"Kangen Indonesia" di Tiongkok

id Kangen Indonesia,Prof Hisanori Kato,Sosiolog,Kampung Bali Nansan, Quanzhou, Provinsi Fujian, Tiongkok, Kwahosu,berita sumsel,berita palembang

"Kangen Indonesia" di Tiongkok

Indonesia (ANTARA)

Orang Tiongkok bisa saja "kangen" dengan "budaya" Indonesia, tapi orang-orang Indonesia juga bisa "kangen" dengan "kemajuan Tiongkok
Denpasar (ANTARA News Sumsel) - Sosiolog asal Jepang Prof Hisanori Kato menulis buku berjudul "Kangen Indonesia" dari hasil rangkuman tesis dan disertasinya tentang orang-orang Indonesia yang awalnya disebut "tidak teratur", namun akhirnya menjadi orang-orang yang dia kangeni (dirindukan).

Meski tidak sama, perasaan "kangen" yang kurang lebih sama juga dirasakan oleh orang-orang Indonesia yang belajar/bekerja di Tiongkok, atau orang-orang "keturunan" Indonesia yang bermukim di Tiongkok, dan bahkan orang Tiongkok sendiri yang "mengenal" orang-orang Indonesia pun begitu.

"Saya senang tinggal di negara ini (Tiongkok), karena ada jaminan pekerjaan, seperti saya yang kini pensiun dari departemen agrikultur (Fujian), tapi keinginan saya untuk ke Bali tetap ada sampai kapanpun," kata warga Kampung Bali Nansan, Quanzhou, Provinsi Fujian, Tiongkok, Kwahosu (73).

Namun, rasa kangen (rindu) untuk bertemu keluarga yang masih ada di Bali, Indonesia, itu harus tersimpan rapi, karena terhalang dengan penyakit jantung yang dideritanya, sehingga ia sulit bepergian jauh, meski penerbangan Xiamen-Bali sekarang cukup sering.

"Karena itu, saya ingin tarian, nyanyian, tradisi ritual, bahasa dan kuliner Bali juga berkembang di Kampung Bali Nansan ini," katanya dengan pandangan menerawang ke masa silam saat dirinya bersama warga keturunan menaiki lima kapal untuk 'transmigrasi' ke Tiongkok saat usia belasan tahun pada tahun 1960-an.

Generasi pertama warga keturunan Bali-Tiongkok itu pun mengajak awak media massa dari Bali yang berkunjung ke Tiongkok pada 2-11 Mei 2018 itu untuk masuk ke kampung mereka, yakni Kampung Bali Nansan yang berada di kaki bukit Qingyuan di kota Quanzhou.

Keunikan nuansa tradisi mulai terlihat dengan candi bentar khas Bali lengkap dengan "pelinggih" atau tempat pemujaan umat Hindu di kiri-kanan pintu gerbang ke kampung di Kecamatan Luojiang, Quanzhou, Provinsi Fujian, itu.

Untuk memenuhi "rasa kangen" itu, Ketua Perhimpunan Perantau Tionghoa Chen Jin Hoa berjanji akan mempercepat pembangunan Taman Budaya Bali dengan anggaran tahap pertama dari Pemerintah Tiongkok sekitar 2,5 juta Yuan.

"Taman tersebut memiliki luas sekitar 5.000 meter persegi yang terletak di bagian belakang Kampung Bali. Nantinya, pembangunan taman budaya itu dibentuk layaknya dekorasi khas Pulau Dewata, di antaranya desain ukiran hingga pernak-pernik yang biasanya ditemukan di Bali," kata Ketua Kampung Bali Nansan Se Poh.

Pihaknya juga mengharapkan bantuan tenaga pengajar seni tari dan bahasa dari Pemerintah Provinsi Bali agar generasi mereka selanjutnya bisa lebih mengenal Pulau Dewata. "Selain mengisi kerinduan tentang Bali, pementasan budaya itu nantinya dapat mendukung pariwisata Bali, sekaligus mempererat hubungan kedua negara," katanya.

