Palembang (ANTARA News Sumsel) - Tatapan wanita muda itu kosong dan hanya sesekali tersenyum terlihat di bibirnya, namun terkadang pula matanya berkaca-kaca.
Dari sekelumit gambaran wanita yang sedang memeluk putranya RM Syarih Hidayatullah (9 tahun) juga tampak tenang dan nyaman, karena Alif begitu bocah cilik itu dipanggil adalah penderita cacat kelainan pada ukuran otak yang menyebabkannya tidak mampu melakukan banyak hal.
"Waktu Alif dalam kandungan, saya demam tinggi dan ruam, tapi saya tidak pernah mengira akibatnya seperti ini," ungkap wanita yang bernama Desi Lismawati ini usai temu dan diskusi bersama terkait kampanye imunisasi Rubella di Palembang beberatpa waktu lalu.
Desi yang saat itu masih tinggal di Desa Lintang Kabupaten Empat Lawang, Sumatera Selatan, memang tidak memiliki pengetahuan apapun tentang rubella. Wanita tiga puluh tahun ini hanya tahu Alif putranya lahir dengan ukuran kepala tidak seperti biasanya.
"Saya mulai curiga dan sadar ada yang tidak beres saat umurnya hampir setahun," ucapnya lirih.
Saat memasuki usia sepuluh bulan Alif nyaris belum bisa merangkak apalagi berdiri. Tumbuh kembang Alif tidak sewajar anak-anak pada umumnya.
Fasilitas kesehatan di desa dan kabupaten yang kurang mendukung membawa Desi berangkat ke Kota Palembang untuk mengetahui kejanggalan pada anaknya.
Di Rumah Sakit Moehammad Husin (RSMH) Palembang serangkaian tes dilakukan pada Alif hingga akhirnya ia tahu kondisi yang dihadapi buah hatinya adalah buah dari demam dan ruam yang sempat ia rasakan saat hamil.
"Waktu itu dokter bilang bisa jadi dari itu dan jadilah saya hingga sekarang di sini untuk Alif," ujar dia.
Kondisi Alif ditambah dengan kepala yang kian mengecil (baca: microsephalus) pun memaksa ia dan suami pindah ke Kota Palembang. Sudah hampir delapan tahun ia menetap di Palembang. Suaminya pun saat ini telah bekerja sebagai staf di Palang Merah Indonesia (PMI) Palembang.
Saat ini ia bersyukur dengan adanya Jaminan Kesehatan Nasional melalui BPJS Kesehatan, sebab dulu ketika semuanya belum dijamin ia sempat bingung mencari biaya untuk terapi putranya.
Terapi demi terapi bagi Alif pun ia jalani hingga akhirnya mempertemukan ia dengan Forum Rumah Ramah Rubella. Dari sana ia tahu kalo ia bukan satu-satunya yang tertimpa malapetaka ini.
Ada pula ibu muda terpelajar Osa Triwindi di kehamilan anak kedua yang memasuki empat minggu terjangkit virus Rubella.
"Saya sudah tahu soal efek Rubella pada kandungan saya, tapi sejelek-jeleknya yang akan menimpa anak saya waktu itu saya merasa tidak baik bila memutuskan membuang kandungan saya," ujar wanita tiga puluh tahun ini.
Wanita yang berstatus sebagai sarjana ekonomi ini mengaku sempat melewati masa sedih dan galau saat kelahiran putera keduanya Abrar Ziljian Ahmad. Sekilas kala itu Abrar nampak seperti bayi sehat pada umumnya.
"Abrar lahir sehat tapi langsung dibawa dokter anak dan spesialis untuk dicek lebih lanjut mata, Jantung, THT, dan lainnya," kata wanita berkerudung ini.
Dari hasil pemeriksaan diketahui abrar terkena gangguan pendengaran dan mata yang mengharuskan ia menjalani serangkaian pemeriksaan dan terapi. Kini di usianya yang memasuki sepuluh bulan abrar harus menggunakan alat bantu dengar dan kacamata minus.
