Bima, Nusa Tenggara Barat (ANTARA) - Di langit biru yang bersih dari awan, matahari bersinar terik menumpahkan panas ke bumi Sanggar, sebuah kecamatan di lereng utara Gunung Tambora, Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat.
Di tengah deburan suara ombak, angin pantai, dan aroma hutan kering tampak 25 orang memenuhi kantor Resort Piong di Balai Taman Nasional Tambora. Itu adalah awal perjalanan menuju puncak tertinggi di Pulau Sumbawa, mahkota megah yang menciptakan letusan paling dahsyat dalam catatan sejarah modern peradaban manusia pada 1815.
Jejak pertama menuju puncak Gunung Tambora bukan dimulai dari kaki yang melangkah, tetapi dari mata yang mengamati dan hati yang menyelami.
Di Desa Piong, anggota DPR RI Komisi IV Johan Rosihan mengawali kunjungannya dengan mengamati satu hal yang sering luput dari perhatian berupa denyut kerja di balik sebuah kantor resort kecil.
Bangunan itu sederhana. Kantor Resort Piong berdiri di sela-sela pemukiman warga, nyaris tak terlihat oleh tamu yang lewat. Plang resort hampir tertutup oleh beberapa bangunan dan letaknya tak strategis. Di mata Johan, kantor itu justru menyimpan sesuatu yang lebih dari sekadar fungsi administrasi.
“Saya melihat bagaimana mereka bekerja dalam senyap, tanpa fasilitas yang memadai, tapi semangatnya luar biasa. Mereka menutup kekurangan dengan kebersamaan,” ucap legislator berusia 52 tahun saat berkunjung ke Desa Piong, awal Mei.
Johan sempat terdiam di halaman kantor, memandangi para petugas yang tampak sibuk. Beberapa orang menyiapkan logistik dan ada pula yang bertugas memeriksa kendaraan. Tak ada hiruk-pikuk birokrasi, hanya ada percakapan ringan dan koordinasi yang mengalir alami.
Menjelang pukul 14.00 WITA, rombongan mulai bersiap. Di halaman kantor, Kepala Resort Piong Yoga Ari Wibowo berdiri di hadapan pendaki. Wajahnya tenang dan penuh antusiasme.
Dia berkelakar tentang medan yang berat, namun itu sepadan dengan keindahan puncak Gunung Tambora yang menantikan kedatangan mereka.
Tiga unit kendaraan off-road menyala menciptakan suara khas mesin diesel yang memecah hening. Posisi depan ditempati mobil tua berwarna merah kusam yang merupakan armada milik Balai Taman Nasional Tambora.
Perjalanan dimulai dari Desa Piong menuju Desa Oi Saro, titik awal pendakian ke Gunung Tambora. Angin darat menerpa wajah, membawa aroma tanah kering dan dedaunan jatuh. Jalan aspal perlahan berubah menjadi tanah merah dan kerikil lepas.
Menaklukkan Tambora

Para pendaki menikmati matahari terbit di atas puncak Gunung Tambora yang berada di wilayah Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat. (ANTARA/Ady Ardiansah)