Palembang (ANTARA) - Awal Februari 2018 sekitar 25 meter di bawah permukaan Sungai Musi, seorang lelaki tua, Senen meraba-raba gelapnya dasar sungai sembari berharap tangannya menyentuh potongan besi atau balok kayu seperti biasanya. Namun hari itu ia menemukan sebatang kayu yang kemudian menjadi viral di Kota Palembang.
Senen yang pernah ikut mencari korban kecelakaan Pesawat Silk Air di Perairan Sungsang pada 1997 kemudian mengangkat sebatang kayu tersebut ke kapal dengan tali karena hari sudah menjelang sore.
"Ternyata kemudi kapal," kata Senen yang kini berusia 70 tahun dan dijuluki sebagai pawang Sungai Musi oleh kalangan penyelam tradisional di Kota Palembang.
Kemudi kapal dari kayu ulin itu berbentuk tabung di bagian pangkal namun pipih di bagian ujung menyerupai bulu ekor burung, panjangnya 7,8 meter dan beratnya ditaksir mencapai dua ton.
Senen dan rekannya membawa pulang kemudi kapal dari Kawasan Sungai Tawar lalu meletakannya di tepi Sungai Bunut, tepat di bawah pangkal Jembatan Musi II sekitar 200 meter dari rumahnya.
Selama hampir dua minggu kemudi tersebut dibiarkan begitu saja, sampai akhirnya Ketua Komunitas Pecinta Antik dan Kebudayaan Sriwijaya (Kompaks) Hirmeyudi datang dan langsung 'membookingnya'.
"Mereka bilang jual berapa saja asal jadi duit daripada tergeletak 'nganggur', jadi dilepas Rp5 juta ," kata Senen yang juga mengaku mendapat teguran dari penunggu Sungai Musi setelah mengangkat kemudi kapal tersebut.
Sementara Hirmeyudi mengaku semula menghubungi pihak Pemprov Sumsel dan Pemkot Palembang agar dapat membawa kemudi kapal itu karena bernilai sejarah tinggi, namun kedua pihak tersebut tidak meresponnya sehingga para penyelam sempat mengancam akan menenggelamkan kembali kemudi.
"Mendengar ancaman itu saya langsung datang lagi ke lokasi dan meminta kemudi segera diangkut, kemudi ini harus diselamatkan pokoknya," kata Hermayudi yang biasa disapa Yudi.
Kemudi kapal kemudian dipindahkan Yudi ke kafe milik rekannya Syahfadilah di sekitar Jakabaring, saat itu relawan Dirjen Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Wanda Lesmana juga ikut melihat proses pemindahan.
Wanda pun menyarankan agar kemudi dipindahkan ke museum nasional, namun Yudi menolak dengan alasan ingin memberikan contoh sikap kepedulian dan peran serta masyarakat dalam melestarikan cagar budaya.
Sementara Syahfadila melihat kemudi tersebut menarik dijadikan ikon kafenya, ia lalu mengganti sejumlah uang yang dikeluarkan Yudi agar kemudi tetap bertahan serta berjanji akan merawatnya dengan baik, bahkan ia juga mengubah nama kafenya menjadi Kemudi Cafe dari semula Green Cafe.
"Saya merasa kemudi ini bagus untuk branding kafe," kata pria berusia 55 tahun yang akrab dipanggil Fadil itu.
Namun sejak kedatangan kemudi itu pula Fadil menjadi gusar, sebab dua hari pertama kemudi tiba, kafenya didatangi oleh dinas kebudayaan, pariwisata, arkeolog dan jurnalis yang penasaran dengan temuan kemudi kapal.
Mendadak kemudi kapal tersebut viral karena disebut-sebut merupakan peninggalan Kerajaan Sriwijaya dan menjadi temuan kemudi kapal terbesar kedua setelah temuan kemudi kapal pertama pada 1960 di Sungai Buah Palembang.
"Bahkan di hari ketiga, banyak sekali orang-orang dinas ke sini untuk melihat kemudi," tambahnya.
Sejak saat itu juga Fadil mengaku diminta agar mau menghibahkan kemudi kapal ke Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Sumsel dengan alasan supaya lebih terawat.
"Tapi saya memilih untuk merawatnya sendiri, setiap enam bulan sekali saya bersihkan kemudi itu, ya bisa habis Rp1,5 juta sekali membersihkan," kata dia.
Pendekatan sampai dihibahkan
Selama rentang 2018 hingga 2020 kemudi kapal tersebut duduk manis di depan kafe Fadil, selama itu juga berbagai pihak yang mewakili kepentingan sejarah terus mendekatinya, namun Wanda Lesmana lah yang paling "keukeh" dan sering mengunjungi Kemudi Kafe.
"Saya sebagai utusan dirjen kebudayaan sekaligus mitra Pemprov Sumsel rutin mengunjungi Kemudi Kafe untuk mensosialisasikan ke pak Fadil terkait kewajiban setiap warga negara dalam menjaga benda-benda yang diduga termasuk cagar budaya," ujar Wanda.
Menurutnya pada batang kemudi terdapat lubang dan tanda-tanda keropos, sehingga ia terus menyarankan Fadil agar menghibahkan kemudi kapal ke pemerintah demi kepentingan pemeliharaan sejarah dan kebudayaan.
Tetapi Fadil bergeming karena kemudi dirasa membawa hoki untuk kafenya.