Measles Rubella terbukti memang sulit terdeteksi asalnya juga sulit untuk diprediksi. Hal ini terbukti dari dua kasus nyata sebelumnya. Satu kasus lainnya yang membuktikan sulitnya mengantisipasi penyakit yang rentan menyerang anak usia 9- 14 tahun dan berbahaya bagi ibu hamil ini adalah kasus dr Delphia.
Sebagai tenaga medis , dirinya yang merupakan dokter umum ini mengaku memang sempat berhadapan dengan pasien penderita Rubella saat praktek.
Dokter Delphiana sempat tertular demam dan ruam, namun yang cukup mengguncang jiwanya kala itu adalah kondisinya yang ternyata tengah hamil muda.
Sama halnya dengan kasus Osa, Delphiana memutuskan bertahan dengan janin yang terancam cacat bawaan. Puteranya lahir dalam kondisi cacat pendengaran dan mata. Beririn waktu dua bulan lalu ia juga mendapati putera keduanya juga terkena leukimia.
Ketiga kasus di atas menunjukkan seberapa beratnya bahaya Rubella mengintai calon generasi penerus bangsa lewat ibu hamil yang tertular Rubella.
Dalam penjelasannya di forum perangi Rubella Salah satu dokter anggota Kelompok Kerja Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI) , dokter Halimah dari Rumah Sakit Umum Daerah Baru Palembang mengungkapkan fakta yang terjadi bahwa Rubella menyerang anak dalam rentan usia 9 bulan - 15 tahun.
Dampak yang cukup serius adalah virus ini bisa menyebar ke lingkungan , menyerang ibu hamil dan berimbas pada janin yang dikandungnya.
"Akibat ke janin sangat berat mulai dari lahir cacat, keguguran, hingga kematian," papar dia.
Kecacatan atau Kelainan yang dialami janin yang terinfeksi virus Rubella dapat menyebabkan keguguran atau kecacatan pada bayi yang dilahirkan.
Kecacatan tersebut dikenal sebagai Sindroma Rubella Kongenital antara lain adalah kurangnya fungsi pendengaran, cacat penglihatan (mata katarak), serta rendahnya fungsi vital seperti kelainan jantung, dan keterlambatan perkembangan, serta rusaknya jaringan otak.
Ia memaparkan angka kejadian di Indonesia saat ini cukup tinggi dalam dua tahun terakhir. Terbukti pada catatan kementerian kesehatan secara nasional menunjukkan 8.516 kasus Rubella pada 2016 dan 6.318 pada 2017. Sementara hingga beberapa bulan terakhir di tahun 2018 tercatat telah mencapai 740 kasus
"Angka kejadian ini cukup tinggi di Indonesia maka kementerian kesehatan menggalakkan pemberian vaksin dengan pertimbangan dan prioritas bagi anak-anak dalam rentang usia tersebut" kata dia.
Petugas menyuntikkan vaksin Campak dan Measles Rubella (MR) pada salah satu siswa di lingkungan Sekolah Dasar Negeri (SDN) 109 Sako Palembang, Rabu (1/8). (ANTARA News Sumsel/Feny Selly/Ang/18)
Perangi rubella
Dokter Halimah juga memaparkan salah satu jalan keluar yang dicetuskan pemerintah lewat Kementerian kesehatan adalah imunitas berbasis komunitas atau dikenal juga dengan ‘herd immunity atau community immunity.
Menurut dia satu-satunya jalan mencegah serangan virus rubella hanya dengan imunisasi Measles Rubella (MR).
Pemberian vaksin berbasis komunitas ini dianggap sangat efektif terutama bila pemberian vaksin mencapai 95 persen. Dengan sasaran utama imunisasi adalah anak-anak. Ketika anak-anak punya kekebalan tubuh dari imunisasi, akhirnya rubella bisa hilang.
