Jakarta (ANTARA) - Mantan Ketua DPR Setya Novanto membantah tahu akan mendapat fee dari pemegang saham Blakgold Natural Resources (BNR) Johanes Budisutrisno Kotjo sebesar 6 juta dolar AS atau sekitar Rp80 miliar.
"Saya tidak tahu soal fee, bahkan baru tahu di sidang di sini, saya baru tahu bahwa beliau (Johannes Kotjo) mengatakan bahwa catatan fee itu untuk saya," kata Setya Novanto (Setnov) di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Senin.
Setnov dihadirkan jaksa penuntut umum (JPU) KPK sebagai saksi untuk terdakwa Direktur Utama PT PLN non-aktif Sofyan Basir yang didakwa memfasilitasi pertemuan antara anggota Komisi VII dari Partai Golkar DPR Eni Maulani Saragih, Sekretaris Jenderal Partai Golkar Idrus Marham dan pemilik saham Blackgold Natural Resources Limited (BNR Ltd) Johannes Budisutrisno Kotjo untuk mempercepat kesepakatan proyek Independent Power Producer (IPP) PLTU Mulut Tambang RIAU-1 dengan imbalan Rp4,75 miliar untuk Eni dan Idrus.
Dalam dakwaan Sofyan disebutkan bahwa Kotjo akan memberikan fee sebesar 2,5 persen atau 25 juta dolar AS dari total proyek 900 juta dolar AS bila ia dapat membantu perusahaan China Huadian Engineering Company Limited (CHEC,LTd) mendapatkan kesepakatan dalam proyek IPP PLTU MT RIAU-1.
Dari daftar yang ditemukan KPK, nama Setnov termasuk yang mendapatkan fee sebesar 24 persen dari 25 juta dolar AS yaitu 6 juta dolar AS.
"Saya tidak tahu proyeknya berapa karena Pak Kotjo tidak pernah menyampaikan ke saya karena saya sudah kena proses KTP-e, jadi ini saya juga sudah mulai menjauh," ungkap Setnov.
Sedangkan dalam dakwaan disebutkan ia memperkenalkan Kotjo dengan anak buahnya yaitu anggota Komisi VII DPR saat itu Eni Maulani Saragih agar membantu Kotjo dalam proyek PLTU itu dan akan memberikan fee dari bagian yang akan diperoleh Kotjo dari CHEC, yang kemudian disanggupi oleh Eni Saragih.
"Eni tidak menyampaikan soal RIAU-1 tapi hanya mengatakan 'akan saya tindak lanjuti dengan pak kotjo', lalu saya katakan ya silakan saja asal sesuai dengan prosedur dan bisa dipertanggungjawabkan, kalau saya menjanjikan fee ke Eni, dasarnya dari mana? Saya uang dari mana?" tambah Setnov.
Setnov mengaku bahwa ia bahkan sudah jarang berhubungan dengan Eni setelah ia tersangkut dalam perkara korupsi KTP elektronik.
Ia juga membantah menugaskan Eni sebagai petugas partai Golkar untuk mencari uang.
"Kalau waktu zaman saya itu, Bu Eni masih bagian dari Komisi VII yang membidangi energi dan kalau Bu Eni jadi petugas partai, partai itu tidak pernah menugaskan. Belum pernah ketua minta petugas partai untuk cari uang karena ada mekanismenya, tidak meminta kepada anggota DPR, itu yang saya tahu," tambah Setnov.
Ia hanya mengaku meminta agar Eni bekerja dengan baik selama berada di Komisi VII.
"Hal-hal berkaitan dengan komisi saya minta dikawal dengan profesional dan sesuai aturan yang berlaku tapi bukan berarti mengawal proyeknya karena saat itu saya belum tahu proyek apa, kedua kalau saya menjanjikan saham ke Bu Eni itu bagaimana bisa karena Black Gold itu sahamnya milik publik jadi tidak bisa saya mengambil saham itu kecuali ambil di publik lalu memberikan ke dia, jelas secara singkat saya tidak pernah menjanjikan saham itu," tegas Setnvo.
Dalam dakwaan, Setnov juga disebut pada 2016 bertemu dengan Sofyan Basir didampingi Direktur Pengadaan Strategis 2 PT PLN Supangkat Iwan Santoso bersama dengan Eni Maulani Saragih di rumah Setnov untuk membicarakan proyek di PLN.
"Memang pertemuan itu ada tapi pembicaraan tidak mendetail karena saat itu saya juga ada pengajuan. Saya pikir pembicaraan biasa saja, para dirut BUMN biasa menyampaikan ke kami sudah program di rumah karena kalau bertemu di kantor susah, jadi kadang-kadang ya ke rumah, saya terbuka saja kalau ada tamu," tambah Setnov.
Setnov adalah narapidana yang dijatuhi vonis 15 tahun penjara ditambah denda Rp500 juta subsider tiga bulan kurungan ditambah kewajiban pembayaran uang pengganti 7,3 juta dolar AS karena terbukti melakukan korupsi dalam pengadaan KTP elektronik tahun anggaran 2011-2013.
Terkait perkara ini, Eni Maulani Saragih pada 1 Maret 2019 lalu telah divonis 6 tahun penjara, Johanes Budisutrisno Kotjo diperberat hukumannya oleh Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta menjadi 4,5 tahun penjara, sedangkan mantan Menteri Sosial Idrus Marham menjadi 5 tahun penjara.
