Jika Suminta belajar dari orang-orang di kampungnya, Aceng, pedagang kulit ketupat lainnya di Palmerah, mengaku banyak belajar dari orang asal Bali. Berkat membuat kulit ketupat dan dekorasi janur, Aceng, yang memulai usahanya pada 2016, setidaknya meraup penghasilan Rp500.000 per hari.
Kulit ketupat tidak hanya dicari pada musim Lebaran. Pada hari biasa, kulit ketupat juga dicari terutama oleh penjual sayur keliling, penjual ketoprak, penjual lontong sayur, penyedia jasa katering makanan sampai orang-orang yang akan menggelar hajatan, kata Ahmad, salah seorang pedagang kulit ketupat di Palmerah.
Mereka seringkali memborong kulit ketupat, bahkan hingga ratusan, supaya tidak perlu pergi ke pasar setiap hari.
Ahmad bercerita keadaan Lebaran saat ini jauh lebih baik dibandingkan ketika pandemi COVID-19 beberapa tahun lalu. Saat itu, hanya sedikit pedagang yang berani merantau ke Jakarta.
Pembatasan aktivitas luar ruangan juga berakibat pada pasokan dagangan. Akibat hanya sedikit barang yang bisa masuk, pedagang terpaksa menaikkan harga janur dan kulit ketupat.
Adanya pembatasan yang diterapkan pemerintah pun mempersulit barang dagangan bisa masuk dalam jumlah besar. Akibatnya, pedagang terpaksa menaikkan harga yang lebih tinggi.
“Pas COVID-19 itu kami terpaksa jual sampai Rp30 ribu per 10 biji kulit ketupatnya. Sementara janurnya bisa Rp300 ribu,” kata Ahmad.
Tahun ini, Suminta, Ahmad dan Aceng berharap betul dari penghasilan mereka sebagai pembuat dan penjual kulit ketupat.
“Saya ada rencana pulang (mudik), ya semoga cukuplah buat Lebaran uangnya. Nanti mau saya buat beli daging, bikin rendang,” ujar Aceng.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Berharap rupiah berlipat dari kulit ketupat