Perlindungan terhadap komunitas ini menurut Halimah juga melindungi mereka yang memiliki imunitas rendah seperti pasien gagal ginjal dan penderita imunitas rendah, serta penderita glikemiknya yang rentan terpapar virus. Proteksi komunitas yang tinggi dimungkinkan virus rubella bisa hilang.
"Dengan begitu perlindungan bagi komunitas bisa efektif dan bisa memutus rantai penyebaran virus," yakin dia.
Dengan upaya di atas maka pemerintah melalui Kementerian Kesehatan dan Dinas Kesehatan daerah sebagai perpanjangan tangan menargetkan pemberian virus pada kelompok usia 9 bulan -15 tahun pada Agustus dan September 2018 ini.
Data yang dihimpun Antara dari berbagai sumber berita mencatat target kementerian Pusat tahun ini yang merupakan pemberian vaksin tahap kedua adalah 31.963.154 juta di 28 provinsi di luar Jawa.
Sementara tahun 2017 program ini sudah dilaksanakan di 6 provinsi di Jawa yaitu Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, DKI jakarta, Banten, DIY dengan jumlah penerima vaksin mencapai 34.964.384 anak.
Provinsi Sumatera Selatan menargetkan pemberian vaksin kepada 2.239.582 anak di 17 kabupaten dan kota di provinsi ini. Kota Palembang sebagai populasi tertinggi menargetkan pemberian vaksin kepada 400.000 anak.
Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Selatan Lesty Nuraini di kesempatan yang sama memaparkan bahwa pihaknya turut melakukan pendekatan kepada kepala dinas dan kepala daerah perihal vaksin MR ini
"Khusus kepala daerah kami lebih intens karena mereka butuh penjelasan lebih detil tentang program ini," papar dia.
Ia berharap lewat kegiatan forum kajian jurnalis kesehatan gerakan vaksin MR ini dapat dan sebaiknya diviralkan mengingat dampak yang cukup berat agar bisa dihindari.
Ia juga menjelaskan rencana tindak lanjut di Sumsel, beberapa dinas kabupaten dan kota sudah menyatakan siap mengejar target pemberian vaksin ini.
Dengan terbitnya fatwa Majelis Ulama Indonesia pusat tentang diperbolehkannya vaksin MR karena sifatnya yang darurat maka sinergitas antara MUI dan Kementerian kesehatan pun dimulai.
Lesty juga menambahkan pihaknya selaku Dinas Kesehatan Provinsi sebelum terbitnya fatwa MUI sempat mengerem pemberian vaksin.
Di Palembang pemberian vaksin sempat mengalami penundaan karena adanya penolakan dari sejumlah sekolah.
"Meski demikian kami tetap melayani permintaan vaksin di beberapa sekolah lain terutama yang non muslim," ungkap kepala dinas kesehatan Kota Palembang Letizia.
Tidak hanya di Palembang di sejumlah kabupaten dan Kota lain juga sempat menghadapi penolakan terkait kandungan haram dalam vaksin.
"Untuk mengejar jumlah penerima vaksin kami berjalan berdampingan dengan MUI Sumsel untuk turun ke daerah mensosialisasikan fatwa MUI terkait vaksin ini," papar Lesty Nuraini.
Ketua MUI Sumsel Afflatul Muchtar yang turut hadir dalam forum diskusi tersebut juga menegaskan pentingnya pemberian vaksin ini.
"Dengan banyaknya korban maka situasi ini bersifat dhoruroh atau darurat maka secara tegas diperbolehkan pemberian vaksin selama belum ada pengganti yang halal," tegas dia.
Dukungan penuh MUI terutama MUI Sumsel juga ditunjukkan lewat bantuan sosialisasi ke Kabupaten dan Kota.
"MUI akan membuat surat ke kabupaten dan kota untuk merealisasikan sosiali vaksin MR," ujar dia.
