Kuala Lumpur (ANTARA) - Mestika dan dua rekannya tampak sibuk berfoto di depan salah satu restoran yang khusus menyajikan masakan Minang di Jalan Tuanku Abdul Rahman, Chow Kit, Kuala Lumpur. Beberapa tas penuh berisi barang diletakkan di dekat mereka.
Perempuan asal Nias, Sumatera Utara, itu baru saja selesai menikmati masakan khas Minang di Restoran Nasi Kapau di Chow Kit karena kebetulan sedang berada di jantung Kota Kuala Lumpur.
Pada akhir pekan pertama Januari 2024 itu, menurut dia, untuk kali kedua makan nasi kapau di restoran tersebut.
“Sebab dia punya masakan sesuai dengan selera Indonesia. Dengan lidah saya pas,” kata Mestika memberi alasan mengapa dirinya kembali bersantap di restoran itu.
Seandainya jarak restoran itu dekat dengan lokasinya bekerja dan tempat tinggalnya saat ini, mungkin sudah setiap hari ia menikmati nasi kapau.
Meski masih serumpun, untuk urusan rasa ia mengakui tetap ada perbedaan kesukaan antara WNI dan warga Malaysia.
Karenanya dirinya lebih sering masak sendiri makanan sehari-hari yang dikonsumsinya, dan sangat memilih menu makanan saat jajan di luar.
Dendeng lambok di Restoran Nasi Kapau di kawasan Chow Kit, Kuala Lumpur, Sabtu (6/1/2024). ANTARA/Virna P Setyorini
Mestika, yang punya nama panggilan Tika dan merupakan pekerja migran Indonesia, mengaku sudah sekitar 5 tahun bekerja di Malaysia.
Sebelum kembali ke Batu Caves, Selangor, tempatnya bekerja sekarang, ia bersama dua rekannya, satu merupakan warga negara Indonesia (WNI) dan lainnya berasal dari Sabah, menyempatkan diri menikmati makan siang di restoran itu.
Desy Aryanti, rekan Tika asal Tebing Tinggi, Sumatera Utara, yang sudah bekerja sekitar 4 tahun di Malaysia, baru pertama makan nasi kapau di sana dan mengaku bisa menikmati citarasa Minang yang disajikan di restoran itu.
Saat ditanya menu favoritnya di sana, gulai tunjang jadi pilihan tak terlewatkan bagi mereka. Dan ekspresi wajah mereka mendukung jawaban mereka.
Siang itu, Tika menikmati nasi kapau dengan lauk gulai tunjang, plus es alpukat. “Best!” kata Tika.
Begitu pula dengan Sultia Mardini asal Kota Padang yang sedang berlibur di Kuala Lumpur. Bersama dengan anak dan cucunya siang itu menikmati masakan Minang di Restoran Nasi Kapau tersebut.
Ayam Pop menjadi salah satu menu yang mereka pesan. Namun tidak lupa Sultia memesan gulai tunjang untuk dibawa pulang.
“Untuk makan malam,” ujar dia. Karena pada akhir pekan itu mereka tidak berencana memasak sendiri.
Sultia yang berdarah Minang tentu dengan mudah dapat merasakan perbedaan rasa nasi kapau yang biasa dinikmati di tempat asalnya, yakni Bukit Tinggi, dengan yang ada di Kuala Lumpur.
Namun demikian, untuk ukuran nasi kapau yang dinikmatinya di luar negeri, masakan yang disajikan di Restoran Nasi Kapau di pusat Kota Kuala Lumpur itu sudah sangat mewakili kelezatan masakan khas Minang tersebut.
Sebagai pelengkap, ia pun memesan es sirap selasih yang punya rasa sirup berbeda dan khas.
Jika Sultia baru kali pertama mencoba nasi kapau di restoran itu, tidak demikian putrinya yang sudah 1,5 tahun terakhir menjadi ekspatriat bekerja di salah satu perusahaan di Kuala Lumpur. Sudah beberapa kali ia mampir menikmati nasi kapau di sana.
Biasanya ia akan memilih menjajal masakan Melayu mengingat sedang ada di Malaysia.
Menu masakan Melayu yang biasa ia cari seperti pindang ikan atau asam pedas, termasuk pindang ikan tempoyak yang terbuat dari fermentasi durian.
