Akademisi: Serangan tentara Israel langgar hukum internasional
Yogyakarta (ANTARA) - Dosen Politik Islam dan Studi Kawasan Timur Tengah Universitas Islam Indonesia (UII) Gustri Eni Putri mengatakan penyerangan tentara Israel terhadap warga Palestina di lingkungan Syekh Jarrah, Baitulmakdis merupakan pelanggaran hukum internasional.
Gustri melalui keterangan tertulis di Yogyakarta, Kamis, mengatakan bahwa Dewan Keamanan PBB perlu mendukung pemerintah Indonesia dalam mengecam pengusiran paksa delapan keluarga Palestina dari wilayah Sheikh Jarrah, Yerusalem Timur.
Baca juga: Aktris Maisa Abd Elhadi terluka di tengah konflik Palestina-Israel
"Desakan untuk mengambil langkah nyata bagi masyarakat internasional guna menghentikan langkah pengusiran paksa dan penggunaan kekerasan terhadap warga sipil Palestina yang disampaikan oleh Kemlu perlu terus disuarakan oleh berbagai aktor, termasuk organisasi masyarakat sipil dan akademisi," katanya.
Penyerangan terhadap Sheikh Jarrah, menurut dia, merupakan pelanggaran hukum internasional karena menurut Mahkamah Internasional Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), kawasan Sheikh Jarrah ditetapkan menjadi bagian dari Palestina.
Baca juga: 35 warga Palestina tewas di Gaza, 3 di Israel, saat serangan meningkat
Oleh sebab itu, lanjut Gustri, dunia harus mendesak Israel untuk membatalkan pengusiran warga Palestina dari wilayah tersebut.
Penyerangan Sheikh Jarrah dapat ditelusuri mulai konflik pada tahun 1948 (Nakba) yang mengakibatkan warga Palestina kehilangan rumah dan harus mengungsi dari tempat tinggalnya.
Berikutnya, lanjut dia, pada tanggal 1 Juli 1955 sampai dengan 30 Juni 1956, di bawah dukungan pemerintah Yordania dan asistensi United Nations Relief and Work Agency (UNRWA) for Palestine Refugees in the Near East, 28 unit rumah di wilayah Sheikh Jarrah untuk pengungsi Palestina.
Baca juga: Presiden: Indonesia mengutuk pengusiran paksa rakyat Palestina
Pada tanggal 4 Juni 1967, tercapai kesepakatan atas pembagian wilayah Israel dan Palestina yang diakui oleh hukum internasional. Dari hasil kesepakatan tersebut, Sheikh Jarrah masih menjadi bagian dari Palestina.
Dalam perkembangannya, pada tanggal 2—7 Mei 2021, Israel memerintahkan delapan keluarga Palestina meninggalkan rumah mereka di Sheikh Jarrah untuk ditempati pemukim ilegal Israel.
Penentangan terjadi di berbagai wilayah, termasuk perlawanan warga Palestina sendiri. Bentrokan terjadi di Masjid Al-Aqsa setelah pasukan keamanan Israel mengusir secara paksa dan dengan kekerasan puluhan ribu orang muslim yang melaksanakan ibadah dan melakukan aksi damai penentangan pendudukan Sheikh Jarrah di kompleks tersebut.
Pada tanggal 10 Mei 2021, pasukan keamanan Israel memasuki kompleks Al-Aqsa untuk membubarkan jemaah masjid berkaitan dengan perayaan Jerusalem Day oleh pemukim ilegal Israel.
Baca juga: Turki meminta negara Muslim mengambil sikap jelas atas konflik di Gaza
Baca juga: Serangan udara meningkat, Israel kerahkan pasukan di sepanjang Gaza
Pemukim ilegal terus berusaha memasuki kompleks Al-Aqsa meskipun tidak diperbolehkan menurut Perjanjian 1967.
Bentrokan pun mencapai puncaknya. Palestine Red Crescent Society mencatat 278 anggota jemaah masjid terluka. Israel juga melancarkan serangan udara ke Jalur Gaza yang menewaskan 20 warga Palestina, termasuk di antaranya anak-anak, sebagai respons dari serangan roket militan Hamas ke Israel.
Menurut Gustri, peristiwa Yerusalem dan pemberontakan rakyatnya di hadapan penjajah perlu segera menjadi agenda prioritas dunia untuk mencari solusi terbaik.