Surat tersebut berisi pernyataan MUI yang mengimbau kabupaten dan kota untuk sosialisasi bersama dinas kesehatan ke sekolah maupun majelis taklim.
"Kami juga menyarankan dewan masjid dan katan Dai Indonesia untuk terlibat dalam sosialisasi ini," katanya.
Dari sekelumit gambaran wanita yang sedang memeluk putranya RM Syarih Hidayatullah (9 tahun) juga tampak tenang dan nyaman, karena Alif begitu bocah cilik itu dipanggil adalah penderita cacat kelainan pada ukuran otak yang menyebabkannya tidak mampu melakukan banyak hal.
"Waktu Alif dalam kandungan, saya demam tinggi dan ruam, tapi saya tidak pernah mengira akibatnya seperti ini," ungkap wanita yang bernama Desi Lismawati ini usai temu dan diskusi bersama terkait kampanye imunisasi Rubella di Palembang beberatpa waktu lalu.
Desi yang saat itu masih tinggal di Desa Lintang Kabupaten Empat Lawang, Sumatera Selatan, memang tidak memiliki pengetahuan apapun tentang rubella. Wanita tiga puluh tahun ini hanya tahu Alif putranya lahir dengan ukuran kepala tidak seperti biasanya.
"Saya mulai curiga dan sadar ada yang tidak beres saat umurnya hampir setahun," ucapnya lirih.
Saat memasuki usia sepuluh bulan Alif nyaris belum bisa merangkak apalagi berdiri. Tumbuh kembang Alif tidak sewajar anak-anak pada umumnya.
Fasilitas kesehatan di desa dan kabupaten yang kurang mendukung membawa Desi berangkat ke Kota Palembang untuk mengetahui kejanggalan pada anaknya.
Di Rumah Sakit Moehammad Husin (RSMH) Palembang serangkaian tes dilakukan pada Alif hingga akhirnya ia tahu kondisi yang dihadapi buah hatinya adalah buah dari demam dan ruam yang sempat ia rasakan saat hamil.
"Waktu itu dokter bilang bisa jadi dari itu dan jadilah saya hingga sekarang di sini untuk Alif," ujar dia.
Kondisi Alif ditambah dengan kepala yang kian mengecil (baca: microsephalus) pun memaksa ia dan suami pindah ke Kota Palembang. Sudah hampir delapan tahun ia menetap di Palembang. Suaminya pun saat ini telah bekerja sebagai staf di Palang Merah Indonesia (PMI) Palembang.
Saat ini ia bersyukur dengan adanya Jaminan Kesehatan Nasional melalui BPJS Kesehatan, sebab dulu ketika semuanya belum dijamin ia sempat bingung mencari biaya untuk terapi putranya.
Terapi demi terapi bagi Alif pun ia jalani hingga akhirnya mempertemukan ia dengan Forum Rumah Ramah Rubella. Dari sana ia tahu kalo ia bukan satu-satunya yang tertimpa malapetaka ini.
Ada pula ibu muda terpelajar Osa Triwindi di kehamilan anak kedua yang memasuki empat minggu terjangkit virus Rubella.
"Saya sudah tahu soal efek Rubella pada kandungan saya, tapi sejelek-jeleknya yang akan menimpa anak saya waktu itu saya merasa tidak baik bila memutuskan membuang kandungan saya," ujar wanita tiga puluh tahun ini.
Wanita yang berstatus sebagai sarjana ekonomi ini mengaku sempat melewati masa sedih dan galau saat kelahiran putera keduanya Abrar Ziljian Ahmad. Sekilas kala itu Abrar nampak seperti bayi sehat pada umumnya.
"Abrar lahir sehat tapi langsung dibawa dokter anak dan spesialis untuk dicek lebih lanjut mata, Jantung, THT, dan lainnya," kata wanita berkerudung ini.
Dari hasil pemeriksaan diketahui abrar terkena gangguan pendengaran dan mata yang mengharuskan ia menjalani serangkaian pemeriksaan dan terapi. Kini di usianya yang memasuki sepuluh bulan abrar harus menggunakan alat bantu dengar dan kacamata minus.