Beragam menu
Waktu menunjukkan sekitar pukul 11.30 waktu Malaysia (MYT) atau pukul 10.30 Waktu Indonesia Barat (WIB), dan sudah tampak antrean di depan restoran. Rata-rata semua berwajah dan berlogat Melayu, namun ada pula warga asing yang singgah untuk makan siang lebih awal hari itu.
Dari luar etalase restoran yang tampak begitu terjaga kebersihannya, bisa dilihat berbagai menu masakan Minang yang masih tertumpuk tinggi, mengingat restoran belum begitu lama buka.
Sejumlah nama masakan disesuaikan menggunakan bahasa Malaysia. Seperti perkedel kentang tertulis bergedil, lalu lele goreng tertulis keli goreng, gulai babat tertulis gulai perut, gulai daun singkong tertulis sayur pucuk ubi, sedangkan gulai cumi biasa disebut gulai sotong.
Sedangkan untuk menu balado semua tertulis dengan sambal, seperti telur balado biasa disebut sambal terung, belut sambal, sardin sambal, tengiri sambal. Restoran Minang itu pun menyediakan lalapan atau yang biasa disebut ulam di Malaysia, dan tentu kerupuk kulit yang menjadi ciri khas di rumah makan-rumah makan Minang.
Menu-menu andalan nasi kapau lainnya seperti ayam pop, dendeng lambok, cincang, gulai otak, gulai tunjang, gulai usus atau di Bukit Tinggi dikenal dengan gulai tembusu, sayur kapau yang terdiri atas nangka muda dan kubis, gulai kepala ikan, hingga teh telur atau di Sumatera Barat terkenal dengan sebutan teh talua ada dalam daftar yang patut dicoba.
Pelayan di restoran tersebut ramah-ramah, dan memahami kesusahan penyesuaian bahasa terutama jika pembeli berasal dari Indonesia. Mereka dengan sabar melayani satu per satu pelanggannya yang tidak semua pandai berbahasa Melayu.
Tepat pukul 12.00 MYT, hanya tersisa sedikit kursi kosong di restoran itu. Kebanyakan mereka datang beramai-ramai satu keluarga atau dengan teman sehingga jarang terlihat kursi kosong pada jam-jam rawan perut "keroncongan" itu.
Dari segi harga, cukup “berpatutan” atau wajar. Seperti ala carte ayam pop lengkap dengan sambalnya, gulai tunjang, gulai usus, dan sambal udang dihargai RM9 atau sekitar Rp30.000 per potong dengan kurs RM1 setara Rp3.333.
Harga dendeng lambok, gulai otak, ikan salai gulai tertera RM8 atau sekitar Rp26.600. Sedangkan untuk gulai kepala ikan tertera di harga RM10 atau sekitar Rp33.300 per porsi.
Pelayan di restoran tersebut memang tidak tampak memegang sendok sayur dengan gagang panjang seperti yang biasa digunakan di Bukit Tinggi. Karena memang pinggan berisi berbagai lauk tidak disusun terlampau jauh dari jangkauan.
Namun satu hal yang unik, dari semua autentikasi penyajian nasi kapau di restoran tersebut, satu hal yang sudah bercampur dengan cara orang Malaysia menyantap masakan berkari, yakni permintaan “kuah banjir” seperti saat menikmati nasi kandar.
“Kuah banjir,” kata salah seorang pelanggan berlogat Melayu, yang kemudian diulangi oleh pelayan restoran ditambah dengan anggukan, yang menunjukkan ia paham harus menambahkan kuah bersantan dari berbagai menu di sana membanjiri nasi dan lauk yang sudah dipesan pelanggannya itu.
Restoran Nasi Kapau yang buka setiap hari dari sekitar pukul 11.00 MYT dan tutup sekitar pukul 19.00 itu merupakan satu dari beberapa restoran yang menyajikan masakan khas Minang di kawasan sekitar Chow Kit. Beberapa yang sudah banyak dikenal di sana Restoran Rose, Restoran Sederhana, Restoran Garuda Baru, Restoran Nasi Padang Kampung Baru.
