Jakarta (ANTARA) - Presiden Prabowo Subianto menggunakan analogi jet pribadi untuk menggambarkan barang mewah. Ia juga menyebut kapal pesiar, yacht, motor yacht, dan rumah yang sangat mewah dalam daftar berikutnya.
Alih-alih menyebutkan benda-benda yang selama ini menyangkut hajat hidup orang banyak atau barang/jasa yang banyak dikonsumsi kaum menengah, Presiden memberikan contoh yang sangat kontras.
Pernyataan yang disampaikan di Kantor Kementerian Keuangan Jakarta, pada Selasa, 31 Desember 2024, itu memberikan kesan bahwa ia ingin menghentikan polemik kebijakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang sempat memanas dan mewarnai halaman media, juga lini masa dalam beberapa waktu terakhir.
Ia menegaskan tentang kenaikan tarif 1 persen PPN dar 11 persen menjadi 12 persen hanya dikenakan khusus terhadap barang dan jasa mewah.
Selain barang tersebut, besaran tarif PPN untuk barang dan jasa lainnya masih sesuai dengan tarif yang berlaku sejak tahun 2022, yaitu sebesar 11 persen.
Diskursus mengenai kenaikan PPN memang tidak bisa dilepaskan dari dampaknya yang amat luas. Sebagai kebijakan fiskal, koreksi atas PPN, sekecil apapun, akan mengubah kesetimbangan, mencakup sisi daya beli masyarakat, potensi inflasi, dan pertumbuhan ekonomi.
Oleh karena itu, Presiden berkeras bahwa seluruh kebijakannya, termasuk dalam perpajakan, harus dirancang untuk mengutamakan kepentingan rakyat dan menciptakan pemerataan ekonomi secara menyeluruh.
Komitmennya patut dikawal untuk memberikan paket stimulus yang diperuntukkan bagi masyarakat atas kebijakan baru tersebut.
Diskursus baru
Kenaikan PPN, meskipun terbatas pada barang mewah memang tetap membawa diskursus baru dalam kebijakan fiskal Indonesia.
Langkah ini menunjukkan arah kebijakan selektif yang dirancang untuk menjaga daya beli masyarakat umum, sekaligus memperkuat penerimaan negara dari segmen yang relatif lebih mampu secara ekonomi.
Pendekatan ini mencerminkan adanya upaya pemerintah untuk menciptakan keseimbangan antara keadilan sosial dan kebutuhan fiskal.
Barang mewah, secara definisi, merupakan barang yang konsumsinya lebih elastis terhadap pendapatan. Konsumsi barang ini sering kali tidak bersifat esensial, melainkan sekadar menunjukkan status sosial atau gaya hidup.