Tidak hanya warga keturunan Bali-Tiongkok yang sudah lama tinggal di Tiongkok saja yang merasakan "kangen" itu, namun sejumlah mahasiswa Indonesia yang menuntut ilmu bertahun-tahun di Universitas Huaqiao, Xiamen, Provinsi Fujian, Tiongkok, justru mengakui tinggal di perantauan membuatnya semakin mencintai Indonesia.

"Saya dari tamat SMA langsung sekolah di sini dengan beasiswa, saya dikirim lewat tempat les (bahasa Mandarin) di Singaraja. Di sini, saya diminta mengenalkan Indonesia (Bali), sehingga saya justru semakin mengenal negara sendiri di negeri orang," ujar mahasiswi pendidikan bahasa Mandarin di universitas itu, Mega Triana Dewi.

Mega Triana Dewi yang berasal dari Sukasada, Buleleng, Bali, itu merupakan salah satu dari 312 mahasiswa Indonesia yang kini menempuh pendidikan di universitas itu. Pada akhir April lalu, mereka mengadakan Festival Budaya Indonesia di kampusnya dan dihadiri mahasiswa Indonesia se-Tiongkok.

"Dulu, saya kurang mengenal budaya Indonesia. Di sini, kita juga merasa lebih cinta Indonesia, karena di luar negeri setidaknya kita harus bisa membanggakan Indonesia. Huaqiao University mengajari saya untuk mengenal budaya sendiri (budaya Indonesia) lebih mendalam," kata mahasiswi lain asal Bali yang tinggal di Jakarta sejak kecil, Ida Ayu Premasavitri.

Senada dengan itu, mahasiswa asal Palembang, Ricky Fernando Lusli, mengaku di Tiongkok justru mendorongnya untuk lebih cinta Indonesia. "Di luar negeri setidaknya kita harus bisa membanggakan Indonesia," katanya.

Yang menarik, warga Tiongkok yang "cinta" Indonesia juga menyatakan "kangen" (rindu). "Saya lahir di China, tapi saya cinta Indonesia, karena China dan Indonesia itu memiliki banyak kemiripan, misalnya ada 20 cerita rakyat yang mirip, lalu Indonesia dan Tiongkok juga sama-sama bekas jajahan yang merdeka," kata pengamat bahasa/budaya Indonesia Prof Cai Jincheng, MA.

"Kangen" GBHN Sebagai dua negara dengan banyak kemiripan agaknya Indonesia-Tiongkok bisa saling belajar dalam memajukan masyarakatnya, apalagi usia kedua negara tidak terpaut jauh, yakni Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945, sedangkan Tiongkok bebas (merdeka) pada 1 Oktober 1949.

Langkah penting yang dilakukan Tiongkok dan patut diteladani untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakatnya ada tiga penataan, yakni tata negara yang berkesinambungan (GBHN), tata kota yang memadukan konsep kota lama dan baru dengan sentuhan teknologi, dan tata lingkungan.

Tata negara yang berkesinambungan itu sebenarnya sudah tidak asing bagi Indonesia, karena istilah Garis Besar Haluan Negara (GBHN) dan rencana pembangunan lima tahun (repelita) sudah pernah ada, namun langsung "dibuang" bersamaan dengan tumbangnya Orde Baru.

"Kami (Tiongkok) punya GBHN dan repelita, bahkan repelita yang ada sekarang sudah ke-13 kalinya, sehingga siapapun pemimpin negeri ini, maka kesinambungan pembangunan tetap terjaga. Kesinambungan itulah kunci kemajuan yang terukur," kata Prof Cai Jincheng MA.

Menurut pengamat bahasa/budaya Indonesia itu, kesinambungan pembangunan yang terukur dari periode ke periode itu juga ditunjang faktor lain yang juga penting dalam mendorong kemajuan Tiongkok, yakni disiplin (tepat waktu) dan semangat belajar kepada bangsa lain.

