Palembang (ANTARA Sumsel) - Ketua DPRD nonaktif Kabupaten Musi Banyuasin, Sumatera Selatan, Riamon Iskandar dalam keterangannya sebagai terdakwa mengaku sudah mengembalikan uang suap ke negara dengan cara menjual tanah warisan keluarga.
Riamon memberikan keterangan tersebut ketika ditanya penasihat hukumnya pada sidang lanjutan di Pengadilan Tipikor Palembang, Rabu, atas perkaranya dirinya sendiri bersama empat rekannya sesama pimpinan DPRD.
Tiga terdakwa lainnya, Islan Hanura, Darwin AH, dan Aidil Fitri.
"Saya sudah menggembalikan uang Rp149 juta dengan cara menjual tanah warisan," kata Riamon sambil menangis.
Dalam keterangannya di muka persidangan yang diketuai Pharlas Nababan itu, Riamon terlihat sangat menyesal. Nada suaranya rendah dan selalu menjawab setiap pertanyaan hakim dan jaksa penuntut umum KPK dengan santun.
Saat ditanya JPU Abdul Basir, apakah dirinya memiliki tanggungan seperti anak, istri, dan orangtua, Riamon sontak menangis.
"Iya masih ada," kata Riamon sembari menyeka air mata.
Dalam keterangan sebagai terdakwa, Riamon mengaku bahwa dirinya menjadi ketua DPRD sejak 9 Januari 2015 dengan kondisi sangat miskin pengetahuan mengenai tugas dan fungsi sebagai ketua.
"Saya tidak paham meski sebelumnya saya sudah menjadi anggota DPRD. Ketika RAPBD disampaikan Pemkab ke DPRD, saya pun tidak tahu harus diapakan. Lalu sekretaris saya mengatakan nanti akan ada pembahasannya. Jadi saya jadi ketua pada dasarnya hanya mengikuti saja," kata dia.
Selain itu, saya juga tidak terlalu banyak mengikuti rapat DPRD karena sedang mengalami sakit sehingga lebih banyak berada di kampung halaman di Jambi.
"Jika dihitung, saya baru memimpin rapat paripurna sekitar empat kali, lalu ada OTT KPK," kata dia.
Terlepas dari penyesalannya itu, Riamon tidak membantah bahwa dirinya menerima uang suap yakni yang pertama Rp99 juta, dan yang kedua Rp50 juta dari Pemkab Muba untuk pengesahana RAPBD 2015 dan Laporan Keterangan Pertanggungjawaban Bupati 2014.
Termasuk tindakannya yang menelpon Faisyar (Kepala Bappeda) atas suruhan Islan Hanura untuk menanyakan realisasi kekurangan uang yang dijanjikan eksekutif.
Upaya meminta ini diungkapkan JPU KPU dalam rekaman yang diputar dipersidangan tersebut.
"Setengahnya dulu tidak apa, soalnya bagian ketua itu besar (rencananya dijanjikan masing-masing ketua Rp500 juta, red)," kata Riamon dalam rekaman pembicaraannya.
Kasus suap terungkap setelah KPK melakukan operasi tangkap tangan di kediaman Bambang Karyanto (Ketua Fraksi PDI-P) pada 19 Juni 2015 ketika dilakukan penyerahan sisa kesepakatan suap yang menjadi angsuran ketiga yakni senilai Rp2,56 miliar.
Menurut dakwaan Jaksa, Pemkab dan DPRD sudah saling bersepakat dengan nilai suap Rp17,5 miliar untuk memuluskan RAPBD Muba 2015 dan Laporan Pertanggungjawaban Bupati tahun 2014, meski diketahui secara hukum tidak ada konsekwensi langsung ke Pemkab jika tidak diterima DPRD.
Jaksa menjerat empat pimpinan DPRD ini dengan Pasal 12 huruf a atau pasal 12 huruf b atau pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo. pasal 55 ayat (1) ke-1 jo. pasal 64 KUH Pidana dengan ancaman 20 tahun penjara.
Riamon memberikan keterangan tersebut ketika ditanya penasihat hukumnya pada sidang lanjutan di Pengadilan Tipikor Palembang, Rabu, atas perkaranya dirinya sendiri bersama empat rekannya sesama pimpinan DPRD.
Tiga terdakwa lainnya, Islan Hanura, Darwin AH, dan Aidil Fitri.
"Saya sudah menggembalikan uang Rp149 juta dengan cara menjual tanah warisan," kata Riamon sambil menangis.
Dalam keterangannya di muka persidangan yang diketuai Pharlas Nababan itu, Riamon terlihat sangat menyesal. Nada suaranya rendah dan selalu menjawab setiap pertanyaan hakim dan jaksa penuntut umum KPK dengan santun.
Saat ditanya JPU Abdul Basir, apakah dirinya memiliki tanggungan seperti anak, istri, dan orangtua, Riamon sontak menangis.
"Iya masih ada," kata Riamon sembari menyeka air mata.
Dalam keterangan sebagai terdakwa, Riamon mengaku bahwa dirinya menjadi ketua DPRD sejak 9 Januari 2015 dengan kondisi sangat miskin pengetahuan mengenai tugas dan fungsi sebagai ketua.
"Saya tidak paham meski sebelumnya saya sudah menjadi anggota DPRD. Ketika RAPBD disampaikan Pemkab ke DPRD, saya pun tidak tahu harus diapakan. Lalu sekretaris saya mengatakan nanti akan ada pembahasannya. Jadi saya jadi ketua pada dasarnya hanya mengikuti saja," kata dia.
Selain itu, saya juga tidak terlalu banyak mengikuti rapat DPRD karena sedang mengalami sakit sehingga lebih banyak berada di kampung halaman di Jambi.
"Jika dihitung, saya baru memimpin rapat paripurna sekitar empat kali, lalu ada OTT KPK," kata dia.
Terlepas dari penyesalannya itu, Riamon tidak membantah bahwa dirinya menerima uang suap yakni yang pertama Rp99 juta, dan yang kedua Rp50 juta dari Pemkab Muba untuk pengesahana RAPBD 2015 dan Laporan Keterangan Pertanggungjawaban Bupati 2014.
Termasuk tindakannya yang menelpon Faisyar (Kepala Bappeda) atas suruhan Islan Hanura untuk menanyakan realisasi kekurangan uang yang dijanjikan eksekutif.
Upaya meminta ini diungkapkan JPU KPU dalam rekaman yang diputar dipersidangan tersebut.
"Setengahnya dulu tidak apa, soalnya bagian ketua itu besar (rencananya dijanjikan masing-masing ketua Rp500 juta, red)," kata Riamon dalam rekaman pembicaraannya.
Kasus suap terungkap setelah KPK melakukan operasi tangkap tangan di kediaman Bambang Karyanto (Ketua Fraksi PDI-P) pada 19 Juni 2015 ketika dilakukan penyerahan sisa kesepakatan suap yang menjadi angsuran ketiga yakni senilai Rp2,56 miliar.
Menurut dakwaan Jaksa, Pemkab dan DPRD sudah saling bersepakat dengan nilai suap Rp17,5 miliar untuk memuluskan RAPBD Muba 2015 dan Laporan Pertanggungjawaban Bupati tahun 2014, meski diketahui secara hukum tidak ada konsekwensi langsung ke Pemkab jika tidak diterima DPRD.
Jaksa menjerat empat pimpinan DPRD ini dengan Pasal 12 huruf a atau pasal 12 huruf b atau pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo. pasal 55 ayat (1) ke-1 jo. pasal 64 KUH Pidana dengan ancaman 20 tahun penjara.