JAKARTA (ANTARA) - Tuhan menciptakan manusia sebagai makhluk paling sempurna, baik dari komponen raga hingga kecerdasan otak yang melengkapinya. Namun pada realitanya, terutama di dunia hiburan, ada semacam pakem bahwa kulit berwarna terang, postur tubuh tinggi semampai, rambut hitam lurus, dan ketiak mulus serta masih banyak ketentuan lainnya, sebagai standar kecantikan. Siapa yang sudah berani memutus dan menentukan standar kecantikan?
Artis penyanyi Yura Yunita, baru-baru ini dirundung warganet, karena kondisi ketiaknya yang tidak mulus. Rupa ketiak, lipatan kulit yang menyelinap di balik bahu tangan itu rupanya menjadi bagian dari standar kecantikan. Seorang artis, selebritas atau penampil, dituntut cantik tanpa cela, hingga warganet pun merasa berhak menjadi juri yang menilainya.
Beruntung pelantun “Tutur Batin” itu bukan sosok yang mudah runtuh oleh sebab rundungan. Bahkan, dia memanfaatkan momen itu untuk mengampanyekan penolakan pada beauty standard.
"Rasa geli, gemas, bercampur jadi satu. Tapi karena aku selalu terbuka menerima dan mengakui segala ketidaksempurnaan yang ada pada diriku, justru pengalaman ini jadi kesempatan untuk mengajak followers-ku menentang beauty standard yang semu," tulis Yura dalam siaran persnya di Jakarta, beberapa hari lalu.
Yura lantas mengajak para perempuan untuk merasa nyaman dengan diri sendiri, dan terus berproses menjadi versi terbaik dari diri mereka. Dia pun akan melanjutkan untuk menyebar pesan positif kepada perempuan agar senantiasa percaya diri dan tidak terganggu dengan berbagai kekurangan yang dimiliki, termasuk kondisi ketiak. Meski begitu, Yura yang menjadi duta merk produk deodorant mengimbau para wanita untuk menjaga dan merawat kesehatan ketiaknya.
Perbuatan tidak menyenangkan yang menimpa Yura Yunita merupakan kasus terbaru body shaming atau perundungan kondisi fisik. Sebelumnya sederet selebritas juga mengalami hal serupa, seperti Prilly Latuconsina, Aura Kasih, dan Kiky Saputri, serta beberapa artis lainnya.
Komika Kiky Saputri kerap menerima komentar negatif soal fisiknya dari para pengguna media sosial Instagram. Salah satunya mencela dia dengan idung pesek, tapi si ahli roasting itu membalasnya dengan santai.
Propaganda penjajah
Standar kecantikan yang dibuat universal (tubuh ramping, kulit putih, hidung mancung, bibir tipis dan seterusnya) mulanya berakar dari rasisme, klasisme, dan colourism yang disebarkan melalui kolonialisasi bangsa Eropa terhadap bangsa lain yang dijajahnya, terutama negara-negara di Asia dan Afrika.
Para penjajah, yang umumnya berkulit terang, kemudian menganggap rendah orang-orang berkulit lebih gelap, mengacu pada masyarakat tanah jajahan yang inferior.
Padahal manusia di muka Bumi diciptakan Tuhan dengan sangat beragam, baik dari bentuk detail fisik, hingga warna kulitnya. Apakah adil ketika dibuat standar kecantikan secara universal dan untuk apa pula ditentukan standarisasinya?
Para perusahaan produk kecantikan kemudian turut memainkan propaganda itu demi mempromosikan barang dagangannya. Melalui iklan-iklannya yang menyebar di layar kaca, media massa, hingga media luar ruang, menjejali alam pikir perempuan tentang standar kecantikan yang harus mereka capai dengan cara menggunakan berbagai rangkaian produk kosmetik.
Propaganda mengenai standar kecantikan terus dilanggengkan oleh sejumlah pihak yang berkepentingan mengeruk cuan dari obsesi para wanita dalam mempercantik diri. Masyarakat yang mengimani, industri kosmetik yang menciptakan produk dan media massa yang membangun persepsi, ketiganya membuat standar kecantikan menjadi berlaku hingga sekarang.
Masyarakat, utamanya perempuan, hampir tak menyadari menjadi korban dari propaganda itu dan secara berkelanjutan memburu beragam produk kosmetik untuk merawat ujung rambut hingga tumit agar memperoleh label “cantik”.
