Jakarta (ANTARA) - Jika pada masa pemilihan kepala daerah Provinsi DKI Jakarta, warga resah soal politik identitas maka belakangan ini, keresahan justru muncul dari makanan-minuman yang diberi identitas yang sayangnya terkait kehalalan makanan-minuman itu.
Sebut saja di Jakarta Utara ada promosi rendang babi ambo di Kelapa Gading, kedai nasi uduk babi Aceh di Penjaringan, serta terkini muncul promosi minuman keras mengaitkan dengan nama Muhammad dan Maria pada media sosial bar klub dan restoran Holywings Indonesia.
Warganet mengecam promosi miras yang menyematkan nama Muhammad dan Maria di botol minuman keras (miras) oleh restoran, kelab malam, dan bar bernama Holywings itu pada Jumat.
Kasus itu bahkan membuat keresahan sejumlah pihak, dari Badan Musyawarah Betawi, Gerakan Pemuda Ansor, hingga anggota DPD RI, yang ditampilkan dalam berbagai media massa.
Tetapi hendaknya kita semua bisa menahan diri. Apresiasi perlu disampaikan kepada awak media massa yang berupaya mengemas fenomena itu secara terang-benderang. Dan sebagai pembaca, kita perlu meningkatkan kemampuan literasi untuk bisa menangkap persoalan apa yang ada di balik fenomena ini.
Dalam Semiotika, segala sesuatu pasti memiliki identitas, yang disebut tanda. Karena itu, fenomena Holywings, Nasi Uduk, dan Rendang Babi juga memiliki pertukaran tanda yang dapat diidentifikasi, didokumentasikan, dan diklasifikasi berdasarkan jenis-jenis utama tanda dan cara penggunaannya dalam aktivitas yang bersifat representatif.
Penggunaan kata 'rendang' misalnya, biasanya merujuk kepada masakan khas masyarakat Minang, yang memiliki adat-istiadat kental dengan ajaran agama Islam. Demikian pula 'Muhammad' dan 'Maria' yang dapat merujuk pada nama orang yang suci di ajaran agama Islam dan Kristen.
Sedangkan kata 'Aceh' merujuk suatu masyarakat di Indonesia yang hingga kini menerapkan syariat Islam.
Kata 'babi' serta botol bir pada promosi makanan-minuman dapat merujuk pada makanan dan minuman yang diharamkan karena kandungannya yang dinilai kurang baik bagi kesehatan dalam ajaran agama.
Sehingga, rendang babi adalah dua tanda yang berlawanan makna, demikian pula babi Aceh, dan bir Muhammad-Maria.
Sehingga tanda yang digunakan dalam promosi penjualan makanan-minuman tadi memang bisa menimbulkan persepsi menista, karena masing-masing makna tanda berkaitan dengan ajaran agama, dan orang bebas memberi persepsi apa saja.
Oleh karena itu, agar situasi lebih kondusif, kita tentu perlu mengingatkan agar pengusaha lainnya lebih berhati-hati dalam memberi tanda yang berkaitan dengan agama ke depannya.
Namun, otoritas dan dinas terkait juga harus bisa memberikan penjelasan dan sikap yang pasti terhadap fenomena ini. Agar ke depan tidak ada lagi pengulangan fenomena yang sama.
Sehingga, rendang babi adalah dua tanda yang berlawanan makna, demikian pula babi Aceh, dan bir Muhammad-Maria.
Sehingga tanda yang digunakan dalam promosi penjualan makanan-minuman tadi memang bisa menimbulkan persepsi menista, karena masing-masing makna tanda berkaitan dengan ajaran agama, dan orang bebas memberi persepsi apa saja.
Oleh karena itu, agar situasi lebih kondusif, kita tentu perlu mengingatkan agar pengusaha lainnya lebih berhati-hati dalam memberi tanda yang berkaitan dengan agama ke depannya.
Namun, otoritas dan dinas terkait juga harus bisa memberikan penjelasan dan sikap yang pasti terhadap fenomena ini. Agar ke depan tidak ada lagi pengulangan fenomena yang sama.
