BRIN: Tanaman mangrove mampu menyerap emisi karbon

id mangrove,emisi karbon,penyerapan karbon,brin,sistem wamina

BRIN: Tanaman mangrove mampu menyerap emisi karbon

Pengunjung menaiki perahu saat menyusuri Hutan Mangrove di Taman Wisata Alam Mangrove Angke Kapuk, Jakarta, Sabtu (24/9/2022). Pemprov DKI Jakarta mencatat hingga Juni 2022 realisasi penanaman mangrove mencapai 38 ribu atau 54,28 persen dari target 70 ribu pohon mangrove. ANTARA FOTO/Aprillio Akbar/aww.

Jakarta (ANTARA) - Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menyebutkan bahwa tanaman mangrove mampu menyerap emisi karbon sebanyak lima kali lebih besar dibandingkan dengan pepohonan yang berada di hutan.

"Tanaman mangrove mampu menyerap emisi karbon sebanyak lima kali lipa lebih besar dari hutan terestrial," kata Perekayasa ahli utama Pusat Riset Lingkungan dan Teknologi Bersih (PRLTB) Organisasi Riset Hayati dan Lingkungan (ORHL) BRIN Widiatmini Sih Winarti, di Jakarta, Rabu.

Dia mengatakan BRIN tengah mendorong solusi penyerapan karbon menggunakan sistem silvofishery atau wamina yang merupakan kegiatan mengkombinasikan vegetasi hutan mangrove dan budidaya tambak.

Sistem wamina diyakini menjadi solusi keseimbangan antara menyejahterakan masyarakat dan penyerapan karbon untuk lingkungan.

"Hasil riset menujukan bahwa tutupan area mangrove sebesar 44 hingga 80 persen per hektare di tambak dengan sistem wamina dapat menyimpan 40 hingga 50 ton karbon," kata dia.

Program wamina bertujuan melestarikan lingkungan untuk melindungi pantai sekaligus menjadi alternatif pendapatan masyarakat yang sejalan dengan ekonomi biru.

Dia menambahkan penerapan wamina juga bermanfaat sebagai mitigasi dan adaptasi perubahan iklim melalui fungsi vegetasi hutan mangrove yang dibudidayakan.

Adapun sistem wamina merupakan program tambak yang dikeliling dengan tanaman mangrove.

Dia mencontohkan sistem wamina menggunakan rumput laut sebagai komoditi tambak memberikan dampak ganda. Di satu sisi penanaman rumput laut memberikan serapan karbon begitupun ditambah juga tanaman mangrove. Kemudian rumput laut yang memberikan peningkatan ekonomi masyarakat.

"Peningkatan ekonomi dari masyarakat sebab rumput laut misalnya menjadi komoditas yang menjanjikan," ujarnya.

Perhutani menetapkan untuk rasio luas kawasan pengelolaan mangrove pada wilayah konservasi sistem wamina hanya dapat dilakukan sebesar 20 persen dari luas wilayah yang meliputi usaha perikanan. Sementara untuk kawasan mangrove non-konservasi dapat dilakukan sistem wamina sebesar 80 persen.

Berdasarkan hasil riset rasio optimal dari sistem wamina yakni 60 persen merupakan lahan tambak dan 40 persen merupakan hutan mangrove yang diharapkan dapat meningkatkan manfaat ekonomi dan hasil perikanan.