Palembang (ANTARA) - Lima pria pedagang jaket kulit asal Kabupaten Garut, Jawa Barat, harus mendapati pengalaman yang tak mereka duga sebelumnya, menjadi korban akibat santernya hoaks isu penculikan anak.
Kelima pria yang tengah berjualan keliling di wilayah Kabupaten Musi Rawas Utara atau Muratara, Sumatera Selatan dituding massa yang termakan hoaks isu penculikan anak, sehingga mobil berplat nomor Z (Priangan/Jabar Selatan) mengalami kerusakan.
Selain itu sejumlah barang, berupa jaket kulit jualan mereka juga raib dijarah massa yang tak terkendali. Namun semuanya berakhir damai dan ada solusi setelah difasilitasi oleh Polres Muratara, Koramil dan pemerintahan setempat.
Kelima pedagang itu Yusep, Dadang, Taufik, Asep Erwin dan Lucky Wanda. Mereka tidak bisa berbuat banyak menghadapi warga yang sudah termakan isu penculikan anak yang sebenarnya tidak ada sama sekali. Mereka sudah berusaha menerangkan bahwa mereka pedagang jaket yang biasa berkeliling lintas provinsi di Sumatera.
Kapolres Muratara AKBP Ferly menyebutkan, pihaknya telah memeriksa saksi, termasuk kelima pedagang jaket itu. Bahkan digelar rapat bersama muspika daerah itu, hasilnya tidak ditemukan percobaan tidak pidana kejahatan, khususnya penculikan anak.
Kasus itu pun berakhir damai. Kelimanya juga memilih tidak memperpanjang masalah, meski sudah dinyatakan tidak bersalah dan ada kerugian. Mereka bahkan mendapatkan uang pengganti yang dikumpulkan dari pemerintah desa dan kecamatan di lokasi kejadian itu.
Sebuah penyelesaian yang arif, dan musyawarah yang seharusnya dikembangkan dalam menyelesaikan masalah kesalahpahaman, tidak perlu selalu berlanjut ke ranah hukum.
Secara suka rela dan ikhlas, kelima pedagang jaket kulit dari Desa Sukawening dan Pangatikan Kabupaten Garut itu pun memilih berdamai. Jiwa dagang mereka yang kerap berkeliling ke setiap daerah, bertemu konsumen dan kenalan di persinggahan saat berdagang menjadi pertimbangan dan alasan mereka memilih untuk menyelesaikan masalah kesalahpahaman itu dengan kekeluargaan.
Pengalaman Berharga
Kejadian itu jelas menjadi pengalaman berharga bagi para pedagang lintas daerah atau provinsi saat menjual produknya. Pengalaman yang tak terbayangkan oleh mereka, dituding sebagai komplotan penculik anak.
Bukan sekali ini saja, dan sudah bertahun-tahun mereka berjualan keliling ke setiap daerah. Selama itu tak ada kejadian seperti itu.
Di mobil Daihatsu Grand Max warna putih mereka, memang banyak karung-karung bekas, namun itu menurut pengakuan mereka bekas karung jaket kulit, bukan untuk mengarungi anak.
Selama ini, para pedagang dari Jawa, dalam hal ini dari Jawa Barat memang banyak yang mengadu nasib berjualan keliling daerah dan pelosok, termasuk di Sumatera. Selain pedagang jaket kulit seperti dalam kasus di atas, juga ada pedagang "gorden" atau kain penutup kaca daun jendela.
Penjual jaket kulit dan aksesoris sejenisnya biasanya mereka berasal dari Kabupaten Garut sebagai daerah produsen produk kulit olahan. Bisa juga dari Kabupaten Sukabumi dan Bogor. Pedagang gorden, biasanya dari wilayah Ciparay dan Pacet Kabupaten Bandung. Mereka jagonya memproduksi dan berjualan gorden hingga ke luar daerah, termasuk ke Sumatera.
