Konflik agraria di Sumsel perlu penanganan serius

id konflik agraria, Sumber Daya Alam, perebuatan tanah, Syarifudin Kobra, Perkumpulan Tanah Air, Tanah Air, Spora Institute, Lingkar Hijau, Pilar Nusanta

Konflik agraria di Sumsel perlu penanganan serius

Ilustrasi Demo konflik agraria . (Antarasumsel.com/Susilawati)

Palembang (Antarasumsel.com) - Aktivis peduli lingkungan dan pengacara di Sumatera Selatan menyatakan konflik agraria dan sumber daya alam di provinsi setempat perlu penanganan serius secara bersama-sama karena penanganan konflik yang terjadi selama ini terkesan jalan di tempat.

"Konflik agraria terus bermunculan sementara kasus lama masih banyak yang belum diselesaikan dengan baik, kondisi ini tidak boleh dibiarkan karena dapat mengganggu Kamtibmas serta menimbulkan permasalahan sosial dan ekonomi," kata aktivis Perkumpulan Tanah Air (Peta) Sumsel Syarifudin Kobra, di Palembang, Selasa.

Dia menjelaskan, permasalahan konflik agraria dan SDA serta upaya penanganannya menjadi perhatian aktivis lingkungan dari berbagai daerah di Tanah Air dan praktisi hukum di provinsi yang memiliki 17 kabupaten dan kopta itu.

Aktivis lingkungan dari Walhi, WRI Indonesia, Perkumpulan Tanah Air, Spora Institute, Lingkar Hijau, Pilar Nusantara, dan pengacara yang tergabung dalam LBH Palembang, membahas permasalahan itu dalam FGD/diskusi bersama yang digelar Satgas Percepatan Penyelesaian Konflik Agraria dan Sumber Daya Alam (P2KA SDA) Kabupaten Musi Banyuasin.

Konflik agraria hampir terjadi di setiap kabupaten dan kota, namun yang tergolong cukup tinggi adalah Kabupaten Musi Banyuasin dan Ogan Komering Ilir.

"Konflik agraria di provinsi ini terus bermunculan karena tidak diimbangi kemampuan pemerintah daerah untuk mencegah, menangani, dan menyelesaikan konflik tersebut," ujarnya.

Konflik agraria di wilayah Sumsel terus meningkat, dan sering memicu terjadi bentrokan yang mengakibatkan korban jiwa atau luka-luka serta kerugian harta benda.

Untuk mencegah terus berkembangnya konflik agraria itu, pihaknya mengajak semua lapisan masyarakat memperjuangkannya kepada pemerintah daerah dan pusat, agar konflik yang terkesan tidak pernah habis itu bisa lebih fokus ditangani, kata Syarifudin.

Sementara pengacara Sri Lestari Kadariah SH pada kesempatan FGD itu menjelaskan pengalamannya mendampingi masyarakat Desa Riding, Kabupaten Ogan Komering Ilir yang berkonflik dengan perusahaan besar pemegang Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman Industri (IUPHHK-HTI) PT Bumi Mekar Hijau (PT BMH) yang terjadi sejak 2013 hingga kini belum juga berakhir.

Latar belakang konflik itu PT BMH pemegang izin IUPHHK-HTI atas kawasan hutan produksi yang

terletak di Kelompok Hutan Sungai Simpang Heran hingga Sungai Beyuku I, Kabupaten Ogan Komering Ilir, berdasarkan SK Menhut No: SK.338/Menhut- II/2004 Tanggal 7 September 2004 sebagaimana telah diubah dengan Surat

Keputusan Menhut No: SK.417/Menhut-II/2004tanggal 19 Oktober 2004 diberikan hak atas areal IUPHHK-HTI seluas 250.370 ha.

Dampak diberikannya izin kepada PT BMH itu, lahan milik masyarakat Desa Riding seluas 10.000 hektare yang selama ini merupakan lahan yang dimanfaatkan masyarakat untuk mengembalakan kerbau (kerbau rawa),

mencari ikan (tapa, baung, patin, gabus, betok, sepat), memanfaatkan kayu gelam, bertanam padi sonor (padi yang ditebar pada saat keadaan lahan mengering) dikuasai perusahaan itu.

Perusahaan itu melakukan pembersihan lahan (land clearing) milik masyarakat untuk pembuatan kanal, atas aktivistas PT BMH itu masyarakat melakukan reaksi menghentikan pengoperasian alat berat, menyandera pegawai perusahaan, unjuk rasa ke perusahaan, pemkab, Pemprov Sumsel, DPRD kabupaten setempat, dan Komnas HAM.

Dengan terjadinya konflik itu dan untuk mengatasinya, pihak perusahaan dengan masyarakat membuat surat pernyataan bersama penyelesaian konflik pada 12 Juli 2013.?

Upaya penyelesaian konflik itu berlarut-larut hingga kini karena tidak terjadi kesepakatan antara masyarakat Desa Riding, Kecamatan Pangkalan Lampam, Kabupaten Ogan Komering Ili dan PT BMH dengan upaya terakhir yang difasilitasi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada 7 Oktober 2016.

Gambaran penyelesaian konflik yang cukup panjang itu memerlukan pemikiran bersama dan tindakan yang tepat sehingga tidak berlarut-larut dan muncul kasus baru, kata dia pula. ***4***Budi Suyanto





(T.Y009/B/B008/B008) 16-05-2017 12:45:57