Measles Rubella terbukti memang sulit terdeteksi asalnya juga sulit untuk diprediksi. Hal ini terbukti dari dua kasus nyata sebelumnya. Satu kasus lainnya yang membuktikan sulitnya mengantisipasi penyakit yang rentan menyerang anak usia 9- 14 tahun dan berbahaya bagi ibu hamil ini adalah kasus dr Delphia.
Sebagai tenaga medis , dirinya yang merupakan dokter umum ini mengaku memang sempat berhadapan dengan pasien penderita Rubella saat praktek.
Dokter Delphiana sempat tertular demam dan ruam, namun yang cukup mengguncang jiwanya kala itu adalah kondisinya yang ternyata tengah hamil muda.
Sama halnya dengan kasus Osa, Delphiana memutuskan bertahan dengan janin yang terancam cacat bawaan. Puteranya lahir dalam kondisi cacat pendengaran dan mata. Beririn waktu dua bulan lalu ia juga mendapati putera keduanya juga terkena leukimia.
Ketiga kasus di atas menunjukkan seberapa beratnya bahaya Rubella mengintai calon generasi penerus bangsa lewat ibu hamil yang tertular Rubella.
Dalam penjelasannya di forum perangi Rubella Salah satu dokter anggota Kelompok Kerja Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI) , dokter Halimah dari Rumah Sakit Umum Daerah Baru Palembang mengungkapkan fakta yang terjadi bahwa Rubella menyerang anak dalam rentan usia 9 bulan - 15 tahun.
Dampak yang cukup serius adalah virus ini bisa menyebar ke lingkungan , menyerang ibu hamil dan berimbas pada janin yang dikandungnya.
"Akibat ke janin sangat berat mulai dari lahir cacat, keguguran, hingga kematian," papar dia.
Kecacatan atau Kelainan yang dialami janin yang terinfeksi virus Rubella dapat menyebabkan keguguran atau kecacatan pada bayi yang dilahirkan.
Kecacatan tersebut dikenal sebagai Sindroma Rubella Kongenital antara lain adalah kurangnya fungsi pendengaran, cacat penglihatan (mata katarak), serta rendahnya fungsi vital seperti kelainan jantung, dan keterlambatan perkembangan, serta rusaknya jaringan otak.
Ia memaparkan angka kejadian di Indonesia saat ini cukup tinggi dalam dua tahun terakhir. Terbukti pada catatan kementerian kesehatan secara nasional menunjukkan 8.516 kasus Rubella pada 2016 dan 6.318 pada 2017. Sementara hingga beberapa bulan terakhir di tahun 2018 tercatat telah mencapai 740 kasus
"Angka kejadian ini cukup tinggi di Indonesia maka kementerian kesehatan menggalakkan pemberian vaksin dengan pertimbangan dan prioritas bagi anak-anak dalam rentang usia tersebut" kata dia.
Perangi rubella
Dokter Halimah juga memaparkan salah satu jalan keluar yang dicetuskan pemerintah lewat Kementerian kesehatan adalah imunitas berbasis komunitas atau dikenal juga dengan ‘herd immunity atau community immunity.
Menurut dia satu-satunya jalan mencegah serangan virus rubella hanya dengan imunisasi Measles Rubella (MR).
Pemberian vaksin berbasis komunitas ini dianggap sangat efektif terutama bila pemberian vaksin mencapai 95 persen. Dengan sasaran utama imunisasi adalah anak-anak. Ketika anak-anak punya kekebalan tubuh dari imunisasi, akhirnya rubella bisa hilang.
Perlindungan terhadap komunitas ini menurut Halimah juga melindungi mereka yang memiliki imunitas rendah seperti pasien gagal ginjal dan penderita imunitas rendah, serta penderita glikemiknya yang rentan terpapar virus. Proteksi komunitas yang tinggi dimungkinkan virus rubella bisa hilang.
