Jakarta (ANTARA) - "Kita bangsa besar, kita bukan bangsa tempe. Kita tidak akan mengemis, kita tidak akan minta-minta, apalagi jika bantuan-bantuan itu diembel-embeli dengan syarat ini syarat itu! Lebih baik makan gaplek, tetapi merdeka, daripada makan bistik, tapi budak." (Ir. Soekarno)
Itulah pernyataan Bung Karno, proklamator dan salah satu pendiri bangsa Indonesia, menegaskan bahwa Indonesia adalah negara yang kuat, kokoh dan bisa tegak berdiri tanpa topangan pihak lain, terutama jika pihak lain itu memberi syarat ini itu terkait bantuan yang akan diberikan.
Pada peringatan Hari Pahlawan ke-75 ini, pesan bahwa Indonesia adalah negara yang besar, layak kembali dikedepankan, terutama dalam menekankan narasi tentang siapakah yang layak disambut sebagai pahlawan? Tokoh dan figur semacam apa yang pantas kita anugerahi sebagai the real hero di tengah masa prihatin akibat pandemi COVID-19 ini.
Ada beberapa sosok yang kiranya layak disematkan sebagai pahlawan pada peringatan Hari Pahlawan 2020 kali ini:
Dokter, para petugas medis, dan relawan kesehatan
Tim Mitigasi Ikatan Dokter Indonesia (IDI) menyatakan, dari Maret hingga Oktoberfest 2020, terdapat total 161 petugas medis yang wafat akibat terinfeksi COVID-19, yang terdiri atas 152 dokter dan sembilan dokter gigi.
Sementara itu, Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia (DPP PPNI) mengungkapkan total perawat yang meninggal dunia karena COVID-19 berjumlah 80 orang.
Mereka-mereka inilah para pejuang di garda depan, rela mengorbankan apa saja, termasuk nyawanya sendiri, demi melayani dan mengobati pasien COVID-19.
Tenaga pengajar dan relawan pendidikan
Pandemi COVID-19 mengubah tatanan banyak hal, termasuk di antaranya dunia pendidikan. Kelas-kelas dijalankan secara virtual, karena tuntutan untuk belajar tetap harus dijalankan, sembari menekankan pentingnya protokol kesehatan agar generasi penerus bangsa tak sirna "dimangsa" pagebluk.
Di sinilah kreativitas dan inovasi guru, tenaga pengajar dan relawan pendidikan menemui tantangan tersendiri. Bagi mereka yang ada di kota besar, tersedianya infrastruktur telekomunikasi mempermudah proses pembelajaran jarak jauh.
Tapi, untuk guru dan siswa yang ada di area terpencil, jauh dari ibu kota provinsi maupun kota dan kabupaten, diperlukan kerja ekstra keras. Mendidik anak dengan kualitas tak kurang dalam standar pemenuhan kurikulum, menjaga suasana tetap semangat dan juga jauh dari rasa bosan, tapi juga tak mengendurkan kewaspadaan menjaga jiwa dan raga tetap sehat di tengah wabah.
Literasi melawan hoaks
Hoaks alias informasi palsu adalah penyakit baru di tengah kemajuan teknologi. Disrupsi di segala lini, terutama pemakaian gawai sebagai sumber utama informasi, membuat hoaks lekas menyebar dengan cepat, nyaris tanpa filterisasi.
Sudah tak kurang-kurang pemerintah mengingatkan, begitu banyak negara lain terpecah belah karena informasi palsu yang disebar, tanpa kuatnya literasi.
Betapa tidak, hari-hari ini kita mengalami banjir informasi. Informasi hadir melalui media daring, media sosial, grup-grup percakapan virtual, dan juga sumber sumber lain dari aplikasi maupun kanal-kanal di telepon genggam yang menjadi sahabat terdekat kita sehari hari.
Dalam perspektif ilmu komunikasi, informasi dari berbagai kanal yang disampaikan para komunikator ini berupa pesan, yang kemudian membentuk persepsi pada masing-masing komunikan atau penerima pesan.
Persepsi itu kemudian bisa menggerakkan penerima pesan, dan meneruskannya kepada penerima pesan lainnya, dalam bentuk aksi nyata.
Jadi, bisa kita bayangkan kalau informasinya adalah informasi yang palsu, yang kita sebut sebagai hoaks. Informasi palsu membentuk persepsi palsu. Persepsi palsu itu kemudian terwujud dalam tindakan nyata, seperti aksi turun ke jalan, yang kemudian berubah menjadi vandalisme dan anarkisme.
Semua itu awalnya karena informasi yang tidak benar, juga karena kurangnya literasi publik, sehingga membuat minimnya kesadaran untuk "saring sebelum sharing", berpikir ulang sebelum menekan tombol forward, menyebarluaskan informasi yang kelihatannya benar, padahal sebenarnya adalah provokasi.
Karena itu, para pejuang antihoaks, mereka yang mengedepankan prinsip "cek fakta", juga layak disebut sebagai pahlawan masa kini.
Para pahlawan masa kini di masa pandemi COVID-19 menegaskan bahwa dalam kondisi seperti ini, kita harus tetap memiliki semangat optimisme. Rasa percaya diri bahwa sebagai bangsa yang besar kita tak akan mundur setapak pun untuk mencapai visi negara maju yang dicita-citakan. Bahwa Visi 2045, Indonesia menjadi negara dengan lima besar ekonomi terkuat di dunia, masih layak dan mampu kita perjuangkan.
Akhirnya, marilah kita ingat, hayati dan resapi motivasi dari Presiden Jokowi, yang disampaikan di pos akun Instagram @jokowi pada 9 November 2020, sehari sebelum Peringatan Hari Pahlawan tahun ini.
"Delapan bulan sudah kita menghadapi pandemi COVID-19 ini. Dan kita beruntung mewarisi sikap optimistis dan pantang menyerah bangsa kita yang terbentuk dari tantangan alam dan kondisi geografis Nusantara."
Selama berabad-abad, nenek moyang kita berusaha bersahabat dengan semua tantangan itu dan menjaga harmoni dengan alam lingkungan, membangun kebudayaan dan nilai-nilai keutamaan di atasnya.
Saat pandemi datang, memori budaya masyarakat tangguh bencana kembali hidup. Sembari terus memupuk solidaritas, gotong royong, dan mendukung langkah-langkah pemerintah dalam mengatasi pandemi, masyarakat kembali berupaya menghidupkan kearifan lokal, seperti mengangkat lagi jamu-jamu tradisional untuk meningkatkan imunitas tubuh, dan sebagainya.
Mari kita terus berkarya dengan tetap mematuhi protokol kesehatan. Mari terus menggali kearifan lokal untuk memperkuat kemampuan kita dalam menghadapi bencana.
*) Prof. Dr. Widodo Muktiyo adalah Direktur Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik Kementerian Komunikasi dan Informatika
Menyambut pahlawan masa kini
Mereka-mereka inilah para pejuang di garda depan, rela mengorbankan apa saja