Jakarta (Antarasumsel.com) - Data menunjukkan di sejumlah daerah kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak menunjukkan angka peningkatan. Namun perlu ada penelitian lebih dalam apakah peningkatan kasus itu ini karena semakin tingginya kesadaran masyarakat untuk melaporkan kasus kekerasan ataukah memang jumlah kasusnya sendiri menunjukkan adanya peningkatan.
Kalau memang kasusnya yang meningkat maka ini sebuah keprihatinan karena kampanye anti kekerasan terhadap perempuan dan anak sebenarnya terus digelorakan banyak pihak untuk memberikan pemahaman bahwa anak dan perempuan harus mendapat perlidungan.
Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) Provinsi Bengkulu menangani sebanyak 75 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak selama tahun 2016 di mana angka tersebut meningkat dari tahun sebelumnya sebanyak 45 kasus. Demikian juga Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK) Bali mencatat kasus kekerasan terhadap anak dan perempuan mencapai 100 kasus pada 2016 atau meningkat dibanding 2015 lalu yang tercatat 87 kasus.
Angka di tahun 2016 itu merupakan data sampai November, sehingga masih ada kemungkinan meningkat sampai akhir tahun ini.
Namun di tengah keprihatinan karena masih banyak pelaku kekerasan kepada perempuan dan anak yang hanya dihukum ringan ternyata ada hakim yang berani memberikan vonis hukuman seumur hidup kepada pelakunya agar memberikan efek jera.
Seperti dilakukan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Kandangan, Kabupaten Hulu Sungai Selatan, Kalimantan Selatan, yang diketui Syamsuni dengan menvonis penjara seumur hidup bagi Marzuki (27) pelaku pemerkosaan dan kekerasan terhadap anak Siti Aisyah (7) yang menyebabkan korban meninggal dunia.
Putusan majelis hakim pada Kamis (24/11) itu, lebih berat dari tuntuan Jaksa Penuntut Umum (JPU), yang hanya menuntut pidana 20 tahun, denda Rp3 milyar dan subsider enam bulan penjara.
Masyarakat menunggu keberanian hakim lainnya untuk memberikan vonis terberat karena sebenarnya DPR telah mengesahkan Perppu Perlindungan Anak atau kerap disebut Perppu Kebiri menjadi UU. UU Perlindungan Anak yang baru itu sudah berlaku sehingga bisa menjerat predator seksual anak dengan hukuman yang lebih berat.
Puncak Gunung Es
Kekerasan terhadap anak dan perempuan yang diketahui rakyat sebenarnya adalah bagaikan puncak dari gunung es, karena kasus yang dilihat masyarakat hanyalah sedikit, padahal sebenarnya yang terjadi adalah demikian banyaknya.
Kasus yang muncul ke permukaan, hanyalah mewakili kasus yang lebih banyak lainnya, sehingga hal ini memerlukan banyak kepekaan dan pemberdayaan lingkungan masyarakat dari semua pihak untuk menekankan kekerasan terhadap anak dan perempuan.
Beberapa hal yang perlu dilakukan adalah peran orang tua untuk menanamkan perilaku dalam keluarga tanpa kekerasan, memantau perkembangan perilaku dan psikologis anak, ikut mengawasi lingkungan sekitarnya dan secara bersama-sama membentuk kelembagaan di lingkungan sosial untuk memberikan pengawasan terhadap perilaku anak.
Pengawasan dilakukan agar anak-anak tidak menjadi pelaku kekerasan terhadap anak-anak lain dan tidak juga menjadi korban dari pihak lain termasuk dari mereka yang mempunyai hubungan keluarga. Ingat para pelaku kekerasan sebagian adalah mereka yang mempunyai hubungan darah seperti orang tua sendiri, paman, bibi, atau sepupu.
Siapapun juga mempunyai potensi melakukan kekerasan baik karena menyimpangan mental, maupun karena tekanan ekonomi, sosial dan tekanan pekerjaan. Bahkan orang yang secara mental dianggap kuat menghadapi tekanan seperti tokoh agama dan guru spiritual, juga pada titik tertentu bisa melakukan kekerasan kepada anak karena kuatnya faktor-faktor mendestruksi mentalnya.
Inovasi
Pemerintah Indonesia memang telah mengeluarkan kebijakan dan melaksanakan berbagai program yang mendukung pemenuhan hak dan perlindungan kepada anak seperti pengembangan kabupaten/kota layak anak (KLA), Sekolah Ramah Anak, pembentukan Forum Anak di tingkat provinsi dan kabupaten/kota, penyediaan ruang pengadilan ramah anak, kampanye-kampanye gerakan perlindungan anak, Pusat Pelayanan Terpadu Perlindungan Perempuan dan Anak (P2TP2A), Gerakan Nasional Anti Kekerasan terhadap Anak (GN-AKSA).