Museum Balaputra Dewa juga berkali-kali mengutus tim untuk membujuk Fadil, di antaranya menawarkan komitmen bahwa nama Fadil tetap ditulis sebagai pemilik asli kemudi kapal meski sudah di museum dan adanya kompensasi.
Merasa hampir mentok, pada 19 Agustus 2020 Kepala Museum Balaputra Dewa Palembang Chandra Amprayadi akhirnya datang langsung menemui Fadil.
Setelah dua jam berdiskusi Fadil pun tergerak dan bersedia menyerahkan kemudi kapal tersebut ke Museum Balaputra Dewa hari itu juga.
"Awalnya tidak tahu kenapa saya mau saja menyerahkannya, tapi setelah itu saya pikir barangkali memang kemudi ini sangat dibutuhkan pemerintah," akui Fadil.
Chandra kemudian menginstruksikan anak buahnya agar mencari truk untuk membawa kemudi tersebut, akhirnya kemudi kapal tiba di Museum Balaputra Dewa pada malam harinya dengan bantuan 30 orang.
"Atas hibah dari Fadil maka kami juga memberikan kompensasi sebagai pengganti biaya perawatan selama ini," kata Candra.
Kepala Museum Balaputra Chandra meminta Balai Arkeologi (Balar) Sumsel mengecek kemudi kapal itu untuk memastikan pembabakan zamannya.
Kepala Balar Sumsel Budi Wiyana mengatakan berdasarkan tampak keseluruhan setelah diidentifikasi, kemudi kapal diduga masuk model tradisi kapal Asia Tenggara yang berkembang pada abad I hingga I3, termasuk di dalamnya masa-masa Kerajaan Sriwijaya yang dimulai pada abad ke tujuh hingga 13.
"Secara keseluruhan jelas Asia Tenggara, namun secara absolut tidak bisa dikatakan dari masa Kerajaan Sriwijaya, hanya saja memang usianya dipastikan sudah ratusan tahun," kata Budi.
Kemudi kapal harus dites laboratorium (carbon dating) untuk mengetahui secara pasti dibuat pada abad keberapa, kata dia, namun metode itu tidak disarankan karena harus mencongkel bagian tertentu dari kemudi yang berarti merusak benda bersejarah.
Usia kemudi bisa saja dipastikan tanpa harus carbon dating, yakni lewat benda-benda yang ditemukan didekat kemudi saat pertama kali ditemukan, tetapi kemudi itu juga ditemukan tanpa benda lain disekitarnya.
Sementara dari panjang kemudi dapat diperkirakan panjang kapalnya sekitar 23 meter lebih dengan kapasitas hingga 200 ton, artinya kapal itu melakukan pelayaran jarak jauh dan sangat dimungkinkan menjelajahi samudera.
Sedangkan model kapal dalam tradisi Asia Tenggara biasanya berbentuk V dengan haluan dan buritan yang simetris, serta kemudi kapal berjumlah dua di kiri-kanan kapal, secara umum temuan kemudi tersebut menegaskan jika peradaban manusia di Sungai Musi kala itu sudah begitu maju.
Rumah terakhir
Chandra menjelaskan proses pendekatan terhadap Fadil merupakan salah satu tanggung jawab Museum Balaputra Dewa melindungi benda-benda sejarah yang hingga kini masih tersebar di seluruh Sumsel.
Tak jarang pihaknya harus mengunjungi pelosok-pelosok Sumsel demi mencari benda atau peninggalan bersejarah, sekaligus memberi penyuluhan kepada masyarakat tentang pentingnya menyelamatkan benda bersejarah.
"Benda bernilai sejarah sebenarnya tidak harus ada di museum karena masyarakat diizinkan menyimpannya, tetapi kami harus mengetahui keberadaannya untuk pendataan," kata Chandra.
Namun khusus kemudi kapal tersebut, pihaknya merasa sangat perlu memindahkannya ke Museum Balaputra Dewa karena nilai sejarahnya sangat tinggi dan menjadi tanda kejayaan wong Sumsel di masa lalu.
Museum etnografi yang berada di Jalan Srijaya KM 6,5 Kota Palembang itu kini memiliki 8.800 item koleksi sejak diresmikan pada 1984, kemudi kapal tersebut menjadi salah satu yang paling tua meski baru ditemukan.
Chandra juga meminta masyarakat proaktif melaporkan temuan-temuan benda bersejarah, jika merasa tidak mampu untuk merawatnya maka Museum Balaputra Dewa siap menjaganya dengan tetap menghormati kepemilikan aslinya serta ada pemberian kompensasi.
Kemudi kapal berusia ratusan tahun yang ditemukan Senen lalu diselamatkan Hirmeyudi dan dirawat Fadil selama dua tahun, kini terpajang di Ruang Pameran II Museum Balaputra Dewa bersama koleksi-koleksi masa Kerajaan Sriwijaya.
Chandra menyebut kapal kemudi menjadi salah satu koleksi paling besar di Museum Balaputra Dewa setelah rumah limas dan akan diregistrasi menjadi benda cagar budaya, ia meyakinkan jika kemudi itu akan terawat baik serta menjadi sumber edukasi baru di masa depan.
"Museum Balaputra Dewa menjadi rumah terakhir bagi kemudi kapal tersebut, kami juga tambahkan lukisan di belakangnya agar orang tahu fungsi dari kemudi di masa lalu," demikian Candra.