebut.
Usai pembunuhan, jenazah Gerard ditutupi oleh daun bunga mawar untuk mengesankan korban bunuh diri. Perkara ini pun dikenal dengan pembunuhan "American Beauty", sama seperti judul film pada tahun 1999 yang memiliki adegan terkenal dimana aktor perempuannya berbaring dengan hanya ditutupi oleh daun bunga mawar.
Michael Robertson sendiri akhirnya dinyatakan tidak terlibat dalam perkara tersebut. Sementara Kristin divonis bersalah dan dihukum seumur hidup.
Otto Marah
Menanggapi tindakan JPU yang mengumbar kasus saksi ahli berdasarkan berita daring, pengacara terdakwa Otto Hasibuan tidak bisa menyembunyikan rasa marahnya.
Di hadapan media dia menyebut pengangkatan perkara Michael Robertson yang disodorkan di pengadilan adalah "sampah".
"Itu sampah dan harus diusut tuntas. Itu kan tadi diberikan oleh Bapaknya Mirna, Darmawan Salihin kepada jaksa saat sidang. Tidak boleh seperti itu," kata Otto, sembari menambahkan bahwa ada yang melihat Darmawan memberikan cetakan berita daring itu kepada JPU.
JPU, lanjut dia, seharusnya melakukan verifikasi lebih lanjut mengenai setiap bukti di yang disodorkan ke pengadilan. Karena kalau tidak benar, maka hal tersebut bisa dikatakan penghinaan.
Untuk dugaan keterlibatan Darmawan Salihin dalam sidang, dengan memberikan data tambahan untuk JPU, Otro menyatakan akan bertindak dan mengadukannya ke Kejaksaan Agung.
"Tidak boleh membawa apapun yang belum diverifikasi ke persidangan. Akan kami usut bagaimana Darmawan diam-diam berkomunikasi dengan JPU," tutur Otto.
Dia menegaskan, persidangan kasus tewasnya Wayan Mirna Salihin diduga akibat kopi bersianida ini seharusnya menjadi ajang untuk menegakkan hukum, bukan mencari-cari kesalahan.
"Kalau Jessica salah silakan dihukum. Namun kalau tidak ya dibebaskan," ujar Otto.
Wayan Mirna Salihin sendiri tewas pada Rabu, 6 Januari 2016 di Kafe Olivier, Grand Indonesia, Jakarta. Korban diduga meregang nyawa akibat menenggak kopi es vietnam yang dipesan oleh terdakwa Jessica Kumala Wongso.