Kupang (ANTARA) - Nusa Tenggara Timur cukup terkenal dengan pesona wisatanya, baik itu pemandangan alam, budaya serta kelangkaan objek wisata yang dimiliki seperti binatang purba raksasa Komodo (varanus komodoensis) di Taman Nasional Komodo (TNK) maupun danau tri warna di puncak Gunung Kelimutu di Pulau Flores.
Akibat kehebatan budaya serta keindahan alam itu lah seakan membuat para wisatawan berlomba-lomba untuk berkunjung ke NTT guna melihat dari dekat apa yang menjadi kebanggaan rakyat di wilayah provinsi berbasis kepulauan ini.
Keberhasilan sektor pariwisata tidak terlepas dari beberapa unsur pendukung agar wisatawan merasa betah, puas dan memberi kenangan tersendiri sehingga akan berkunjung kembali.
Indonesia yang merupakan negara dengan destinasi tempat wisata yang banyak dan beragam dalam menciptakan kondisi dan kualitas pariwisata yang lebih baik maka diwujudkan dengan Sapta Pesona Wisata sebagai pedoman wisata Indonesia.
Tujuan diselenggarakan program Sapta Pesona Wisata oleh pemerintah guna meningkatkan kesadaran, rasa tanggung jawab seluruh lapisan masyarakat untuk mampu bertindak dan mewujudkan Sapta Pesona dalam kehidupan sehari-hari khususnya untuk mendukung kegiatan pariwisata di Indonesia.
Sapta Pesona Wisata dilambangkan dengan logo matahari yang bersinar sebanyak 7 buah sebagai cerminan unsur Keamanan, Ketertiban, Kebersihan, Kesejukan, Keindahan, Keramahan, dan Kenangan.
Yang menjadi pertanyaan sekarang, apakah masyarakat NTT yang bermukim di sekitar objek wisata, sudah mewujudkan ke-7 unsur Sapta Pesona itu dalam meningkatkan kualitas pariwisatanya? Tampaknya belum semua daerah menjabarkannya dengan benar dan baik.
Pemilik Operator Tour PT Flores Komodo Tours Oyan Kristian mengakui bahwa unsur-unsur yang terkandung dalam Sapta Pesona itu belum dijabarkan dengan baik, seperti dalam kasus pemalakan dan pungutan liar (pungli) kepada wisatawan yang mengunjungi objek-objek wisata di Kabupaten Sumba Barat Daya (SBD), Pulau Sumba, Nusa Tenggara Timur.
"Beberapa kali saya membawa tamu ke sejumlah destinasi di Sumba Barat Daya, kasusnya sama terus, banyak pungutan liar yang dilakukan warga setempat, dan ada pula wisatawan yang dipalak," kata Oyan Kristian.
Rupanya, praktik pungutan liar tersebut terjadi pada sejumlah destinasi di Sumba Barat Daya seperti Tanjung Mareha, Watu Malando, dan Pantai Mbawana. Praktik pungutan liar ini dilakukan dengan berbagai alasan seperti buku tamu untuk tiket masuk, parkiran, dan pemakaian toilet.
Selain itu, ketika wisatawan berdiri di samping kuda untuk berpose juga harus membayar di luar dari biaya ketika ingin menunggangi kuda. "Apakah ini bukan pemalakan namanya," kata Kristian.
"Anak-anak datang begitu saja berdiri di depan pintu toilet tanpa menginformasikan biaya penggunaan toilet tapi ketika selesai digunakan baru ditodong untuk bayar sekian," katanya.
Oyan Kristian menegaskan kelakuan warga pada di berbagai objek wisata setempat juga telah menimbulkan ketidaknyamanan bagi wisatawan untuk bertahan lebih lama di objek wisata tersebut.
"Ketika saya membawa para tamu tiba di Pantai Mbawana langsung dikerumuni warga setempat, anak-anak minta uang untuk beli permen, beli buku, dan yang dewasa menyodorkan souvenir terkesan memaksa tamu untuk membelinya," katanya.
Oyan Kristian menyayangkan praktik pungli dan pemalakan seperti ini masih marak terjadi di Sumba Barat Daya (SBD) yang menurutnya telah menghadirkan kesan buruk bagi setiap wisatawan yang berkunjung ke daerah itu.
Ketua Asosiasi Perjalanan Wisata Indonesia (Asita) NTT Abed Frans meminta Bupati Sumba Barat Daya (SBD) segera turun tangan mengatasi praktik pungutan liar (pungli) dan pemalakan yang dilakukan warganya kepada para wisatawan saat berkunjung ke berbagai objek wisata yang ada di SBD.
"Bupati SBD perlu segera turun tangan mengatasi praktik pungli dan pemalakan yang dilakukan warganya terhadap wisatawan saat berkunjung ke berbagai objek wisata yang ada di SBD. Citra buruk pariwisata ini harus segera dihentikan dan diberantas sampai ke akar-akarnya," katanya.