"Diperlukan langkah kolektif antarnegara dan diplomasi yang konsisten untuk menguraikan permasalahan di Yerusalem," kata dosen yang juga merupakan Sekretaris Bidang Penelitian, Pusat Studi Gender UII tersebut.
Gustri melalui keterangan tertulis di Yogyakarta, Kamis, mengatakan bahwa Dewan Keamanan PBB perlu mendukung pemerintah Indonesia dalam mengecam pengusiran paksa delapan keluarga Palestina dari wilayah Sheikh Jarrah, Yerusalem Timur.
Baca juga: Aktris Maisa Abd Elhadi terluka di tengah konflik Palestina-Israel
"Desakan untuk mengambil langkah nyata bagi masyarakat internasional guna menghentikan langkah pengusiran paksa dan penggunaan kekerasan terhadap warga sipil Palestina yang disampaikan oleh Kemlu perlu terus disuarakan oleh berbagai aktor, termasuk organisasi masyarakat sipil dan akademisi," katanya.
Penyerangan terhadap Sheikh Jarrah, menurut dia, merupakan pelanggaran hukum internasional karena menurut Mahkamah Internasional Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), kawasan Sheikh Jarrah ditetapkan menjadi bagian dari Palestina.
Baca juga: 35 warga Palestina tewas di Gaza, 3 di Israel, saat serangan meningkat
Oleh sebab itu, lanjut Gustri, dunia harus mendesak Israel untuk membatalkan pengusiran warga Palestina dari wilayah tersebut.
Penyerangan Sheikh Jarrah dapat ditelusuri mulai konflik pada tahun 1948 (Nakba) yang mengakibatkan warga Palestina kehilangan rumah dan harus mengungsi dari tempat tinggalnya.
Berikutnya, lanjut dia, pada tanggal 1 Juli 1955 sampai dengan 30 Juni 1956, di bawah dukungan pemerintah Yordania dan asistensi United Nations Relief and Work Agency (UNRWA) for Palestine Refugees in the Near East, 28 unit rumah di wilayah Sheikh Jarrah untuk pengungsi Palestina.
Baca juga: Presiden: Indonesia mengutuk pengusiran paksa rakyat Palestina
Pada tanggal 4 Juni 1967, tercapai kesepakatan atas pembagian wilayah Israel dan Palestina yang diakui oleh hukum internasional. Dari hasil kesepakatan tersebut, Sheikh Jarrah masih menjadi bagian dari Palestina.
Dalam perkembangannya, pada tanggal 2—7 Mei 2021, Israel memerintahkan delapan keluarga Palestina meninggalkan rumah mereka di Sheikh Jarrah untuk ditempati pemukim ilegal Israel.
Penentangan terjadi di berbagai wilayah, termasuk perlawanan warga Palestina sendiri. Bentrokan terjadi di Masjid Al-Aqsa setelah pasukan keamanan Israel mengusir secara paksa dan dengan kekerasan puluhan ribu orang muslim yang melaksanakan ibadah dan melakukan aksi damai penentangan pendudukan Sheikh Jarrah di kompleks tersebut.
Pada tanggal 10 Mei 2021, pasukan keamanan Israel memasuki kompleks Al-Aqsa untuk membubarkan jemaah masjid berkaitan dengan perayaan Jerusalem Day oleh pemukim ilegal Israel.
Baca juga: Turki meminta negara Muslim mengambil sikap jelas atas konflik di Gaza
Baca juga: Serangan udara meningkat, Israel kerahkan pasukan di sepanjang Gaza
Pemukim ilegal terus berusaha memasuki kompleks Al-Aqsa meskipun tidak diperbolehkan menurut Perjanjian 1967.
Bentrokan pun mencapai puncaknya. Palestine Red Crescent Society mencatat 278 anggota jemaah masjid terluka. Israel juga melancarkan serangan udara ke Jalur Gaza yang menewaskan 20 warga Palestina, termasuk di antaranya anak-anak, sebagai respons dari serangan roket militan Hamas ke Israel.
Menurut Gustri, peristiwa Yerusalem dan pemberontakan rakyatnya di hadapan penjajah perlu segera menjadi agenda prioritas dunia untuk mencari solusi terbaik.
"Diperlukan langkah kolektif antarnegara dan diplomasi yang konsisten untuk menguraikan permasalahan di Yerusalem," kata dosen yang juga merupakan Sekretaris Bidang Penelitian, Pusat Studi Gender UII tersebut.