Jakarta (ANTARA) -
Pengamat Kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Bambang Rukminto mengatakan arogansi personel Polri seperti yang terjadi di Palembang, Sumatra Selatan, tidak bisa dibiarkan, perlu ada sanksi tegas.
"Arogansi personel seperti itu tak bisa dibiarkan. Harus ada sanksi disiplin dan etik pada personel tersebut," kata Bambang dikonfirmasi di Jakarta, Selasa.
Bambang mengkritisi kasus oknum polisi menembak debt collector, yakni Aiptu FN, anggota Sabhara Polsek Lubuk Linggau Polda Sumatra Selatan (23/3).
Menurut Bambang, perbuatan Aiptu FN sebagai bentuk arogansi anggota kepolisan, yang tidak dibenarkan dan harus diproses secara hukum dan juga kelembagaan Polri.
"Selain sanksi internal terkait pelanggaran disiplin dan etik, sesuai prinsip semua orang sama di mata hukum, harus ada sanksi pidana pada personel yang sudah membahayakan masyarakat," katanya.
Bambang menyayangkan, aksi arogansi tersebut dilakukan dengan menggunakan fasilitas negara.
"Apalagi menggunakan fasilitas negara yakni senjata api untuk menembak anggota masyarakat yang lain, terlepas bahwa korban juga melakukan perbuatan yang tak menyenangkan," ujarnya.
Walaupun yang mendapat penganiayaan adalah anggota debt collector atau penagih utang yang sebagai masyarakat juga dirugikan dengan cara-cara yang dilakukannya. Menurut Bambang, tindakan yang dilakukan Aiptu FN tidak mencerminkan tugas dan fungsi personel Polri.
"Benar (debt collector juga salah), tugas polisi sebagai penegak hukum itu melakukan penyelidikan dan penyidikan, bukan menjadi hakim atau main hakim sendiri," katanya.
Bambang menyebut, arogansi personel Polri tidak hanya terjadi di Palembang saja, tapi di beberapa wilayah di Indonesia, seperti Polda Sumatera Utara menangkap Ketua Komunitas MA Ompu Umbak Siallagan (65), atas dugaan penguasaan lahan PT Toba Pulp Lestari atau TPL (23/3).
Penangkapan Umbak Siallagan dilakukan dengan upaya paksa karena ada upaya menghalangi dari pihak keluarga.
Bambang menyebut perilaku tersebut juga tidak bisa dibenarkan. Penangkapan seseorang harus dengan SOP yang benar, seperti memberikan surat penangkapan resmi kepada saksi Ketua RT, atau keluarga dan menghargai hak asasi manusia yang melekat pada semua orang.
"Tanpa ada surat resmi dari kepolisian yang diberikan pada keluarga atau saksi ketua lingkungan tak ada bedanya dengan penculikan," kata Bambang.
Bambang menambahkan, pembiaran aksi penangkapan tanpa SOP seperti itu akan membenarkan aksi-aksi penculikan seperti di akhir orde baru.
Terkait kasus oknum polisi menembak debt collector, Bidang Profesi dan Pengamanan Kepolisian Daerah Sumatera Selatan memastikan proses hukum terhadap Aiptu FN yang melakukan penusukan dan penembakan terhadap seorang debt collector saat akan melakukan penarikan paksa mobil miliknya.
Mobil Aiptu FN ditarik secara paksa oleh sekelompok debt collector karena menunggak pembayaran. Namun, upaya tersebut dihalangi oleh Aiptu FN, yang pada saat kejadian membawa senjata api jenis air softgun dan senjata penikam.
Aiptu FN dikabari menyerahkan diri ke Propam Polda Sumsel dan saat ini berstatus terperiksa. Baik pihak Aiptu FN dan debt collector sama-sama membuat laporan polisi terkait kejadian tersebut.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Pengamat: Arogansi personel Polri tidak bisa dibiarkan
"Selain sanksi internal terkait pelanggaran disiplin dan etik, sesuai prinsip semua orang sama di mata hukum, harus ada sanksi pidana pada personel yang sudah membahayakan masyarakat," katanya.
Bambang menyayangkan, aksi arogansi tersebut dilakukan dengan menggunakan fasilitas negara.
"Apalagi menggunakan fasilitas negara yakni senjata api untuk menembak anggota masyarakat yang lain, terlepas bahwa korban juga melakukan perbuatan yang tak menyenangkan," ujarnya.
Walaupun yang mendapat penganiayaan adalah anggota debt collector atau penagih utang yang sebagai masyarakat juga dirugikan dengan cara-cara yang dilakukannya. Menurut Bambang, tindakan yang dilakukan Aiptu FN tidak mencerminkan tugas dan fungsi personel Polri.
"Benar (debt collector juga salah), tugas polisi sebagai penegak hukum itu melakukan penyelidikan dan penyidikan, bukan menjadi hakim atau main hakim sendiri," katanya.
Bambang menyebut, arogansi personel Polri tidak hanya terjadi di Palembang saja, tapi di beberapa wilayah di Indonesia, seperti Polda Sumatera Utara menangkap Ketua Komunitas MA Ompu Umbak Siallagan (65), atas dugaan penguasaan lahan PT Toba Pulp Lestari atau TPL (23/3).
Penangkapan Umbak Siallagan dilakukan dengan upaya paksa karena ada upaya menghalangi dari pihak keluarga.
Bambang menyebut perilaku tersebut juga tidak bisa dibenarkan. Penangkapan seseorang harus dengan SOP yang benar, seperti memberikan surat penangkapan resmi kepada saksi Ketua RT, atau keluarga dan menghargai hak asasi manusia yang melekat pada semua orang.
"Tanpa ada surat resmi dari kepolisian yang diberikan pada keluarga atau saksi ketua lingkungan tak ada bedanya dengan penculikan," kata Bambang.
Bambang menambahkan, pembiaran aksi penangkapan tanpa SOP seperti itu akan membenarkan aksi-aksi penculikan seperti di akhir orde baru.
Terkait kasus oknum polisi menembak debt collector, Bidang Profesi dan Pengamanan Kepolisian Daerah Sumatera Selatan memastikan proses hukum terhadap Aiptu FN yang melakukan penusukan dan penembakan terhadap seorang debt collector saat akan melakukan penarikan paksa mobil miliknya.
Mobil Aiptu FN ditarik secara paksa oleh sekelompok debt collector karena menunggak pembayaran. Namun, upaya tersebut dihalangi oleh Aiptu FN, yang pada saat kejadian membawa senjata api jenis air softgun dan senjata penikam.
Aiptu FN dikabari menyerahkan diri ke Propam Polda Sumsel dan saat ini berstatus terperiksa. Baik pihak Aiptu FN dan debt collector sama-sama membuat laporan polisi terkait kejadian tersebut.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Pengamat: Arogansi personel Polri tidak bisa dibiarkan