Jubir Tim KUHP tepis isu KUHP disiapkan khusus untuk Ferdy Sambo
Jakarta (ANTARA) - Juru Bicara (Jubir) Tim Sosialisasi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Nasional Albert Aries menegaskan bahwa KUHP baru tidak dibuat agar Ferdy Sambo bisa lolos dari hukuman mati.
"Perlu kami tegaskan bahwa isu tersebut sama sekali tidak benar," kata Albert dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Jumat.
Albert menambahkan ketentuan pidana mati dengan masa percobaan selama 10 tahun sudah diperkenalkan dalam draf KUHP versi tahun 2015, jauh sebelum kasus pembunuhan Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat bergulir.
Ketentuan itu, lanjutnya, mengacu pada pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 2-3/PUU-V/2007 halaman 430, yaitu pidana mati bukan lagi merupakan pidana pokok, melainkan pidana yang bersifat khusus dan alternatif; sehingga dapat dijatuhkan dengan masa percobaan selama 10 tahun.
Jika terpidana mati berkelakuan baik, maka hukuman dapat diubah menjadi pidana penjara seumur hidup.
"Mengait-ngaitkan kasus Sambo dengan ketentuan pidana mati dalam KUHP baru merupakan asumsi yang keliru, karena kasus tersebut juga belum berkekuatan hukum tetap," tegasnya.
Isu lain yang perlu diluruskan, tambahnya, adalah terkait frase "kelakuan baik" terpidana mati yang bergantung pada "surat sakti" dari kepala lembaga permasyarakatan (kalapas).
Albert menjelaskan bahwa perubahan pidana mati menjadi seumur hidup diberikan setelah mendapatkan pertimbangan Mahkamah Agung (MA) serta melewati serangkaian penilaian objektif dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) dan lembaga terkait selama masa percobaan 10 tahun.
"Dengan berlakunya KUHP Nasional pada Januari 2026 nanti, jangan dimaknai akan membuat pelaksanaan pidana mati menjadi hapus," ujar Albert.
Bagi seluruh terpidana mati, yang perkaranya berkekuatan hukum tetap namun belum dieksekusi saat berlakunya KUHP Nasional nanti, maka berlaku Pasal 3 KUHP Nasional (lex favor reo) yang menyatakan dalam hal terjadinya perubahan peraturan perundang-undangan sesudah perbuatan itu terjadi, diberlakukan peraturan baru, kecuali peraturan lama "menguntungkan" bagi pelaku.
"Perlu kami tegaskan bahwa isu tersebut sama sekali tidak benar," kata Albert dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Jumat.
Albert menambahkan ketentuan pidana mati dengan masa percobaan selama 10 tahun sudah diperkenalkan dalam draf KUHP versi tahun 2015, jauh sebelum kasus pembunuhan Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat bergulir.
Ketentuan itu, lanjutnya, mengacu pada pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 2-3/PUU-V/2007 halaman 430, yaitu pidana mati bukan lagi merupakan pidana pokok, melainkan pidana yang bersifat khusus dan alternatif; sehingga dapat dijatuhkan dengan masa percobaan selama 10 tahun.
Jika terpidana mati berkelakuan baik, maka hukuman dapat diubah menjadi pidana penjara seumur hidup.
"Mengait-ngaitkan kasus Sambo dengan ketentuan pidana mati dalam KUHP baru merupakan asumsi yang keliru, karena kasus tersebut juga belum berkekuatan hukum tetap," tegasnya.
Isu lain yang perlu diluruskan, tambahnya, adalah terkait frase "kelakuan baik" terpidana mati yang bergantung pada "surat sakti" dari kepala lembaga permasyarakatan (kalapas).
Albert menjelaskan bahwa perubahan pidana mati menjadi seumur hidup diberikan setelah mendapatkan pertimbangan Mahkamah Agung (MA) serta melewati serangkaian penilaian objektif dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) dan lembaga terkait selama masa percobaan 10 tahun.
"Dengan berlakunya KUHP Nasional pada Januari 2026 nanti, jangan dimaknai akan membuat pelaksanaan pidana mati menjadi hapus," ujar Albert.
Bagi seluruh terpidana mati, yang perkaranya berkekuatan hukum tetap namun belum dieksekusi saat berlakunya KUHP Nasional nanti, maka berlaku Pasal 3 KUHP Nasional (lex favor reo) yang menyatakan dalam hal terjadinya perubahan peraturan perundang-undangan sesudah perbuatan itu terjadi, diberlakukan peraturan baru, kecuali peraturan lama "menguntungkan" bagi pelaku.