"Saya tidak tahu soal fee, bahkan baru tahu di sidang di sini, saya baru tahu bahwa beliau (Johannes Kotjo) mengatakan bahwa catatan fee itu untuk saya," kata Setya Novanto (Setnov) di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Senin.
Setnov dihadirkan jaksa penuntut umum (JPU) KPK sebagai saksi untuk terdakwa Direktur Utama PT PLN non-aktif Sofyan Basir yang didakwa memfasilitasi pertemuan antara anggota Komisi VII dari Partai Golkar DPR Eni Maulani Saragih, Sekretaris Jenderal Partai Golkar Idrus Marham dan pemilik saham Blackgold Natural Resources Limited (BNR Ltd) Johannes Budisutrisno Kotjo untuk mempercepat kesepakatan proyek Independent Power Producer (IPP) PLTU Mulut Tambang RIAU-1 dengan imbalan Rp4,75 miliar untuk Eni dan Idrus.
Dalam dakwaan Sofyan disebutkan bahwa Kotjo akan memberikan fee sebesar 2,5 persen atau 25 juta dolar AS dari total proyek 900 juta dolar AS bila ia dapat membantu perusahaan China Huadian Engineering Company Limited (CHEC,LTd) mendapatkan kesepakatan dalam proyek IPP PLTU MT RIAU-1.
Dari daftar yang ditemukan KPK, nama Setnov termasuk yang mendapatkan fee sebesar 24 persen dari 25 juta dolar AS yaitu 6 juta dolar AS.
"Saya tidak tahu proyeknya berapa karena Pak Kotjo tidak pernah menyampaikan ke saya karena saya sudah kena proses KTP-e, jadi ini saya juga sudah mulai menjauh," ungkap Setnov.
Sedangkan dalam dakwaan disebutkan ia memperkenalkan Kotjo dengan anak buahnya yaitu anggota Komisi VII DPR saat itu Eni Maulani Saragih agar membantu Kotjo dalam proyek PLTU itu dan akan memberikan fee dari bagian yang akan diperoleh Kotjo dari CHEC, yang kemudian disanggupi oleh Eni Saragih.
"Eni tidak menyampaikan soal RIAU-1 tapi hanya mengatakan 'akan saya tindak lanjuti dengan pak kotjo', lalu saya katakan ya silakan saja asal sesuai dengan prosedur dan bisa dipertanggungjawabkan, kalau saya menjanjikan fee ke Eni, dasarnya dari mana? Saya uang dari mana?" tambah Setnov.
Setnov mengaku bahwa ia bahkan sudah jarang berhubungan dengan Eni setelah ia tersangkut dalam perkara korupsi KTP elektronik.
Ia juga membantah menugaskan Eni sebagai petugas partai Golkar untuk mencari uang.
"Kalau waktu zaman saya itu, Bu Eni masih bagian dari Komisi VII yang membidangi energi dan kalau Bu Eni jadi petugas partai, partai itu tidak pernah menugaskan. Belum pernah ketua minta petugas partai untuk cari uang karena ada mekanismenya, tidak meminta kepada anggota DPR, itu yang saya tahu," tambah Setnov.
Ia hanya mengaku meminta agar Eni bekerja dengan baik selama berada di Komisi VII.
"Hal-hal berkaitan dengan komisi saya minta dikawal dengan profesional dan sesuai aturan yang berlaku tapi bukan berarti mengawal proyeknya karena saat itu saya belum tahu proyek apa, kedua kalau saya menjanjikan saham ke Bu Eni itu bagaimana bisa karena Black Gold itu sahamnya milik publik jadi tidak bisa saya mengambil saham itu kecuali ambil di publik lalu memberikan ke dia, jelas secara singkat saya tidak pernah menjanjikan saham itu," tegas Setnvo.
Dalam dakwaan, Setnov juga disebut pada 2016 bertemu dengan Sofyan Basir didampingi Direktur Pengadaan Strategis 2 PT PLN Supangkat Iwan Santoso bersama dengan Eni Maulani Saragih di rumah Setnov untuk membicarakan proyek di PLN.
"Memang pertemuan itu ada tapi pembicaraan tidak mendetail karena saat itu saya juga ada pengajuan. Saya pikir pembicaraan biasa saja, para dirut BUMN biasa menyampaikan ke kami sudah program di rumah karena kalau bertemu di kantor susah, jadi kadang-kadang ya ke rumah, saya terbuka saja kalau ada tamu," tambah Setnov.
Setnov adalah narapidana yang dijatuhi vonis 15 tahun penjara ditambah denda Rp500 juta subsider tiga bulan kurungan ditambah kewajiban pembayaran uang pengganti 7,3 juta dolar AS karena terbukti melakukan korupsi dalam pengadaan KTP elektronik tahun anggaran 2011-2013.
Terkait perkara ini, Eni Maulani Saragih pada 1 Maret 2019 lalu telah divonis 6 tahun penjara, Johanes Budisutrisno Kotjo diperberat hukumannya oleh Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta menjadi 4,5 tahun penjara, sedangkan mantan Menteri Sosial Idrus Marham menjadi 5 tahun penjara.