Bahkan, banyak kalangan perempuan mengalokasikan anggaran untuk perawatan tubuh melebihi biaya makan sehari-hari. Mereka bisa berhemat untuk makan, tapi tidak untuk skincare. “Biar lapar yang penting glowing,” begitu seloroh mereka, para penjaga penampilan muka.
Insecure
Gara-gara standar kecantikan yang ditetapkan oleh, entah siapa, tapi dianut masyarakat luas, banyak wanita yang merasa tidak memenuhi standar itu menjadi insecure. Perasaan cemas, minder, hingga depresi bisa menghinggapi perempuan karena persoalan ini.
Menurut Office of Women's Health, wanita dengan citra tubuh yang positif cenderung memiliki kesehatan mental yang baik.
Tapi jika mengacu pada standar kecantikan universal, akan sulit bagi perempuan kebanyakan untuk memiliki citra positif dimaksud.
Realitanya, standar kecantikan membawa dampak negatif, baik di dunia nyata maupun maya. Di media sosial, beberapa dampak buruk terjadi, seperti cyberbullying dan kekerasan berbasis gender online (KBGO).
Tidak semua wanita memiliki cara pandang seperti Yura Yunita atau secuek komika Kiky Saputri dalam menanggapi perundungan. Banyak juga yang tersungkur dalam kesakitan begitu dalam akibat cemoohan terkait fisik.
Seorang Prilly Latuconsina mengaku pernah kepikiran terus atas cibiran orang mengenai perubahan bentuk tubuhnya. Ia sampai tidak nafsu makan hingga asam lambungnya naik. Tapi tidak berlangsung lama, Prilly bangkit mengenyahkan pikiran negatif itu dan melanjutkan aktivitasnya yang padat.
Sungguh, sebuah standar kecantikan yang tertanam di benak khalayak telah memakan banyak korban.
Di berbagai perkampungan desa, banyak penjual skincare yang menjajakan produk dagangannya dengan sistem kredit atau cicilan dan nyatanya mengundang banyak pelanggan. Bukan hanya para gadis, ibu-ibu rumah tangga juga punya cicilan utang produk perawatan wajah, selain cicilan perabotan dapur.
Dari artis ibu kota hingga wanita desa berlomba-lomba untuk menggapai standar cantik, begitu dahsyatnya pengaruh propaganda itu.
Cantik yang menawan
Sebuah idiom Yunani menyebut “beauty is in the eye of the beholder”, yang berarti sangat subyektif dan relatif. Penilaian cantik itu berada di wilayah persepsi dan selera, jadi bagaimana bisa di-standarkan, apalagi standar universal, lebih tidak masuk akal.
Belum lagi beragam faktor juga turut berpengaruh, sebagaimana diungkap A Fuente del Campo (2002), seorang editor internasional untuk jurnal operasi estetika. Dia menyebut faktor filosofi, sejarah, ataupun budaya, mempengaruhi standar kecantikan.
Sementara warganet yang sering disebut sebagai “yang maha benar” itu kerap bertindak layaknya kurator kecantikan, mereka dengan leluasa mencela siapa saja yang dianggap tidak sempurna. Suatu perbuatan yang mampu menggerus kepercayaan diri para korbannya.
Cara melawannya gampang, abaikan! Tak perlu risau urusan tinggi badan, warna kulit, bentuk wajah, termasuk hidung, serta tampilan fisik lainnya. Yang penting untuk diperhatikan adalah merawat tubuh untuk menjaganya senantiasa sehat, sebagai implementasi syukur kepada Yang Maha Kuasa yang telah mencipta diri kita.
Sehat menjadi kunci, sesuai studi pustaka oleh Piotr Sorokowski, Krzysztof Kociski, dan Agnieszka Sorokowska (2013), persepsi kecantikan secara fisik berkaitan dengan kualitas biologis dan kesehatan seseorang.
Kecantikan yang sibuk dibangun dari luar hanya akan tampak semu, selain bersifat temporer dan kemungkinan berdampak banyak efek samping akibat penggunaan kosmetik kimia.
Maka bangunlah kecantikan dari dalam dengan kualitas kesehatan tubuh yang baik, dilengkapi otak yang ternutrisi, disempurnakan keluhuran budi pekerti, lantas dikemas dengan kepercayaan diri, niscaya Anda begitu menawan.