Jadi bagi mereka yang kebetulan berada di pusat jantung Kota Kuala Lumpur dan rindu dengan masakan Indonesia khususnya khas Minang, tidak perlu gundah, tinggal memilih salah satu dari restoran-restoran yang ada di sana. Cukup membuka aplikasi peta daring lokasi restoran dapat dengan mudah ditemui.
Perempuan asal Nias, Sumatera Utara, itu baru saja selesai menikmati masakan khas Minang di Restoran Nasi Kapau di Chow Kit karena kebetulan sedang berada di jantung Kota Kuala Lumpur.
Pada akhir pekan pertama Januari 2024 itu, menurut dia, untuk kali kedua makan nasi kapau di restoran tersebut.
“Sebab dia punya masakan sesuai dengan selera Indonesia. Dengan lidah saya pas,” kata Mestika memberi alasan mengapa dirinya kembali bersantap di restoran itu.
Seandainya jarak restoran itu dekat dengan lokasinya bekerja dan tempat tinggalnya saat ini, mungkin sudah setiap hari ia menikmati nasi kapau.
Meski masih serumpun, untuk urusan rasa ia mengakui tetap ada perbedaan kesukaan antara WNI dan warga Malaysia.
Karenanya dirinya lebih sering masak sendiri makanan sehari-hari yang dikonsumsinya, dan sangat memilih menu makanan saat jajan di luar.
Mestika, yang punya nama panggilan Tika dan merupakan pekerja migran Indonesia, mengaku sudah sekitar 5 tahun bekerja di Malaysia.
Sebelum kembali ke Batu Caves, Selangor, tempatnya bekerja sekarang, ia bersama dua rekannya, satu merupakan warga negara Indonesia (WNI) dan lainnya berasal dari Sabah, menyempatkan diri menikmati makan siang di restoran itu.
Desy Aryanti, rekan Tika asal Tebing Tinggi, Sumatera Utara, yang sudah bekerja sekitar 4 tahun di Malaysia, baru pertama makan nasi kapau di sana dan mengaku bisa menikmati citarasa Minang yang disajikan di restoran itu.
Saat ditanya menu favoritnya di sana, gulai tunjang jadi pilihan tak terlewatkan bagi mereka. Dan ekspresi wajah mereka mendukung jawaban mereka.
Siang itu, Tika menikmati nasi kapau dengan lauk gulai tunjang, plus es alpukat. “Best!” kata Tika.
Begitu pula dengan Sultia Mardini asal Kota Padang yang sedang berlibur di Kuala Lumpur. Bersama dengan anak dan cucunya siang itu menikmati masakan Minang di Restoran Nasi Kapau tersebut.
Ayam Pop menjadi salah satu menu yang mereka pesan. Namun tidak lupa Sultia memesan gulai tunjang untuk dibawa pulang.
“Untuk makan malam,” ujar dia. Karena pada akhir pekan itu mereka tidak berencana memasak sendiri.
Sultia yang berdarah Minang tentu dengan mudah dapat merasakan perbedaan rasa nasi kapau yang biasa dinikmati di tempat asalnya, yakni Bukit Tinggi, dengan yang ada di Kuala Lumpur.
Namun demikian, untuk ukuran nasi kapau yang dinikmatinya di luar negeri, masakan yang disajikan di Restoran Nasi Kapau di pusat Kota Kuala Lumpur itu sudah sangat mewakili kelezatan masakan khas Minang tersebut.
Sebagai pelengkap, ia pun memesan es sirap selasih yang punya rasa sirup berbeda dan khas.
Jika Sultia baru kali pertama mencoba nasi kapau di restoran itu, tidak demikian putrinya yang sudah 1,5 tahun terakhir menjadi ekspatriat bekerja di salah satu perusahaan di Kuala Lumpur. Sudah beberapa kali ia mampir menikmati nasi kapau di sana.
Biasanya ia akan memilih menjajal masakan Melayu mengingat sedang ada di Malaysia.
Menu masakan Melayu yang biasa ia cari seperti pindang ikan atau asam pedas, termasuk pindang ikan tempoyak yang terbuat dari fermentasi durian.
Beragam menu
Waktu menunjukkan sekitar pukul 11.30 waktu Malaysia (MYT) atau pukul 10.30 Waktu Indonesia Barat (WIB), dan sudah tampak antrean di depan restoran. Rata-rata semua berwajah dan berlogat Melayu, namun ada pula warga asing yang singgah untuk makan siang lebih awal hari itu.
