Sumatera Selatan (ANTARA) - Wakil Bupati Kabupaten Ogan Ilir dan anggota DPRD Provinsi Sumatera Selatan (Sumsel) menjadi saksi dalam sidang kasus dugaan korupsi dana hibah pembangunan Masjid Raya Sriwijaya di Pengadilan Negeri Palembang, pada Senin.
Wakil bupati Ogan Ilir Ardani dan anggota DPRD Sumsel M Firman Ridho, Ramadhan S. Basyeban dihadirkan sebagai saksi oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Tinggi Sumsel untuk dimintai keterangan terkait proses penganggaran dana hibah pembangunan Masjid Raya Sriwijaya Palembang oleh empat orang terdakwa yang disidang dalam kasus tersebut.
Di mana keempat terdakwa itu adalah Akhmad Najib mantan Asisten I Bidang Pemerintahan dan Kesejahteraan Rakyat Setda Pemprov Sumsel, Laonma PL Tobing mantan kepala BPKAD Sumsel.
Baca juga: Berkas tersangka Alex Noerdin perkara Masjid Sriwijaya belum lengkap
Kemudian terdakwa Agustinus Antoni mantan Kepala Bidang Anggaran BPKAD Sumsel dan Loka Sangganegara selaku kontraktor pembangunan Masjid Raya Sriwijaya.
Diketahui selain Ardani dan M Firman Ridho, Ramadhan S. Basyeban, JPU Kejaksaan Tinggi Sumsel juga menghadirkan tujuh saksi lain dalam sidang yang dipimpin Majelis Hakim Sahlan Effendi tersebut.
Masing-masing Kepala Biro Pemberdayaan Masyarakat Kabupaten Musi Banyuasin Richard Cahyadi, Ketua umum Yayasan Wakaf Masjid Sriwijaya Palembang Zainal Berlian, Staf Perkim Prov Sumsel Edi Garibaldi, Staf Keuangan pada proyek Masjid Sriwijaya Edo Chandra, PNS Dinas Perkim Sumsel Dr KM Aminuddin, Pensiunan BUMN PT Indah Karya Teguh Raharjo dan akademisi Marwah M Diah yang hadir secara daring.
Baca juga: Dua terdakwa korupsi dana hibah Masjid Sriwijaya Palembang divonis 12 tahun penjara
Di mana, hingga berita ini diterbitkan proses persidangan yang masih berlangsung, Majelis Hakim secara bergantian memintai keterangan dari para saksi tersebut.
Sementara itu berdasarkan pada berkas dakwaan JPU Kejati Sumsel dalam kasus tersebut terdakwa Akhmad Najib, Laonma PL Tobing dan Agustinus Antoni yang berkapasitas juga merupakan tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) Provinsi Sumsel diduga telah melakukan perbuatan, menyuruh melakukan atau turut serta melakukan beberapa perbuatan yang harus dipandang sebagai perbuatan berlanjut secara melawan hukum untuk memperkaya diri sendiri, orang lain atau suatu korporasi.
Melakukan pencairan dana hibah tanpa adanya proposal dan selanjutnya melakukan penandatanganan Nota Perjanjian Hibah Daerah (NPHD) dua termin pada 26 November 2015 dan 17 Februari 2017.
Baca juga: Jaksa minta Jimly Asshiddiqie hadiri sidang kasus Masjid Sriwijaya
Kemudian, untuk terdakwa Loka Sangganegara selaku kontraktor pembangunan diduga membuat laporan hasil pekerjaan manajemen konstruksi yang tidak sesuai dengan progres pekerjaan sehingga mengakibatkan pembayaran pekerjaan pembangunan Masjid Sriwijaya yang dananya bersumber dari APBD itu tidak dapat dipertanggungjawabkan kebenaran formil dan materiil oleh pihak Yayasan Wakaf Masjid Sriwijaya Palembang kepada Pemerintah Provinsi Sumsel.
Loka Sangganegara diduga melanggar ketentuan etika dan prinsip-prinsip Pengadaan Pasal 5 jo Pasal 6 jo Pasal 87 ayat (1) jo Pasal 89 ayat (4) Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 jo Peraturan Presiden Nomor 70 tahun 2012 tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi.
Di mana, para terdakwa itu diduga telah memperkaya Eddy Hermanto sebesar Rp684.419.750, Syarifudin MF sebesar Rp1.039.274.840, Dwi Kridayani sebesar Rp2.500.000.000, Yudi Arminto sebesar Rp22.446.427.564, Alex Noerdin sebesar Rp4.843.000.000, dan PT Brantas Abipraya (Persero) sebesar Rp81.824.397.017.
Dari dugaan tersebut merugikan keuangan negara atau perekonomian negara senilai Rp116 miliar dari total Rp130 miliar dana hibah pembangunan Masjid Raya Sriwijaya yang berasal dari APBD Sumsel tahun 2015 dan 2017 berdasarkan perhitungan yang dikeluarkan oleh Universitas Tadulako Provinsi Sulawesi Tengah.
