Palembang (ANTARA) - Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan mengapresiasi Pusat Kajian Sejarah (Puskas) provinsi setempat meluncurkan buku hasil kajian tentang Gajah Palembang yang dilakukan dalam beberapa tahun terakhir.
"Dengan buku itu, diharapkan dapat menjelaskan kepada masyarakat bahwa di Kota Palembang pernah ada habitat gajah yang seiring perkembangan zaman dan alih fungsi lahan untuk perkotaan, habitat gajah hilang dan bergeser ke pinggiran seperti ke wilayah Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI)," kata Staf Ahli Gubernur Sumsel Bidang Kemasyarakatan dan SDM Kurniawan Abadi, pada acara peluncuran buku Gajah Palembang, di Palembang, Ahad.
Menurut dia, tim penulis buku Vebri Al-Lintani, Ali Goik, Kemas Panji, Dudy Oskandar, Dayat, dan Dedi Irwanto diharapkan terus berkarya dengan menggali sejarah mengenai Kota Palembang dan daerah Sumsel lainnya.
"Jangan berhenti dan cukup puas di kajian dan pembuatan buku tersebut saja, banyak hal lain yang bisa dikaji dan dijadikan buku sebagai literasi sejarah bagi generasi muda provinsi dengan 17 kabupaten dan kota ini," kata Kurniawan.
Sementara salah seorang anggota Puskas Sumsel yang juga penulis buku Gajah Palembang, Ali Goik, pada acara peluncuran buku itu menjelaskan bahwa hingga kini banyak orang tidak mengetahui Kota Palembang merupakan daerah gajah.
Ketidaktahuan orang bahwa Palembang sebagai Ibu kota Sumatera Selatan itu adalah daerah gajah membuat dia dan kawan-kawan di Puskas melakukan kajian tentang satwa langka itu dan mendokumenkannya dalam buku tersebut.
Untuk membuat buku itu, dia bersama tim penulis turun ke lima desa dalam Kecamatan Air Sugihan, OKI yang sering mengalami konflik dengan gajah yakni Desa Bukit Batu, Simpang Heran, Banyu Biru, Srijaya Baru, dan Desa Jadi Mulya.
Khusus di Desa Bukit Batu, tim penulis melakukan berbagai wawancara dengan penduduk lokal untuk mengidentifikasi keberadaan gajah terutama akar konflik antara manusia dan gajah di desa tersebut.
“Kami merasakan adanya konflik ini, yang utama habitat gajah diusik oleh manusia. Gajah memiliki jelajah edar yang bersifat siklus, berdasarkan pendapat masyarakat tersebut wilayah edar gajah tidak sengaja diganggu sehingga gajah masuk dan terkadang mengamuk di permukiman," ujarnya.
Namun, yang menarik jika dulu masyarakat menghalau gajah cukup dengan kata-kata "simbah ojo mlebuh niki rumah cucumu" atau mbak tinggali makan untuk cucumu, maka gajah akan segera pergi.
Sekarang ini untuk menghalau gajah, harus dengan berbagai cara dan berganti strategi seperti bulan ini harus pakai tetabuan kaleng kemudian bulan berikutnya perlu menggunakan suara petasan/percon demikian seterusnya, ujar Ali Goik.
Sementara anggota tim penulis lainnya Vebri Al-Lintani menjelaskan bahwa untuk menulis buku itu diproses sejak awal Maret 2024.
Berdasarkan informasi dari berbagai sumber, pada masa lalu ada harmonisasi antara kehidupan gajah dan manusia di provinsi ini.
“Gajah itu hewan cerdas, merasa terganggu kalau diusik. Tokoh Si Dasir dalam tradisi lisan Sumsel, contohnya. Si Dasir mati karena mengusik gajah. Selain itu, dalam sejarah Raja Sriwijaya, Shih-Ling-Chia dikatakan menaiki gajah jika melakukan perjalanan jauh. Artinya, sejak masa lampau gajah Palembang sudah mendukung kehidupan manusia di Sumsel, bukan berkonflik seperti dikeluhkan masyarakat sekarang ini," jelasnya
Menurut budayawan Sumsel itu, jika ada konflik manusia dengan gajah, maka harus dicari solusi budayanya yang pas.
Tim penulis Puskas Sumsel melalui kajian berupaya mencari akar masalah gajah yang sering menjadi persoalan di tengah pemukiman masyarakat yang kini menjadi habitat gajah seperti beberapa desa kawasan Air Sugihan, Kabupaten OKI.
Selama ini ada kesan di lapangan bahwa persoalan konflik gajah dan manusia terkesan saling lempar tangan dalam penanganannya.