Ada juga penjual alat-alat pertanian seperti pacul, linggis, parang, golok dan lainnya. Pedagang jenis ini kebanyakan dari wilayah Sukabumi dan Pantura, Cirebon dan beberapa sentra perkakas serta pandai besi di sana.
Mereka mencari pasar ke luar dari daerahnya dengan cara mendatangi konsumen. Tentunya dengan harga yang disesuaikan dengan harga di daerah asal mereka.
Kelompok pedagang keliling antar daerah ini biasanya mereka berangkat berombongan antara empat hingga enam orang. Tak hanya satu mobil mereka berangkat, namun rombongan mereka bisa dua hingga tiga mobil berangkat dari kampungnya.
Kendaraannya bisa milik salah satu pedagang, ada juga yang menyewa harian alias merental. Mereka bayar biaya sewa rental setelah pulang dari berjualan di luar daerah yang bisa sampai empat hingga lima pekan. Mereka sudah terbiasa berangkat lama keliling daerah, dan sudah menjadi salah satu 'profesi' yang bagi mereka cukup keren karena berjualan hingga Sumatera.
Bila tiba di salah satu kabupaten di Sumatera, seperti di Lampung, Sumsel, Bengkulu atau Jambi. Mereka biasanya memiliki tempat berkumpul, di tempat kerabat atau pedagang sejenis yang telah bermukim di daerah itu.
Mereka menyebar, ada yang menggunakan mobil, ada juga yang menggunakan sepeda motor atau juga dengan cara berjalan kaki menyusuri pemukiman warga. Seperti pedagang keliling, mereka biasa membawa tas ukuran besar berisi produk mereka, dan sebagian ditenteng sebagai contoh barang yang mereka jual.
Biasanya para pedagang itu sudah memiliki jalur atau rute jualan mereka sehingga tak jarang mereka mendapat pelanggan tetap. Bahkan menjadi tempat persinggahan mereka di waktu-waktu berikutnya saat berdagang ke daerah itu.
Mereka juga memiliki kemampuan berkomunikasi yang khas, selain menawarkan produk, mereka menyelingi dengan guyonan-guyonan khas warga Jawa Barat, yang mudah akrab saat bertemu mitra atau orang baru di tempat perantauannya.
Meski demikian, sebagai orang asing yang masuk ke kampung orang tentu kerap dicurigai oleh warga. Hal itu hal wajar dan mereka alami, namun dengan kemampuan komunikasi dagang yang mereka miliki akhirnya mereka bisa masuk, dan bahkan menjadi langganan mereka. Tidak membeli atau menggunakan produk saat itu, namun potensi tertarik dan memesan di waktu berikutnya sangat besar.
Tak heran, mereka selalu memberikan nomor ponsel atau kartu nama mereka, bila sewaktu-waktu ada yang berminat dan akan memesan barang dagangannya.
Namun karena sudah terbiasa berjualan ke luar daerah, dan selama ini aman-aman saja, mereka jadi lupa atau tidak lagi meminta surat pengantar dari daerah asalnya, dalam hal ini dari Rukun Tetangga, Rukun Warga atau dari desa masing-masing yang menerangkan keperluan mereka melakukan perjalanan jauh.
Bila ada surat pengantar dari daerah asal, mungkin bisa meminimalisasi potensi kejadian seperti yang menimpa kelima "akang-akang" dari Garut di daerah Muratara itu. Setidaknya, mereka harus mengantongi nomor kontak aparat pemerintahan, dalam hal ini desa asal agar bisa memberikan keterangan saat dibutuhkan melalui saluran telepon atau ponsel.
Yang jelas, kejadian yang terjadi di Musi Rawas Utara itu harus menjadi pelajaran bersama untuk saling memperbaiki sistem masing-masing, baik mereka yang beraktifitas sebagai pendatang atau pelintas, serta sistem kewaspadaan dan kearifan dari masyarakat dalam menghindari main hakim sendiri dalam menyikapi isu yang belum jelas kebenarannya.
