RS Pusri Palembang sulap ruang fisioterapi jadi laboratorium PCR
Ruangan fisioterapi pada saat COVID-19 tidak jalan, karena pemerintah membutuhkan keadaan darurat maka kami buat laboratorium ini
Palembang (ANTARA) - Rumah Sakit Pupuk Sriwijaya Palembang menyulap ruang fisioterapi menjadi laboratorium uji usap untuk menambah kapasitas pemeriksaan sampel di Sumatera Selatan.
Direktur RS Pusri Prof Yuwono di Palembang, Kamis mengatakan laboratorium uji usap tersebut dibuat dalam tempo satu bulan dengan biaya Rp2 miliar dan disokong mesin polymerase chain reaction (PCR) pinjaman Kementrian BUMN.
"Ruangan fisioterapi pada saat COVID-19 tidak jalan, karena pemerintah membutuhkan keadaan darurat maka kami buat laboratorium ini," ujarnya.
Pemeriksaan swab saat ini mampu menyelesaikan 20 sampel perhari, namun ia menargetkan pada akhir Juni kapasitas sudah mencapai 96 sampel perhari, sehingga laboratorium tersebut memiliki kapasitas terbesar kedua di Sumsel setelah Balai Besar Laboratorium Kesehatan (BBLK) Palembang.
Meski diubah dari ruang fisioterapi, menurutnya laboratorium uji usap tersebut telah memenuhi Bio Safety Laboratory (BSL) tipe dua yang sama seperti BBLK Palembang.
Selain itu prosedur pemeriksaan menerapkan standar ketat, semua orang dan kegiatan di luar proses pemeriksaan tidak boleh dilakukan di laboratorim yang hanya diizinkan untuk lima orang petugas dalam tiap sesi, bahkan hasil pemeriksaan dikirimkan secara daring.
"Laboratorium ini terdiri dari empat ruangan, ada ruangan administrasi, ruang ekstraksi, ruang master mix dan ruang PCR bertekanan negatif," tambahnya.
Pemeriksaan swab utamanya mengandalkan satu unit mesin PCR Cobas LC480 yang dipinjamkan Kementrian BUMN selama enam bulan, satu unit mesin BSC, dan dua unit mesin centrifuge kapasitas 48 lubang.
Laboratorium tersebut memeriksa tiga jenis orang, kata dia, yakni kalangan umum berbiaya Rp1.950.000 (non-BPJS), instansi yang bekerjasama seperti BUMN atau rumah sakit, serta mandatori sampel dari BBLK Palembang.
"Kasus COVID-19 tidak akan 0, jadi laboratorium ini akan dibutuhkan dalam jangka panjang, selain untuk COVID-19 bisa juga untuk pemeriksaan (virus) lainnya," kata Prof Yuwono menjelaskan.
Sementara Tenaga Ahli BNPB sekaligus tim monitoring dan evaluasi gugus tugas nasional, Brigjen TNI Edison Simanjutak, mengatakan bahwa upaya RS Pusri membuat laboratorium PCR memang dibutuhkan mengingat kasus COVID-19 di Sumsel paling tinggi di Pulau Sumatera.
"Tingginya kasus itu karena pelacakan terus meluas dan berarti pengujianya perlu ditambah, untuk lingkup nasional kami rasa kapasitas (uji usap) di Sumsel sudah bagus, hanya perlu dioptimalkan lagi," katanya.
Direktur RS Pusri Prof Yuwono di Palembang, Kamis mengatakan laboratorium uji usap tersebut dibuat dalam tempo satu bulan dengan biaya Rp2 miliar dan disokong mesin polymerase chain reaction (PCR) pinjaman Kementrian BUMN.
"Ruangan fisioterapi pada saat COVID-19 tidak jalan, karena pemerintah membutuhkan keadaan darurat maka kami buat laboratorium ini," ujarnya.
Pemeriksaan swab saat ini mampu menyelesaikan 20 sampel perhari, namun ia menargetkan pada akhir Juni kapasitas sudah mencapai 96 sampel perhari, sehingga laboratorium tersebut memiliki kapasitas terbesar kedua di Sumsel setelah Balai Besar Laboratorium Kesehatan (BBLK) Palembang.
Meski diubah dari ruang fisioterapi, menurutnya laboratorium uji usap tersebut telah memenuhi Bio Safety Laboratory (BSL) tipe dua yang sama seperti BBLK Palembang.
Selain itu prosedur pemeriksaan menerapkan standar ketat, semua orang dan kegiatan di luar proses pemeriksaan tidak boleh dilakukan di laboratorim yang hanya diizinkan untuk lima orang petugas dalam tiap sesi, bahkan hasil pemeriksaan dikirimkan secara daring.
"Laboratorium ini terdiri dari empat ruangan, ada ruangan administrasi, ruang ekstraksi, ruang master mix dan ruang PCR bertekanan negatif," tambahnya.
Pemeriksaan swab utamanya mengandalkan satu unit mesin PCR Cobas LC480 yang dipinjamkan Kementrian BUMN selama enam bulan, satu unit mesin BSC, dan dua unit mesin centrifuge kapasitas 48 lubang.
Laboratorium tersebut memeriksa tiga jenis orang, kata dia, yakni kalangan umum berbiaya Rp1.950.000 (non-BPJS), instansi yang bekerjasama seperti BUMN atau rumah sakit, serta mandatori sampel dari BBLK Palembang.
"Kasus COVID-19 tidak akan 0, jadi laboratorium ini akan dibutuhkan dalam jangka panjang, selain untuk COVID-19 bisa juga untuk pemeriksaan (virus) lainnya," kata Prof Yuwono menjelaskan.
Sementara Tenaga Ahli BNPB sekaligus tim monitoring dan evaluasi gugus tugas nasional, Brigjen TNI Edison Simanjutak, mengatakan bahwa upaya RS Pusri membuat laboratorium PCR memang dibutuhkan mengingat kasus COVID-19 di Sumsel paling tinggi di Pulau Sumatera.
"Tingginya kasus itu karena pelacakan terus meluas dan berarti pengujianya perlu ditambah, untuk lingkup nasional kami rasa kapasitas (uji usap) di Sumsel sudah bagus, hanya perlu dioptimalkan lagi," katanya.