"Dengan begitu perlindungan bagi komunitas bisa efektif dan bisa memutus rantai penyebaran virus," yakin dia.
Dengan upaya di atas maka pemerintah melalui Kementerian Kesehatan dan Dinas Kesehatan daerah sebagai perpanjangan tangan menargetkan pemberian virus pada kelompok usia 9 bulan -15 tahun pada Agustus dan September 2018 ini.
Data yang dihimpun Antara dari berbagai sumber berita mencatat target kementerian Pusat tahun ini yang merupakan pemberian vaksin tahap kedua adalah 31.963.154 juta di 28 provinsi di luar Jawa.
Sementara tahun 2017 program ini sudah dilaksanakan di 6 provinsi di Jawa yaitu Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, DKI jakarta, Banten, DIY dengan jumlah penerima vaksin mencapai 34.964.384 anak.
Provinsi Sumatera Selatan menargetkan pemberian vaksin kepada 2.239.582 anak di 17 kabupaten dan kota di provinsi ini. Kota Palembang sebagai populasi tertinggi menargetkan pemberian vaksin kepada 400.000 anak.
Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Selatan Lesty Nuraini di kesempatan yang sama memaparkan bahwa pihaknya turut melakukan pendekatan kepada kepala dinas dan kepala daerah perihal vaksin MR ini
"Khusus kepala daerah kami lebih intens karena mereka butuh penjelasan lebih detil tentang program ini," papar dia.
Ia berharap lewat kegiatan forum kajian jurnalis kesehatan gerakan vaksin MR ini dapat dan sebaiknya diviralkan mengingat dampak yang cukup berat agar bisa dihindari.
Ia juga menjelaskan rencana tindak lanjut di Sumsel, beberapa dinas kabupaten dan kota sudah menyatakan siap mengejar target pemberian vaksin ini.
Dengan terbitnya fatwa Majelis Ulama Indonesia pusat tentang diperbolehkannya vaksin MR karena sifatnya yang darurat maka sinergitas antara MUI dan Kementerian kesehatan pun dimulai.
Lesty juga menambahkan pihaknya selaku Dinas Kesehatan Provinsi sebelum terbitnya fatwa MUI sempat mengerem pemberian vaksin.
Di Palembang pemberian vaksin sempat mengalami penundaan karena adanya penolakan dari sejumlah sekolah.
"Meski demikian kami tetap melayani permintaan vaksin di beberapa sekolah lain terutama yang non muslim," ungkap kepala dinas kesehatan Kota Palembang Letizia.
Tidak hanya di Palembang di sejumlah kabupaten dan Kota lain juga sempat menghadapi penolakan terkait kandungan haram dalam vaksin.
"Untuk mengejar jumlah penerima vaksin kami berjalan berdampingan dengan MUI Sumsel untuk turun ke daerah mensosialisasikan fatwa MUI terkait vaksin ini," papar Lesty Nuraini.
Ketua MUI Sumsel Afflatul Muchtar yang turut hadir dalam forum diskusi tersebut juga menegaskan pentingnya pemberian vaksin ini.
"Dengan banyaknya korban maka situasi ini bersifat dhoruroh atau darurat maka secara tegas diperbolehkan pemberian vaksin selama belum ada pengganti yang halal," tegas dia.
Dukungan penuh MUI terutama MUI Sumsel juga ditunjukkan lewat bantuan sosialisasi ke Kabupaten dan Kota.
"MUI akan membuat surat ke kabupaten dan kota untuk merealisasikan sosiali vaksin MR," ujar dia.
Surat tersebut berisi pernyataan MUI yang mengimbau kabupaten dan kota untuk sosialisasi bersama dinas kesehatan ke sekolah maupun majelis taklim.
"Kami juga menyarankan dewan masjid dan katan Dai Indonesia untuk terlibat dalam sosialisasi ini," katanya.