Sinergi dan komunitas antara warga, pemerintahan daerah, kepolisian dan TNI di pelosok sangat menentukan hadirnya penyelesaian yang memberikan rasa keadilan bagi semua pihak. (berbagai sumber)
Kelima pria yang tengah berjualan keliling di wilayah Kabupaten Musi Rawas Utara atau Muratara, Sumatera Selatan dituding massa yang termakan hoaks isu penculikan anak, sehingga mobil berplat nomor Z (Priangan/Jabar Selatan) mengalami kerusakan.
Selain itu sejumlah barang, berupa jaket kulit jualan mereka juga raib dijarah massa yang tak terkendali. Namun semuanya berakhir damai dan ada solusi setelah difasilitasi oleh Polres Muratara, Koramil dan pemerintahan setempat.
Kelima pedagang itu Yusep, Dadang, Taufik, Asep Erwin dan Lucky Wanda. Mereka tidak bisa berbuat banyak menghadapi warga yang sudah termakan isu penculikan anak yang sebenarnya tidak ada sama sekali. Mereka sudah berusaha menerangkan bahwa mereka pedagang jaket yang biasa berkeliling lintas provinsi di Sumatera.
Kapolres Muratara AKBP Ferly menyebutkan, pihaknya telah memeriksa saksi, termasuk kelima pedagang jaket itu. Bahkan digelar rapat bersama muspika daerah itu, hasilnya tidak ditemukan percobaan tidak pidana kejahatan, khususnya penculikan anak.
Kasus itu pun berakhir damai. Kelimanya juga memilih tidak memperpanjang masalah, meski sudah dinyatakan tidak bersalah dan ada kerugian. Mereka bahkan mendapatkan uang pengganti yang dikumpulkan dari pemerintah desa dan kecamatan di lokasi kejadian itu.
Sebuah penyelesaian yang arif, dan musyawarah yang seharusnya dikembangkan dalam menyelesaikan masalah kesalahpahaman, tidak perlu selalu berlanjut ke ranah hukum.
Secara suka rela dan ikhlas, kelima pedagang jaket kulit dari Desa Sukawening dan Pangatikan Kabupaten Garut itu pun memilih berdamai. Jiwa dagang mereka yang kerap berkeliling ke setiap daerah, bertemu konsumen dan kenalan di persinggahan saat berdagang menjadi pertimbangan dan alasan mereka memilih untuk menyelesaikan masalah kesalahpahaman itu dengan kekeluargaan.
Pengalaman Berharga
Kejadian itu jelas menjadi pengalaman berharga bagi para pedagang lintas daerah atau provinsi saat menjual produknya. Pengalaman yang tak terbayangkan oleh mereka, dituding sebagai komplotan penculik anak.
Bukan sekali ini saja, dan sudah bertahun-tahun mereka berjualan keliling ke setiap daerah. Selama itu tak ada kejadian seperti itu.
Di mobil Daihatsu Grand Max warna putih mereka, memang banyak karung-karung bekas, namun itu menurut pengakuan mereka bekas karung jaket kulit, bukan untuk mengarungi anak.
Selama ini, para pedagang dari Jawa, dalam hal ini dari Jawa Barat memang banyak yang mengadu nasib berjualan keliling daerah dan pelosok, termasuk di Sumatera. Selain pedagang jaket kulit seperti dalam kasus di atas, juga ada pedagang "gorden" atau kain penutup kaca daun jendela.
Penjual jaket kulit dan aksesoris sejenisnya biasanya mereka berasal dari Kabupaten Garut sebagai daerah produsen produk kulit olahan. Bisa juga dari Kabupaten Sukabumi dan Bogor. Pedagang gorden, biasanya dari wilayah Ciparay dan Pacet Kabupaten Bandung. Mereka jagonya memproduksi dan berjualan gorden hingga ke luar daerah, termasuk ke Sumatera.
Ada juga penjual alat-alat pertanian seperti pacul, linggis, parang, golok dan lainnya. Pedagang jenis ini kebanyakan dari wilayah Sukabumi dan Pantura, Cirebon dan beberapa sentra perkakas serta pandai besi di sana.
