Jakarta (ANTARA) - Pakar hukum tata negara dan konstitusi dari Universitas Muslim Indonesia Fahri Bachmid menilai putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait dengan perpanjangan masa jabatan pimpinan KPK mengandung sifat multitafsir.
"Hakikatnya ini bukan merupakan pijakan konstitusional yang diberikan MK kepada pimpinan KPK saat ini, sebagai sebuah pranata serta transfer kewenangan transisi sampai dengan Desember 2024," kata Fahri dalam keterangan tertulis di Jakarta, Sabtu.
Menurut dia, sulit untuk membangun korelasi sebagai justifikasi dari putusan MK dalam perkara nomor 112/PUU-XX/2022 terhadap keabsahan pimpinan KPK saat ini. Dalam putusan itu, tidak memberikan jalan keluar sebagai konsekuensi diterimanya permohonan ini.
Fahri memandang pimpinan KPK saat ini belum tentu dapat menikmati berkah putusan MK. Dia meyakini putusan MK bersifat prospektif ke depan dan tidak retroaktif ke belakang.
"Dengan demikian, Presiden sebagai kepala negara akan diperhadapkan dengan suatu kondisi yang sangat problematis sehingga membutuhkan suatu kehati-hatian yang tinggi," jelasnya.
Ia melihat pertimbangan MK terkait dengan hal-hal transisi dalam putusan ini sangat sumir dan absurd.
Ketika membaca pertimbangan hukum maupun amar putusan yang dikaitkan dengan alibi perpanjangan pimpinan KPK saat ini, menurut dia, menjadi membingungkan.
"Inilah yang menimbulkan debat. Hal ini idealnya harus terantisipasi lewat putusan MK," ujarnya.
Fahri juga mempertanyakan standar ganda MK dalam memandang open legal policy. Dalam pertimbangan hukum, MK mengatakan meskipun pengaturan mengenai masa jabatan pimpinan KPK merupakan kebijakan hukum dari pembentuk undang-undang.
Akan tetapi, kata dia, prinsip kebijakan hukum atau dikenal sebagai open legal policy dapat dikesampingkan apabila bertentangan dengan moralitas, rasionalitas, dan menimbulkan ketidakadilan yang intolerable.
"Ini merupakan penyalahgunaan wewenang atau dilakukan secara sewenang-wenang dan melampaui kewenangan pembentuk undang-undang," katanya menegaskan.
Lewat putusan itu, Fahri merasa ada ketidakadilan yang dipertontonkan MK. Pasalnya, MK tak mengeluarkan sikap serupa dalam gugatan presidential candidacy threshold yang merupakan kebijakan terbuka atau open legal policy.
"Konsistensi serta sikap hukum MK menjadi penting sesungguhnya dalam menegakkan konstitusi," ujarnya.
Selain itu, Fahri khawatir putusan perpanjangan masa jabatan pimpinan KPK akan memantik permohonan serupa di kemudian hari.
Ia mengamati kemungkinan adanya gugatan perbedaan masa jabatan pimpinan di beberapa lembaga atau komisi negara.
MK diketahui memutuskan menerima gugatan yang diajukan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Nurul Ghufron soal perpanjangan masa jabatan pimpinan KPK dari 4 tahun menjadi 5 tahun. Lewat putusan itu, Ketua KPK Firli Bahuri dkk. akan terus menjabat hingga tahun depan atau pada masa Pemilu 2024.
Hakim MK M. Guntur Hamzah setuju bahwa masa jabatan pimpinan KPK seharusnya juga disamakan dengan pimpinan 12 lembaga nonkementerian atau auxiliary state body di Indonesia seperti Komnas HAM, KY, dan KPU, yaitu 5 tahun.
MK memandang pengaturan masa jabatan pimpinan KPK yang berbeda dengan masa jabatan pimpinan/anggota komisi atau lembaga independen, khususnya yang bersifat constitutional importance, kata dia, telah melanggar prinsip keadilan, rasionalitas, penalaran yang wajar, dan bersifat diskriminatif. Kondisi itulah yang bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945.
Oleh karena itu, menurut Mahkamah, masa jabatan pimpinan KPK seharusnya dipersamakan dengan masa jabatan komisi dan lembaga independen yang termasuk ke dalam rumpun komisi dan lembaga yang memiliki constitutional importance, yakni 5 tahun sehingga memenuhi prinsip keadilan, persamaan, dan kesetaraan.