Oleh sebab itu, Tim Puskas Sumsel melakukan kajian dengan mencari akar konfliknya sekaligus berbagai kearifan lokal tentang gajah, sehingga dapat dilakukan saran-saran dalam penanganan gajah di daerah Air Sugihan, kata Vebri.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Pemprov Sumsel apresiasi Puskas luncurkan buku Gajah Palembang
"Dengan buku itu, diharapkan dapat menjelaskan kepada masyarakat bahwa di Kota Palembang pernah ada habitat gajah yang seiring perkembangan zaman dan alih fungsi lahan untuk perkotaan, habitat gajah hilang dan bergeser ke pinggiran seperti ke wilayah Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI)," kata Staf Ahli Gubernur Sumsel Bidang Kemasyarakatan dan SDM Kurniawan Abadi, pada acara peluncuran buku Gajah Palembang, di Palembang, Ahad.
Menurut dia, tim penulis buku Vebri Al-Lintani, Ali Goik, Kemas Panji, Dudy Oskandar, Dayat, dan Dedi Irwanto diharapkan terus berkarya dengan menggali sejarah mengenai Kota Palembang dan daerah Sumsel lainnya.
"Jangan berhenti dan cukup puas di kajian dan pembuatan buku tersebut saja, banyak hal lain yang bisa dikaji dan dijadikan buku sebagai literasi sejarah bagi generasi muda provinsi dengan 17 kabupaten dan kota ini," kata Kurniawan.
Sementara salah seorang anggota Puskas Sumsel yang juga penulis buku Gajah Palembang, Ali Goik, pada acara peluncuran buku itu menjelaskan bahwa hingga kini banyak orang tidak mengetahui Kota Palembang merupakan daerah gajah.
Ketidaktahuan orang bahwa Palembang sebagai Ibu kota Sumatera Selatan itu adalah daerah gajah membuat dia dan kawan-kawan di Puskas melakukan kajian tentang satwa langka itu dan mendokumenkannya dalam buku tersebut.
Untuk membuat buku itu, dia bersama tim penulis turun ke lima desa dalam Kecamatan Air Sugihan, OKI yang sering mengalami konflik dengan gajah yakni Desa Bukit Batu, Simpang Heran, Banyu Biru, Srijaya Baru, dan Desa Jadi Mulya.
Khusus di Desa Bukit Batu, tim penulis melakukan berbagai wawancara dengan penduduk lokal untuk mengidentifikasi keberadaan gajah terutama akar konflik antara manusia dan gajah di desa tersebut.
“Kami merasakan adanya konflik ini, yang utama habitat gajah diusik oleh manusia. Gajah memiliki jelajah edar yang bersifat siklus, berdasarkan pendapat masyarakat tersebut wilayah edar gajah tidak sengaja diganggu sehingga gajah masuk dan terkadang mengamuk di permukiman," ujarnya.
Namun, yang menarik jika dulu masyarakat menghalau gajah cukup dengan kata-kata "simbah ojo mlebuh niki rumah cucumu" atau mbak tinggali makan untuk cucumu, maka gajah akan segera pergi.
Sekarang ini untuk menghalau gajah, harus dengan berbagai cara dan berganti strategi seperti bulan ini harus pakai tetabuan kaleng kemudian bulan berikutnya perlu menggunakan suara petasan/percon demikian seterusnya, ujar Ali Goik.
Sementara anggota tim penulis lainnya Vebri Al-Lintani menjelaskan bahwa untuk menulis buku itu diproses sejak awal Maret 2024.
Berdasarkan informasi dari berbagai sumber, pada masa lalu ada harmonisasi antara kehidupan gajah dan manusia di provinsi ini.
“Gajah itu hewan cerdas, merasa terganggu kalau diusik. Tokoh Si Dasir dalam tradisi lisan Sumsel, contohnya. Si Dasir mati karena mengusik gajah. Selain itu, dalam sejarah Raja Sriwijaya, Shih-Ling-Chia dikatakan menaiki gajah jika melakukan perjalanan jauh. Artinya, sejak masa lampau gajah Palembang sudah mendukung kehidupan manusia di Sumsel, bukan berkonflik seperti dikeluhkan masyarakat sekarang ini," jelasnya
Menurut budayawan Sumsel itu, jika ada konflik manusia dengan gajah, maka harus dicari solusi budayanya yang pas.
Tim penulis Puskas Sumsel melalui kajian berupaya mencari akar masalah gajah yang sering menjadi persoalan di tengah pemukiman masyarakat yang kini menjadi habitat gajah seperti beberapa desa kawasan Air Sugihan, Kabupaten OKI.
Selama ini ada kesan di lapangan bahwa persoalan konflik gajah dan manusia terkesan saling lempar tangan dalam penanganannya.
Oleh sebab itu, Tim Puskas Sumsel melakukan kajian dengan mencari akar konfliknya sekaligus berbagai kearifan lokal tentang gajah, sehingga dapat dilakukan saran-saran dalam penanganan gajah di daerah Air Sugihan, kata Vebri.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Pemprov Sumsel apresiasi Puskas luncurkan buku Gajah Palembang