Praktik pungli ini juga dialaminya secara langsung maupun rekan-rekan operator tur anggota ASITA NTT yang melayani para wisatawan ketika berwisata di Sumba Barat Daya.
Menurut Abed Frans, destinasi wisata lainnya di Pulau Sumba memiliki manajemen yang cukup baik seperti di Kabupaten Sumba Timur, namun khusus di Sumba Barat Daya terkesan masih adanya proses pembiaran sehingga praktik pungli yang merusak citra pariwisata masih terus terjadi.
Pemerintah Kabupaten SBD terkesan seperti adem ayem saja, padahal kasus pungli dan pemalakan ini sudah lama berlangsung di Sumba Barat Daya.
Lalu apa reaksi pemerintahan setempat terkait dengan pungli tersebu? "Kami akan melibatkan semua pihak dan segera mempertemukan mereka untuk membicarakan bagaimana caranya dalam mengatasi praktik pungutan liar (pungli) yang marak terjadi pada objek-objek wisata di ujung barat daya Pulau Sumba ini," ujar Kadis Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten SBD Christofel Horo.
Christofel juga mengakui bahwa persoalan pungli pada objek-objek wisata di daerah itu masih marak terjadi dan selalu menghadirkan cerita yang miring bagi para wisatawan. "Ini (pungli) tidak hanya dirasakan wisatawan dari luar daerah, tapi warga lokal di sini juga terusik dengan kondisi ini," katanya.
Ini menjadi perhatian serius pemerintah daerah setempat sehingga upaya mereduksi praktik pungli ini perlu segera dilakukan. "Untuk itu pada pertemuan nanti, kami akan menentukan seperti apa penetrasi dari pemerintah daerah bersama berbagai pihak terkait untuk mengatasi pungli ini," katanya.
Persoalan pungli dan aksi pemalakan di sejumlah objek wisata di Sumba Barat Daya itu mendapat sorotan tajam dari para pelaku wisata yang sering dipungli saat membawa wisatawan ke daerah itu.
Atas dasar itu, pihaknya berharap, persoalan ini segera ditanggapi pemerintah daerah setempat karena jika dibiarkan akan memberikan citra buruk bagi pariwisata setempat sehingga menyulitkan promosi dalam meningkatkan kunjungan wisatawan.
Pemerintah melalui Kementerian Pariwisata menyadari betul tentang pentingnya pembangunan sektor pariwisata tersebut, sehingga menggagas lahirnya Sapta Pesona Wisata guna meningkatkan kesadaran, rasa tanggung jawab seluruh lapisan masyarakat untuk mampu bertindak dan mewujudkan Sapta Pesona dalam kehidupan sehari-hari, khususnya untuk mendukung kegiatan pariwisata di Indonesia.
Akibat kehebatan budaya serta keindahan alam itu lah seakan membuat para wisatawan berlomba-lomba untuk berkunjung ke NTT guna melihat dari dekat apa yang menjadi kebanggaan rakyat di wilayah provinsi berbasis kepulauan ini.
Keberhasilan sektor pariwisata tidak terlepas dari beberapa unsur pendukung agar wisatawan merasa betah, puas dan memberi kenangan tersendiri sehingga akan berkunjung kembali.
Indonesia yang merupakan negara dengan destinasi tempat wisata yang banyak dan beragam dalam menciptakan kondisi dan kualitas pariwisata yang lebih baik maka diwujudkan dengan Sapta Pesona Wisata sebagai pedoman wisata Indonesia.
Tujuan diselenggarakan program Sapta Pesona Wisata oleh pemerintah guna meningkatkan kesadaran, rasa tanggung jawab seluruh lapisan masyarakat untuk mampu bertindak dan mewujudkan Sapta Pesona dalam kehidupan sehari-hari khususnya untuk mendukung kegiatan pariwisata di Indonesia.
Sapta Pesona Wisata dilambangkan dengan logo matahari yang bersinar sebanyak 7 buah sebagai cerminan unsur Keamanan, Ketertiban, Kebersihan, Kesejukan, Keindahan, Keramahan, dan Kenangan.
Yang menjadi pertanyaan sekarang, apakah masyarakat NTT yang bermukim di sekitar objek wisata, sudah mewujudkan ke-7 unsur Sapta Pesona itu dalam meningkatkan kualitas pariwisatanya? Tampaknya belum semua daerah menjabarkannya dengan benar dan baik.
Pemilik Operator Tour PT Flores Komodo Tours Oyan Kristian mengakui bahwa unsur-unsur yang terkandung dalam Sapta Pesona itu belum dijabarkan dengan baik, seperti dalam kasus pemalakan dan pungutan liar (pungli) kepada wisatawan yang mengunjungi objek-objek wisata di Kabupaten Sumba Barat Daya (SBD), Pulau Sumba, Nusa Tenggara Timur.
"Beberapa kali saya membawa tamu ke sejumlah destinasi di Sumba Barat Daya, kasusnya sama terus, banyak pungutan liar yang dilakukan warga setempat, dan ada pula wisatawan yang dipalak," kata Oyan Kristian.
