Baturaja (ANTARA) - Kejaksaan Negeri (Kejari) Kabupaten Ogan Komering Ulu (OKU), Sumatra Selatan mengedepankan penyelesaian perkara tindak pidana melalui restorative justice dengan perdamaian antara pelaku dan korban.
Kepala Kejari OKU Choirun Parapat di Baturaja, Selasa mengatakan bahwa penyelesaian perkara melalui restorative justice ini dilaksanakan berdasarkan Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 tentang penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif.
Dia menjelaskan, restorative justice merupakan penyelesaian perkara di luar pengadilan yang melibatkan pelaku dan keluarga tersangka atau korban dan pihak-pihak terkait untuk mencari keadilan bersama dan lebih mengedepankan pemulihan keadaan seperti semula.
Restorative justice ini diberlakukan pada tindak pidana dengan syarat-syarat tertentu diantaranya tersangka belum pernah tersandung kasus tidak pidana, ancaman hukuman tidak lebih dari lima tahun atau hanya denda, serta nilai kerugian atau nilai barang bukti tidak lebih dari Rp2,5 juta dan sudah ada perdamaian antara kedua belah pihak.
"Kami hanya berharap kedepannya para terdakwa dapat mengambil hikmah dan menjadikan hal ini sebagai pembelajaran berharga dan tidak mengulangi lagi," harapnya.
Berdasarkan data, kata dia, sejak Januari hingga Juli 2024 tercatat lima perkara pidana diselesaikan dengan metode restorative justice.
Lima perkara yang proses hukumnya berhasil diselesaikan dengan metode restorative justice tersebut antara lain perkara kasus penadahan telpon genggam hasil curian dengan tersangka ER, seorang kuli angkut yang dijerat pasal 480 ke-1 KUHP.
Yang terbaru pihaknya menghentikan kasus tindak pidana kecelakaan lalu lintas dengan terdakwa MR berdasarkan restorative justice.
"Ada beberapa hal yang menjadi pertimbangan jaksa dalam menghentikan kasus ini yaitu tersangka melaksanakan kesepakatan perdamaian dalam jangka waktu 14 hari semenjak pelimpahan berkas perkara tahap II," ujarnya.
Kepala Kejari OKU Choirun Parapat di Baturaja, Selasa mengatakan bahwa penyelesaian perkara melalui restorative justice ini dilaksanakan berdasarkan Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 tentang penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif.
Dia menjelaskan, restorative justice merupakan penyelesaian perkara di luar pengadilan yang melibatkan pelaku dan keluarga tersangka atau korban dan pihak-pihak terkait untuk mencari keadilan bersama dan lebih mengedepankan pemulihan keadaan seperti semula.
Restorative justice ini diberlakukan pada tindak pidana dengan syarat-syarat tertentu diantaranya tersangka belum pernah tersandung kasus tidak pidana, ancaman hukuman tidak lebih dari lima tahun atau hanya denda, serta nilai kerugian atau nilai barang bukti tidak lebih dari Rp2,5 juta dan sudah ada perdamaian antara kedua belah pihak.
"Kami hanya berharap kedepannya para terdakwa dapat mengambil hikmah dan menjadikan hal ini sebagai pembelajaran berharga dan tidak mengulangi lagi," harapnya.
Berdasarkan data, kata dia, sejak Januari hingga Juli 2024 tercatat lima perkara pidana diselesaikan dengan metode restorative justice.
Lima perkara yang proses hukumnya berhasil diselesaikan dengan metode restorative justice tersebut antara lain perkara kasus penadahan telpon genggam hasil curian dengan tersangka ER, seorang kuli angkut yang dijerat pasal 480 ke-1 KUHP.
Yang terbaru pihaknya menghentikan kasus tindak pidana kecelakaan lalu lintas dengan terdakwa MR berdasarkan restorative justice.
"Ada beberapa hal yang menjadi pertimbangan jaksa dalam menghentikan kasus ini yaitu tersangka melaksanakan kesepakatan perdamaian dalam jangka waktu 14 hari semenjak pelimpahan berkas perkara tahap II," ujarnya.