Akibat dugaan perbuatan tersebut para terdakwa itu dikenakan pasal 2 ayat (1) Undang-undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 juncto pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP juncto pasal 64 ayat (1) KUHP.
Wakil bupati Ogan Ilir Ardani dan anggota DPRD Sumsel M Firman Ridho, Ramadhan S. Basyeban dihadirkan sebagai saksi oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Tinggi Sumsel untuk dimintai keterangan terkait proses penganggaran dana hibah pembangunan Masjid Raya Sriwijaya Palembang oleh empat orang terdakwa yang disidang dalam kasus tersebut.
Di mana keempat terdakwa itu adalah Akhmad Najib mantan Asisten I Bidang Pemerintahan dan Kesejahteraan Rakyat Setda Pemprov Sumsel, Laonma PL Tobing mantan kepala BPKAD Sumsel.
Baca juga: Berkas tersangka Alex Noerdin perkara Masjid Sriwijaya belum lengkap
Kemudian terdakwa Agustinus Antoni mantan Kepala Bidang Anggaran BPKAD Sumsel dan Loka Sangganegara selaku kontraktor pembangunan Masjid Raya Sriwijaya.
Diketahui selain Ardani dan M Firman Ridho, Ramadhan S. Basyeban, JPU Kejaksaan Tinggi Sumsel juga menghadirkan tujuh saksi lain dalam sidang yang dipimpin Majelis Hakim Sahlan Effendi tersebut.
Masing-masing Kepala Biro Pemberdayaan Masyarakat Kabupaten Musi Banyuasin Richard Cahyadi, Ketua umum Yayasan Wakaf Masjid Sriwijaya Palembang Zainal Berlian, Staf Perkim Prov Sumsel Edi Garibaldi, Staf Keuangan pada proyek Masjid Sriwijaya Edo Chandra, PNS Dinas Perkim Sumsel Dr KM Aminuddin, Pensiunan BUMN PT Indah Karya Teguh Raharjo dan akademisi Marwah M Diah yang hadir secara daring.
Baca juga: Dua terdakwa korupsi dana hibah Masjid Sriwijaya Palembang divonis 12 tahun penjara
Di mana, hingga berita ini diterbitkan proses persidangan yang masih berlangsung, Majelis Hakim secara bergantian memintai keterangan dari para saksi tersebut.
Sementara itu berdasarkan pada berkas dakwaan JPU Kejati Sumsel dalam kasus tersebut terdakwa Akhmad Najib, Laonma PL Tobing dan Agustinus Antoni yang berkapasitas juga merupakan tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) Provinsi Sumsel diduga telah melakukan perbuatan, menyuruh melakukan atau turut serta melakukan beberapa perbuatan yang harus dipandang sebagai perbuatan berlanjut secara melawan hukum untuk memperkaya diri sendiri, orang lain atau suatu korporasi.
Melakukan pencairan dana hibah tanpa adanya proposal dan selanjutnya melakukan penandatanganan Nota Perjanjian Hibah Daerah (NPHD) dua termin pada 26 November 2015 dan 17 Februari 2017.
Baca juga: Jaksa minta Jimly Asshiddiqie hadiri sidang kasus Masjid Sriwijaya
Kemudian, untuk terdakwa Loka Sangganegara selaku kontraktor pembangunan diduga membuat laporan hasil pekerjaan manajemen konstruksi yang tidak sesuai dengan progres pekerjaan sehingga mengakibatkan pembayaran pekerjaan pembangunan Masjid Sriwijaya yang dananya bersumber dari APBD itu tidak dapat dipertanggungjawabkan kebenaran formil dan materiil oleh pihak Yayasan Wakaf Masjid Sriwijaya Palembang kepada Pemerintah Provinsi Sumsel.
Loka Sangganegara diduga melanggar ketentuan etika dan prinsip-prinsip Pengadaan Pasal 5 jo Pasal 6 jo Pasal 87 ayat (1) jo Pasal 89 ayat (4) Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 jo Peraturan Presiden Nomor 70 tahun 2012 tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi.
Di mana, para terdakwa itu diduga telah memperkaya Eddy Hermanto sebesar Rp684.419.750, Syarifudin MF sebesar Rp1.039.274.840, Dwi Kridayani sebesar Rp2.500.000.000, Yudi Arminto sebesar Rp22.446.427.564, Alex Noerdin sebesar Rp4.843.000.000, dan PT Brantas Abipraya (Persero) sebesar Rp81.824.397.017.
Dari dugaan tersebut merugikan keuangan negara atau perekonomian negara senilai Rp116 miliar dari total Rp130 miliar dana hibah pembangunan Masjid Raya Sriwijaya yang berasal dari APBD Sumsel tahun 2015 dan 2017 berdasarkan perhitungan yang dikeluarkan oleh Universitas Tadulako Provinsi Sulawesi Tengah.
Akibat dugaan perbuatan tersebut para terdakwa itu dikenakan pasal 2 ayat (1) Undang-undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 juncto pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP juncto pasal 64 ayat (1) KUHP.