Rupanya, praktik pungutan liar tersebut terjadi pada sejumlah destinasi di Sumba Barat Daya seperti Tanjung Mareha, Watu Malando, dan Pantai Mbawana. Praktik pungutan liar ini dilakukan dengan berbagai alasan seperti buku tamu untuk tiket masuk, parkiran, dan pemakaian toilet.
Selain itu, ketika wisatawan berdiri di samping kuda untuk berpose juga harus membayar di luar dari biaya ketika ingin menunggangi kuda. "Apakah ini bukan pemalakan namanya," kata Kristian.
"Anak-anak datang begitu saja berdiri di depan pintu toilet tanpa menginformasikan biaya penggunaan toilet tapi ketika selesai digunakan baru ditodong untuk bayar sekian," katanya.
Oyan Kristian menegaskan kelakuan warga pada di berbagai objek wisata setempat juga telah menimbulkan ketidaknyamanan bagi wisatawan untuk bertahan lebih lama di objek wisata tersebut.
"Ketika saya membawa para tamu tiba di Pantai Mbawana langsung dikerumuni warga setempat, anak-anak minta uang untuk beli permen, beli buku, dan yang dewasa menyodorkan souvenir terkesan memaksa tamu untuk membelinya," katanya.
Oyan Kristian menyayangkan praktik pungli dan pemalakan seperti ini masih marak terjadi di Sumba Barat Daya (SBD) yang menurutnya telah menghadirkan kesan buruk bagi setiap wisatawan yang berkunjung ke daerah itu.
Ketua Asosiasi Perjalanan Wisata Indonesia (Asita) NTT Abed Frans meminta Bupati Sumba Barat Daya (SBD) segera turun tangan mengatasi praktik pungutan liar (pungli) dan pemalakan yang dilakukan warganya kepada para wisatawan saat berkunjung ke berbagai objek wisata yang ada di SBD.
"Bupati SBD perlu segera turun tangan mengatasi praktik pungli dan pemalakan yang dilakukan warganya terhadap wisatawan saat berkunjung ke berbagai objek wisata yang ada di SBD. Citra buruk pariwisata ini harus segera dihentikan dan diberantas sampai ke akar-akarnya," katanya.
Praktik pungli ini juga dialaminya secara langsung maupun rekan-rekan operator tur anggota ASITA NTT yang melayani para wisatawan ketika berwisata di Sumba Barat Daya.
Menurut Abed Frans, destinasi wisata lainnya di Pulau Sumba memiliki manajemen yang cukup baik seperti di Kabupaten Sumba Timur, namun khusus di Sumba Barat Daya terkesan masih adanya proses pembiaran sehingga praktik pungli yang merusak citra pariwisata masih terus terjadi.
Pemerintah Kabupaten SBD terkesan seperti adem ayem saja, padahal kasus pungli dan pemalakan ini sudah lama berlangsung di Sumba Barat Daya.
Lalu apa reaksi pemerintahan setempat terkait dengan pungli tersebu? "Kami akan melibatkan semua pihak dan segera mempertemukan mereka untuk membicarakan bagaimana caranya dalam mengatasi praktik pungutan liar (pungli) yang marak terjadi pada objek-objek wisata di ujung barat daya Pulau Sumba ini," ujar Kadis Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten SBD Christofel Horo.
Christofel juga mengakui bahwa persoalan pungli pada objek-objek wisata di daerah itu masih marak terjadi dan selalu menghadirkan cerita yang miring bagi para wisatawan. "Ini (pungli) tidak hanya dirasakan wisatawan dari luar daerah, tapi warga lokal di sini juga terusik dengan kondisi ini," katanya.
Ini menjadi perhatian serius pemerintah daerah setempat sehingga upaya mereduksi praktik pungli ini perlu segera dilakukan. "Untuk itu pada pertemuan nanti, kami akan menentukan seperti apa penetrasi dari pemerintah daerah bersama berbagai pihak terkait untuk mengatasi pungli ini," katanya.
Persoalan pungli dan aksi pemalakan di sejumlah objek wisata di Sumba Barat Daya itu mendapat sorotan tajam dari para pelaku wisata yang sering dipungli saat membawa wisatawan ke daerah itu.
Atas dasar itu, pihaknya berharap, persoalan ini segera ditanggapi pemerintah daerah setempat karena jika dibiarkan akan memberikan citra buruk bagi pariwisata setempat sehingga menyulitkan promosi dalam meningkatkan kunjungan wisatawan.
Pemerintah melalui Kementerian Pariwisata menyadari betul tentang pentingnya pembangunan sektor pariwisata tersebut, sehingga menggagas lahirnya Sapta Pesona Wisata guna meningkatkan kesadaran, rasa tanggung jawab seluruh lapisan masyarakat untuk mampu bertindak dan mewujudkan Sapta Pesona dalam kehidupan sehari-hari, khususnya untuk mendukung kegiatan pariwisata di Indonesia.