Peraturan ini tertuang peraturan menteri negara pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak RI nomer 13 tahun 2011 tentang pengembangan kota/kabupaten layak anak di Indonesia telah dinyatakan secara eksplisit pembangunan harus berbasis hak anak
Sejumlah daerah juga telah mulai melakukan kreatifitas untuk menekan kasus kekerasan terhadap anak dan remaja dengan menjagak masyarakat berperan aktif mengawasi lingkungan mereka seperti yang dilakukan Pemkot Gorontalo, Pemprov Jabar dan sebuah desa di Jawa Tengah.
Pemkot Gorontalo, Provinsi Gorontalo mulai menerapkan program Perlindungan Anak Terpadu Berbasis Masyarakat (PATBM) di dua Kelurahan, yakni Siendeng dan Limba U-1.
Staf Ahli Wali Kota Efendy Rauf pada peringatan hari anak internasional tingkat Kota Gorontalo tahun 2016 mengatakan, program itu berupaya untuk mengubah pola pikir dalam mengorientasikan pada upaya pencegahan dini terhadap praktek kekerasan anak.
Warga di dua kelurahan itu mulai mengidentifikasi dan mendeteksi berbagai potensi yang bisa mendorong terjadi kekerasan anak , kemudian jika muncul kasus maka berupaya menolong, dan melindungi anak-anak yang menjadi korban kekerasan termasuk untuk mencapai keadilan bagi korban dan pelaku anak.
Sesuai dengan konteks kegiatan berbasis masyarakat dan tujuan PATBM, maka sasaran kegiatan-kegiatan PATBM adalah anak, orang tua, keluarga, dan masyarakat yang ada di wilayah PATBM dilaksanakan. Saat ini hampir semua provinsi mempunyai kelurahan dan desa percontohan untuk penerapan PATBM.
Sekolah Ramah Anak
Setiap provinsi juga berupaya memperbanyak sekolah ramah anak, bahkan di Jawa Barat, Ketua Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Provinsi Jawa Barat Netty Heryawan bertekad menggagas seluruh sekolah menjadi sekolah berbasis ramah anak, mengingat kekerasan terhadap anak semakin menjadi.
Momentumnya adalah kebijakan Pemerintah pusat yang menyerahkan pengelolaan seluruh sekolah tingkat SMA ke pemerintah provinsi. ¿Sekolah ramah anak berbasis bebas kekerasan akan dilaksanakan di seluruh Jabar pada 2017,¿ katanya.
Salah satu program sekolah ramah anak di antaranya, setiap Senin saat upacara bendera, siswa akan diarahkan untuk membacakan ikrar terkait perlindungan terhadap kekerasan. Ikrar tersebut untuk melindungi diri sendiri dari kekerasan, menghindarkan diri dari ancaman kekerasan dan menolong orang yang mengalami kekerasan.
Selain itu setiap sekolah juga akan diwajibkan memasang plang atau papan informasi berisi nomor telepon pengaduan bila mengalami atau menemukan tindakan kekerasan. Nomor pengaduan itu bisa menggunakan nomor kepala sekolah, nomor pengaduan khusus, juga nomor lembaga layanan di luar sekolah.
Sementara di Desa Trihanggo, Kecamatan Gamping, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta mempunyai cara lain untuk mengkampanyekan pencegahan kekerasan terhadap anak dengan mendeklarasikan komitmen akhiri kekerasan pada anak, pada 20 November 2016.
Deklarasi ini mengikrarkan bahwa pemerintah Desa Trihanggo akan menjunjung hak anak dan memenuhi empat hak dasar anak, yakni hidup tumbuh kembang perlindungan dan partisipasi.
Semua perangkat desa bersama warga berupaya memastikan anak terpenuhi hak pendidikannya, melindungi anak dari segala bentuk kekerasan, tidak membatasi ruang berekspresi anak dan mengawasi pergaulan anak agar terhindar dari kekerasan.
Setiap keluarga di desa itu juga diminta untuk membina anak tanpa kekerasan dan mengawasi anak-anak dari paparan tayangan kekerasan baik melalui televisi dan internet.
Kesadaran masyarakat untuk menghindari paparan kekerasan yang diterima anak akan sangat membantu upaya mencegah terjadinya kekerasan oleh anak yang pada akhirnya menumbuhkan generasi yang menghindari cara-cara kekerasan untuk penyelesaian setiap perselisihan.