Mereka mencari pasar ke luar dari daerahnya dengan cara mendatangi konsumen. Tentunya dengan harga yang disesuaikan dengan harga di daerah asal mereka.
Kelompok pedagang keliling antar daerah ini biasanya mereka berangkat berombongan antara empat hingga enam orang. Tak hanya satu mobil mereka berangkat, namun rombongan mereka bisa dua hingga tiga mobil berangkat dari kampungnya.
Kendaraannya bisa milik salah satu pedagang, ada juga yang menyewa harian alias merental. Mereka bayar biaya sewa rental setelah pulang dari berjualan di luar daerah yang bisa sampai empat hingga lima pekan. Mereka sudah terbiasa berangkat lama keliling daerah, dan sudah menjadi salah satu 'profesi' yang bagi mereka cukup keren karena berjualan hingga Sumatera.
Bila tiba di salah satu kabupaten di Sumatera, seperti di Lampung, Sumsel, Bengkulu atau Jambi. Mereka biasanya memiliki tempat berkumpul, di tempat kerabat atau pedagang sejenis yang telah bermukim di daerah itu.
Mereka menyebar, ada yang menggunakan mobil, ada juga yang menggunakan sepeda motor atau juga dengan cara berjalan kaki menyusuri pemukiman warga. Seperti pedagang keliling, mereka biasa membawa tas ukuran besar berisi produk mereka, dan sebagian ditenteng sebagai contoh barang yang mereka jual.
Biasanya para pedagang itu sudah memiliki jalur atau rute jualan mereka sehingga tak jarang mereka mendapat pelanggan tetap. Bahkan menjadi tempat persinggahan mereka di waktu-waktu berikutnya saat berdagang ke daerah itu.
Mereka juga memiliki kemampuan berkomunikasi yang khas, selain menawarkan produk, mereka menyelingi dengan guyonan-guyonan khas warga Jawa Barat, yang mudah akrab saat bertemu mitra atau orang baru di tempat perantauannya.
Meski demikian, sebagai orang asing yang masuk ke kampung orang tentu kerap dicurigai oleh warga. Hal itu hal wajar dan mereka alami, namun dengan kemampuan komunikasi dagang yang mereka miliki akhirnya mereka bisa masuk, dan bahkan menjadi langganan mereka. Tidak membeli atau menggunakan produk saat itu, namun potensi tertarik dan memesan di waktu berikutnya sangat besar.
Tak heran, mereka selalu memberikan nomor ponsel atau kartu nama mereka, bila sewaktu-waktu ada yang berminat dan akan memesan barang dagangannya.
Namun karena sudah terbiasa berjualan ke luar daerah, dan selama ini aman-aman saja, mereka jadi lupa atau tidak lagi meminta surat pengantar dari daerah asalnya, dalam hal ini dari Rukun Tetangga, Rukun Warga atau dari desa masing-masing yang menerangkan keperluan mereka melakukan perjalanan jauh.
Bila ada surat pengantar dari daerah asal, mungkin bisa meminimalisasi potensi kejadian seperti yang menimpa kelima "akang-akang" dari Garut di daerah Muratara itu. Setidaknya, mereka harus mengantongi nomor kontak aparat pemerintahan, dalam hal ini desa asal agar bisa memberikan keterangan saat dibutuhkan melalui saluran telepon atau ponsel.
Yang jelas, kejadian yang terjadi di Musi Rawas Utara itu harus menjadi pelajaran bersama untuk saling memperbaiki sistem masing-masing, baik mereka yang beraktifitas sebagai pendatang atau pelintas, serta sistem kewaspadaan dan kearifan dari masyarakat dalam menghindari main hakim sendiri dalam menyikapi isu yang belum jelas kebenarannya.
Sinergi dan komunitas antara warga, pemerintahan daerah, kepolisian dan TNI di pelosok sangat menentukan hadirnya penyelesaian yang memberikan rasa keadilan bagi semua pihak. (berbagai sumber)