Permintaan maaf
Permintaan maaf mungkin sudah disampaikan, tapi tidak serta-merta menyelesaikan persoalan ini tanpa campur-tangan dari otoritas terkait.
Karena penggunaan tanda dengan cara berlawanan makna seperti itu kerap dilakukan karena lebih menarik perhatian banyak mata, lebih memprovokasi pikiran untuk menemukan kesamaan makna antara keduanya.
Pikiran orang ketika melihat kedua tanda yang berlawanan makna itu bisa lebih terfokus pada pencarian pembenaran, bukan kebenaran. Karena makna yang dimunculkan pun ambigu.
Ketika tanda yang disampaikan terkait dengan agama, itu selalu bisa menjadi akar permasalahan karena ada bermacam-macam persepsi bisa muncul serang-menyerang.
Kalau menanyakan pada orang yang situasi pikiran sedang santai, mungkin adanya fenomena seperti itu bisa diabaikan. Tapi kita tidak bisa menyamaratakan situasi pikiran setiap orang.
Karena itu perlu ada jalan tengah, melalui aturan yang disepakati bersama, untuk tidak lagi menyebar tanda berlawanan makna yang bermuatan agama.
Sehingga setiap orang akan mempertimbangkan tanggung jawab moral dan sosial atas karya pikiran yang muncul ke publik.
Misalnya, menerapkan penjara media sosial dan aturan wajib lapor ke pihak berwajib untuk setiap penyebar tanda bermuatan SARA tanpa tebang pilih.
Penghentian aktivitas (pemenjaraan) media sosial bagi penyebar tanda bermuatan agama itu perlu diterapkan kepada pengusaha, perusahaan, maupun setiap orang yang ikut menyebarkan tanda sebagai sanksi untuk setiap perbuatan yang memicu perdebatan publik.
Kita tahu kasus rendang babi dan nasi uduk babi Aceh karena diviralkan salah seorang pemilik akun media sosial, maka otoritas terkait harus menghentikan aktivitas pemilik akun media sosial yang menyebarkan tanda berlawanan makna yang bermuatan agama tersebut, terlepas dari apapun alasan penyebaran itu, disengaja maupun tidak disengaja, telah menimbulkan kegaduhan.
Studi
Sebuah studi yang diterbitkan di Mary Ann Liebert menunjukkan bahwa jeda selama satu minggu dari aktivitas menggulir halaman media sosial, seperti Facebook, Twitter, dan Instagram, dapat meningkatkan kesejahteraan psikologis serta mengurangi depresi dan kecemasan.
Sebaliknya, penggunaan media sosial tanpa jeda justru berpotensi menimbulkan stres atau depresi kepada penggunanya.
Dengan memahami hubungan antara media sosial dan kesehatan mental, otoritas terkait bisa merumuskan aturan tentang bagaimana seseorang bisa berhenti dari aktivitas media sosial mereka sembari diwajibkan rutin melapor ke pihak berwajib.
Apakah sulit bagi Kepolisian Republik Indonesia, misalnya, untuk mengidentifikasi pemilik akun yang menyebarkan pertama kali suatu tanda berlawanan makna yang bermuatan agama, meski akun tersebut anonim?
Beberapa kali Polri berhasil mengungkap pemilik akun anonim, seperti pada 11 Maret 2019, pemilik akun Twitter @opposite6890.
Pelaku akun palsu tidak akan bisa selamanya berlindung dari kebohongan yang mereka ciptakan, termasuk dari aparat penegak hukum, melihat ada banyak kasus yang telah mereka ungkap.
Kepolisian diyakini memiliki sumber daya yang mumpuni, seperti personel, peralatan, pengetahuan, pengalaman, jaringan ataupun dengan telah adanya kerjasama dengan pihak media sosial dalam menindak pelanggaran hukum.
Selanjutnya tinggal sikap bijak dari pemilik akun media sosial, apakah kebebasan menyebar tanda-tanda berlawanan makna bermuatan agama layak sebagai informasi masyarakat atau kah ada maksud tertentu untuk membuat resah?
Promosi makanan-minuman beridentitas yang membuat resah
Sehingga tanda yang digunakan dalam promosi penjualan makanan-minuman tadi memang bisa menimbulkan persepsi menista