Dari luar etalase restoran yang tampak begitu terjaga kebersihannya, bisa dilihat berbagai menu masakan Minang yang masih tertumpuk tinggi, mengingat restoran belum begitu lama buka.
Sejumlah nama masakan disesuaikan menggunakan bahasa Malaysia. Seperti perkedel kentang tertulis bergedil, lalu lele goreng tertulis keli goreng, gulai babat tertulis gulai perut, gulai daun singkong tertulis sayur pucuk ubi, sedangkan gulai cumi biasa disebut gulai sotong.
Sedangkan untuk menu balado semua tertulis dengan sambal, seperti telur balado biasa disebut sambal terung, belut sambal, sardin sambal, tengiri sambal. Restoran Minang itu pun menyediakan lalapan atau yang biasa disebut ulam di Malaysia, dan tentu kerupuk kulit yang menjadi ciri khas di rumah makan-rumah makan Minang.
Menu-menu andalan nasi kapau lainnya seperti ayam pop, dendeng lambok, cincang, gulai otak, gulai tunjang, gulai usus atau di Bukit Tinggi dikenal dengan gulai tembusu, sayur kapau yang terdiri atas nangka muda dan kubis, gulai kepala ikan, hingga teh telur atau di Sumatera Barat terkenal dengan sebutan teh talua ada dalam daftar yang patut dicoba.
Pelayan di restoran tersebut ramah-ramah, dan memahami kesusahan penyesuaian bahasa terutama jika pembeli berasal dari Indonesia. Mereka dengan sabar melayani satu per satu pelanggannya yang tidak semua pandai berbahasa Melayu.
Tepat pukul 12.00 MYT, hanya tersisa sedikit kursi kosong di restoran itu. Kebanyakan mereka datang beramai-ramai satu keluarga atau dengan teman sehingga jarang terlihat kursi kosong pada jam-jam rawan perut "keroncongan" itu.
Dari segi harga, cukup “berpatutan” atau wajar. Seperti ala carte ayam pop lengkap dengan sambalnya, gulai tunjang, gulai usus, dan sambal udang dihargai RM9 atau sekitar Rp30.000 per potong dengan kurs RM1 setara Rp3.333.
Harga dendeng lambok, gulai otak, ikan salai gulai tertera RM8 atau sekitar Rp26.600. Sedangkan untuk gulai kepala ikan tertera di harga RM10 atau sekitar Rp33.300 per porsi.
Pelayan di restoran tersebut memang tidak tampak memegang sendok sayur dengan gagang panjang seperti yang biasa digunakan di Bukit Tinggi. Karena memang pinggan berisi berbagai lauk tidak disusun terlampau jauh dari jangkauan.
Namun satu hal yang unik, dari semua autentikasi penyajian nasi kapau di restoran tersebut, satu hal yang sudah bercampur dengan cara orang Malaysia menyantap masakan berkari, yakni permintaan “kuah banjir” seperti saat menikmati nasi kandar.
“Kuah banjir,” kata salah seorang pelanggan berlogat Melayu, yang kemudian diulangi oleh pelayan restoran ditambah dengan anggukan, yang menunjukkan ia paham harus menambahkan kuah bersantan dari berbagai menu di sana membanjiri nasi dan lauk yang sudah dipesan pelanggannya itu.
Restoran Nasi Kapau yang buka setiap hari dari sekitar pukul 11.00 MYT dan tutup sekitar pukul 19.00 itu merupakan satu dari beberapa restoran yang menyajikan masakan khas Minang di kawasan sekitar Chow Kit. Beberapa yang sudah banyak dikenal di sana Restoran Rose, Restoran Sederhana, Restoran Garuda Baru, Restoran Nasi Padang Kampung Baru.
Jadi bagi mereka yang kebetulan berada di pusat jantung Kota Kuala Lumpur dan rindu dengan masakan Indonesia khususnya khas Minang, tidak perlu gundah, tinggal memilih salah satu dari restoran-restoran yang ada di sana. Cukup membuka aplikasi peta daring lokasi restoran dapat dengan mudah ditemui.