Penggagas Alibaba, Jack Ma, adalah contoh dari disiplin dan semangat belajar yang tinggi dari orang-orang Tiongkok. Betapa tidak, Jack Ma gagal masuk perguruan tinggi hingga dua kali dan akhirnya yang ketiga kalinya sukses masuk Keguruan Ilmu Bahasa Inggris.

Ya, Jack Ma adalah pengajar Bahasa Inggris yang baik. Jack Ma juga mengawali Alibaba dengan kegagalan di Beijing hingga akhirnya sukses setelah mengembangkan Alibaba di Zhejiang. Jadi, disiplin, kerja keras, pantang menyerah, dan terus belajar adalah kata kunci kemajuan Tiongkok.

Namun, tata negara berkesinambungan (GBHN/repelita) yang didorong sikap disiplin dan terus belajar juga sangat ditentukan oleh tata kota dan lingkungan. Untuk tata kota, Tiongkok memadukan "tanaman" gedung dengan "tanaman" pohon, sehingga menjadi "hutan kota".

"Air yang jernih dan gunung yang hijau adalah gunung emas dan gunung perak" merupakan pepatah Tiongkok yang menarik dari seorang pemimpin, Xi Jinping. Pepatah itu menunjukkan konsep perkotaan dan lingkungan yang seiring-sejalan.

Gedung "Xiamen Planning Exhibition Hall" di Provinsi Fujian dan "Zhoushan City Planning Exhibition Hall and Museum" di Provinsi Zhejiang merupakan contoh penataan kota, khususnya kota baru. Penataan kota itu diikuti penataan infrastruktur, seperti pelabuhan petikemas otomatis di Kota Xiamen dan pelabuhan perikanan di Pulau Zhoushan.

"Pulau ini dikenal dengan sektor perikanan, karena itu sektor yang selama ini menghidupi nelayan di sini akan terus kami kembangkan melalui pelabuhan perikanan di sekitar pulau ini, termasuk pasar ikan tradisional," kata Kepala Kantor Departemen Luar Negeri Pulau Zhoushan, Provinsi Zhejiang Chen Liwen.

Selain sektor perikanan, pihaknya juga mengembangkan Zhoushan sebagai pulau wisata. Untuk "kota lama" yang dipadukan dengan tata lingkungan ada di Kota Hangzhou, Provinsi Zhejiang, karena itu "hutan kota" ada dimana-mana di setiap sudut kota itu.

Agaknya, tata negara melalui GBHN/repelita yang didukung tata kota dan tata lingkungan yang membuat Tiongkok menjadi maju adalah langkah yang patut membuat Indonesia menjadi "kangen" dengan GBHN yang sudah dihapus sejak Era Reformasi melalui Amandemen UUD 1945 yang menghasilkan penguatan daerah otonom.

Namun, GBHN yang terbukti menjadi kunci kemajuan Tiongkok dan perjalanan Indonesia selama 20 tahun dalam Era Reformasi yang menunjukkan pembangunan cenderung berjalan kurang terarah akibat "ganti pemimpin justru mengganti arah pembangunan" hendaknya menguat "kangen" GBHN itu.

Tidak hanya sekadar perlunya "arah" pembangunan, namun pembangunan tanpa arah selama ini juga tidak diiringi dengan pembangunan ideologi bagi masyarakat, sehingga pembangunan terasa hampa, karena itu GBHN adalah kunci kemajuan yang memberi "arah" dan "ideologi" pembangunan.

Ya, orang-orang Tiongkok bisa saja "kangen" dengan "budaya" Indonesia, tapi orang-orang Indonesia juga bisa "kangen" dengan "kemajuan" Tiongkok melalui kesinambungan pembangunan (GBHN/repelita), karena Indonesia-Tiongkok memang memiliki kemiripan dalam beberapa hal.