Judicial Review UU PPSK berlanjut, fokus pada dua ketentuan

id Sumsel, judicial review, mahkamah konstitusi

Judicial Review UU PPSK berlanjut, fokus pada dua ketentuan

Gedung Mahkamah Konstitusi (HO/Dok:MK)

Jakarta (ANTARA) - Seorang Dosen dan mahasiswa mengajukan Judicial Review  (JR) terhadap Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU PPSK) ke Mahkamah Konstitusi.

Giri Ahmad Taufik dan Wicaksana Dramanda yang berprofesi sebagai dosen, serta Mario Angkawidjaja yang berprofesi sebagai mahasiswa sekaligus nasabah Bank Perkreditan Rakyat.

Keduanya menantang ketentuan Pasal 7 angka 57 dan 6 serta Pasal 276 angka 3, 13, dan 24 UU PPSK yang dianggap mengancam independensi Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), yang berpotensi merugikan hak konstitusional nasabah bank di Indonesia.

Permohonan JR ini berfokus pada dua ketentuan dalam UU PPSK yang dinilai dapat mengganggu otonomi LPS. Pertama adalah ketentuan yang mensyaratkan persetujuan Menteri Keuangan atas rencana kerja dan anggaran tahunan LPS.

Menurut para pemohon dalam keterangan tertulisnya yang diterima ANTARA di Palembang, Kamis (22/8/2024), menyebutkan ketentuan ini akan membatasi independensi LPS, yang seharusnya bebas dari intervensi politik dalam menjalankan fungsinya untuk melindungi kepentingan nasabah. Bahkan, jika dikaitkan dengan Pasal 276 angka 28 UU PPSK yang menyisipkan Pasal 36C, persetujuan Menteri tersebut berpotensi mengarahkan LPS sedemikian rupa untuk menjamin kepentingan pemerintah.

Pasal 36C yang dimaksud pertama  dalam hal terjadi ancaman krisis yang berpotensi mengakibatkan merosotnya kepercayaan masyarakat terhadap perbankan dan membahayakan Stabilitas Sistem Keuangan, Lembaga Penjamin Simpanan dapat memberikan penjaminan terhadap seluruh simpanan milik Pemerintah pada Bank dalam rangka pelaksanaan kebijakan penanganan permasalahan perekonomian nasional.

Besaran nilai simpanan milik Pemerintah yang dijamin oleh Lembaga Penjamin Simpanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

"Jika LPS tidak dapat menjalankan tugasnya dengan independen, maka nasabah akan menjadi pihak yang paling dirugikan. Hak mereka untuk mendapatkan jaminan atas simpanan di bank akan terganggu," ujar  Giri Ahmad Taufik yang menjadi pemohon dalam JR ini.

Kedua, terdapat ketentuan baru yang memberikan kewenangan kepada LPS untuk melakukan 'penempatan dana' pada bank dalam proses penyehatan, atas permintaan dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Para pemohon meyakini bahwa hal ini berpotensi menimbulkan tumpang tindih (overlap) kewenangan dengan Bank Indonesia (BI) sebagai lender of last resort.

Kondisi ini bisa mengakibatkan kebingungan dan ketidakpastian dalam penanganan krisis perbankan, yang pada akhirnya akan merugikan nasabah.

"Penambahan kewenangan ini bukan hanya tumpang tindih dengan BI, tapi juga dapat menimbulkan konflik kepentingan yang pada akhirnya merugikan nasabah," ungkap dosen lain yang turut serta dalam permohonan JR ini.

Independensi LPS merupakan pilar penting dalam reformasi sistem keuangan Indonesia pasca krisis tahun 1998. Dengan kebebasan dari intervensi pemerintah atau pihak lain, LPS dapat mengambil keputusan teknokratik yang diperlukan untuk menjaga stabilitas sistem perbankan.

Pengalaman krisis keuangan di masa lalu, seperti kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), telah menunjukkan bagaimana intervensi politik dapat merusak proses penanganan krisis dan mengakibatkan kerugian besar bagi negara dan masyarakat.

Dalam kasus ini, para pemohon JR menegaskan bahwa nasabah adalah pihak yang paling berisiko dirugikan jika independensi LPS terganggu. Hak konstitusional nasabah untuk mendapatkan jaminan atas simpanannya di bank dapat terancam jika LPS tidak dapat beroperasi secara otonom dan profesional.

Mereka berharap bahwa Mahkamah Konstitusi akan mempertimbangkan dampak yang luas dari ketentuan-ketentuan ini terhadap stabilitas sistem keuangan dan hak-hak konstitusional masyarakat.

"Ini bukan hanya tentang LPS atau institusi keuangan, tetapi tentang hak-hak dasar nasabah yang harus dilindungi," tegas Miko Susanto Ginting, selaku kuasa hukum dalam JR ini.

Disebutkan saat ini, permohonan JR tersebut yang terdaftar dengan Nomor 85/PUU-XXII/2024 tengah menunggu hasil Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH), usai para pemohon memperbaiki permohonan pada tanggal 15 Agustus 2024.

Para pemohon tetap optimis bahwa Mahkamah Konstitusi akan melihat adanya urgensi perlindungan hak-hak konstitusional nasabah dan pentingnya menjaga independensi LPS dari intervensi yang tidak perlu.