Pesan toleransi di balik buku "Kristen Muhammadiyah"

id Kristen Muhammadiyah ,Organisasi Muhammadiyah ,Pendidikan ,Daerah 3T ,Toleransi ,Merdeka Belajar

Pesan toleransi di balik buku "Kristen Muhammadiyah"

Penulis buku Kristen Muhammadiyah Fajar Riza Ul Haq menyerahkan bukunya kepada peserta "Bedah Buku Kristen Muhammadiya: Mengelola Pluralitas Agama dalam Pendidikan" yang diselenggarakan UMMI pada Kamis, (15/6). ANTARA/Aditya Rohman


Mengingat penting dan relevannya buku yang mengulas data dan fakta tentang toleransi antarumat beragama tersebut, Kemendikbud Ristek RI sebelumnya menggelar bedah buku Krismuha.


Bisa diterima

Dalam buku itu tidak ditemukan adanya ajaran agama yang menyimpang maupun sinkretisme. Penulis lebih banyak menceritakan kondisi dunia pendidikan di daerah-daerah terdepan, terpencil, dan tertinggal (3-T) seperti beberapa daerah di Indonesia timur.

Fajar Riza Ul Haq menceritakan pengalaman datang langsung ke beberapa daerah 3-T untuk melihat kondisi dunia pendidikan.

Ternyata kehadiran lembaga pendidikan Muhammadiyah di daerah minoritas Muslim sangat membantu warga untuk mendapatkan pendidikan di tengah keterbatasan sekolah.

Dalam buku itu, penulis menceritakan di mana banyak warga non-Muslim yang bersekolah di Muhammadiyah. Bahkan banyak lulusannya menjadi pejabat daerah. Umat Kristen dan Katolik yang menimba ilmu di lembaga pendidikan Muhammadiyah mengaku bangga pernah sekolah milik organisasi yang didirikan oleh K.H. Ahmad Dahlan.

Buku Kristen Muhammadiyah terbit pertama pada tahun 2009 setelah penulisnya selama 1 tahun (2008) melakukan penelitian tentang kondisi pendidikan di daerah 3-T.

Namun, pada saat itu dunia media sosial belum semasif seperti sekarang. Akses internet pun masih terbatas sehingga saat kali pertama terbit, buku ini tidak memicu polemik seperti sekarang.

Di kalangan internal Muhammadiyah, istilah Krismuha sudah lama ada dengan mengacu pengertian seperti disampaikan Fajar Riza Ul Haq.

Fajar mengaku pada saat itu, bukunya hanya beredar di kalangan tertentu.

Berbeda dengan kondisi sekarang ketika media sosial nyaris menyentuh semua orang dan internet dengan mudah diakses. Oleh karena itu, saat buku itu kembali dicetak untuk yang kedua kalinya sekitar Mei 2023, istilah Kristen Muhammadiyah langsung menjadi pembahasan ramai di media sosial.

Namun, Fajar menganggap viralnya buku itu malah menjadi keuntungan bagi dirinya. Selain dari sisi royalti, masyarakat yang penasaran dengan istilah Krismuha itu kemudian membeli buku dan akhirnya membaca bisa mengetahui makna dan tujuan ia menulis buku itu.

Sesuai tema dari buku itu "Mengelola Pluralitas Agama dalam Pendidikan", tujuan penulis menerbitkan kembali buku itu ingin menggambarkan situasi toleransi serta kondisi pendidikan di daerah-daerah terpencil di Indonesia.

Selain itu, dalam buku itu dijelaskan interaksi harmonis antara pelajar Muslim, Kristen, dan Katolik yang bersekolah di lembaga pendidikan Muhammadiyah. Para pelajar itu sama sekali tidak menonjolkan identitas keagamaannya. Yang terjadi justru saling menghargai serta memiliki rasa toleransi yang kuat.

Penulis ingin meningkatkan dan menguatkan praktik toleransi khususnya kepada generasi penerus bangsa tentang pentingnya toleransi di negara multikultural seperti Indonesia ini.

Buku tersebut juga ingin menunjukkan bahwa hadirnya Muhammadiyah di tengah masyarakat minoritas Muslim sangat diterima, bahkan membantu meningkatkan kualitas pendidikan khususnya di daerah 3-T.

Fajar menyayangkan masih ada sebagian kecil yang menjadikan bukunya itu sebagai "bancakan" untuk menyerang Muhammadiyah, padahal yang bersangkutan dipastikan belum pernah membaca isinya.

Indonesia memang merupakan salah satu negara dengan minat baca masyarakatnya yang masih rendah. Berani menghakimi sebelum memahami, mencerminkan masih rendahnya literasi itu.

Yang lebih menyedihkan lagi, sebagian warga internet mudah terprovokasi hanya dengan membaca judul buku, sudah berani berkomentar negatif bahkan langsung menghujat sebelum membaca isi dari buku itu.

Masalah tersebut menjadi perhatian setiap insan, agar tidak terbiasa melihat buku hanya dari sampulnya karena yang terpenting dari buku itu adalah isinya.

Walaupun penulis sempat mendapatkan hujatan dari segelintir orang tidak melek literasi, itu tidak menyurutkan tekadnya membantu anak-anak kurang beruntung agar mereka bisa mendapatkan pendidikan.

Selain menuai respons kurang bersahabat, kehadiran buku ini mendapatkan apresiasi dari kalangan tokoh agama Kristen. Ada yang menjadikan buku itu sebagai salah satu referensi pembelajaran tentang toleransi khususnya dalam menanamkan jiwa tenggang rasa di kalangan generasi penerus bangsa.

Dari keriuhan komentar tentang buku tersebut, kita seolah diingatkan peribahasa yang berbunyi "jangan menilai buku dari sampulnya."