Hanoi, Vietnam (ANTARA) - Banyak drama tersaji di arena SEA Games Vietnam 2021 dari 12 sampai 23 Mei 2022, khususnya dalam cabang olahraga bela diri. Ada yang gembira, ada pula yang banjir air mata.
Dua cabang olahraga yang paling menjadi sorotan selama SEA Games edisi ke-31 ini adalah pencak silat dan karate.
Kalau pencak silat yang asli Indonesia hanya menyumbangkan satu medali emas, empat perak dan tiga perunggu atau gagal memenuhi target tiga medali emas, maka karate yang berasal dari Jepang justru prima dengan empat emas, delapan perak dan dua perunggu atau melampaui target tiga medali emas yang ditetapkan Kementerian Pemuda dan Olahraga.
Ada dua catatan sejarah penting dalam SEA Games Vietnam untuk kedua cabang olahraga yang berbeda nasib ini.
Bagi pencak silat, ini pertama sejak dipertandingkan dalam SEA Games 1987, hanya menghasilkan satu medali emas. Akibatnya, tim pun finis urutan lima pada klasemen medali cabang ini.
Sementara karate, untuk pertama kalinya semua atlet yang diikutsertakan dalam ajang ini dua tahunan ini mendapatkan medali.
Dari total 19 atlet, tim karate Indonesia meloloskan 12 nomor ke final dari 15 nomor yang dipertandingkan, baik nomor perseorangan maupun beregu.
Walhasil, tim karate Indonesia finis urutan kedua pada klasemen akhir atau satu tingkat di bawah tuan rumah Vietnam yang mengemas tujuh medali emas.
Di arena pertandingan, apa yang dialami kedua cabang olahraga ini pun secara kasat mata juga jauh berbeda.
Satu kejadian yang paling menyolok perhatian adalah ketika dua pesilat Indonesia gagal dalam partai puncak karena suatu hal yang tak seharusnya terjadi.
Pesilat andalan Indonesia M. Khoiruddin Mustakim kandas menghadapi lawannya dari Malaysia Muhammad Hairi Adib Bin Azhar pada pertandingan kelas B putra 50-55 Kg. Dia kalah tipis 49-50 pada Senin (16/5).
Begitu pula dengan Muhamad Yachser Arafa yang gagal menyumbangkan medali emas setelah didiskualifikasi saat berhadapan dengan wakil Singapura Muhammad Hazim pada laga final kelas C putra 50-60 Kg yang pertandingannya digelar persis setelah laga Mustakim.
Mustakim bisa dikatakan memiliki kelas kemampuan yang jauh lebih baik dari pesilat Malaysia. Tapi pada laga itu, dia demikian bersusah payah dalam mengumpulkan poin yang 0tak jarang mendapat pengurangan karena dianggap membuat pelanggaran.
Satu momen penting justru terjadi pada menit-menit akhir babak ketiga ketika Mustakim sudah unggul 59-50. Satu tendangan telaknya melayang ke arah muka sehingga langsung membuat lawan terguling di arena. Sayang, momen krusial ini terjadi saat waktu tersisa empat detik.
Setelah dilakukan pemutaran Video Asisstant Referee (VAR), wasit langsung memutuskan pengurangan 10 poin kepada Mustakim sehingga menjadi 49-50, yang menurut pelatih Indonesia Indro Catur sebagai keputusan yang terlalu berlebihan.
Lantaran waktu yang tersisa hanya 4 detik, Mustakim tak mampu lagi membalikkan keadaan sehingga hanya menyumbangkan perak.
Juga terjadi pada menit-menit akhir, Muhamad Yachser Arafa mengalami nasib serupa saat bertanding dalam final kelas C putra 50-60 Kg.
Bedanya, Yachser didiskualifikasi saat pertandingan masih menyisakan 28 detik dan dalam keadaan unggul 31-21. Dia dianggap melakukan pelanggaran berat yang menyebabkan lawan asal Singapura Muhammad Hazim ditandu ke luar lapangan.
Tak hanya dalam pertandingan tersebut, keberpihakan wasit juga dirasakan pesilat-pesilat Indonesia saat berlaga pada nomor seni. Sebut saja Puspa Arum Sari.
Peraih medali emas Asian Games 2018 ini yang disebut-sebut tak ada lawan untuk nomor seni perseorangan putri di kawasan Asia Tenggara ini harus puas dengan medali perak karena dikalahkan wakil tuan rumah Vietnam.
Berbeda di arena karate. Walau pengaruh tuan rumah tetap terasa yang sepertinya sudah ‘diterima’ oleh seluruh cabang olahraga bela diri, tapi kekerapannya tidak seperti dialami pesilat Indonesia.
Karateka Cok Karateka Cok Istri Agung yang turun dalam nomor kumite -55 Kg berhasil menjegal wakil tuan rumah pada semifinal dengan skor 5-3 di Pusat Olahraga Provinsi Ninh Binh, Vietnam, Kamis (19/5/22).
Kemenangan ini membuat Cok lebih percaya diri dalam final sehingga karateka asal Bali ini mengalahkan wakil Thailand Namkhao Penpisut dengan skor 2-0.
“Saya percaya diri karena sebenarnya ganjalan terbesar itu di semifinal, saat ketemu wakil tuan rumah,” kata Coki, panggilan akrab Cok.
Non teknis
Urusan pertandingan diyakini bukan sekadar persoalan di dalam lapangan, tapi juga di luar lapangan (non teknis).
Sejumlah cabang olahraga bela diri sangat menyadari hal tersebut, namun tak semuanya berhasil dalam tingkat ‘lobi-lobi’.
Prestasi yang diraih atlet saat berada di arena tentunya tak lepas dari usaha-usaha di balik layar.
Apa yang terjadi di arena sejatinya menggambarkan apa sesungguhnya yang terjadi selama prosesnya.
Masyarakat Indonesia tentunya tak meragukan lagi usaha keras kedua cabang olahraga ini dalam menggeber atletnya di pemusatan latihan nasional selama tiga tahun terakhir.
Atlet nyaris dibuat tak memiliki hari libur. Mereka hanya kembali beberapa saat kepada keluarga saat awal pandemi merebak di tanah air.
Kepala Bidang Luar Negeri PB Forki Darly Siregar mengatakan sejauh ini Indonesia sudah mampu menempatkan Haifendri Putih sebagai Ketua Dewan Wasit SEAKF. Dia sendiri menjadi Wakil Presiden SEAKF.
Selain itu, Indonesia juga memiliki wakil wasit/juri pada ajang yang berada di bawah SEAKF sehingga setidaknya menjadi kekuatan tersendiri.
"Kami mengusung kekuatan empat pilar terdiri dari atlet, pelatih, pengurus, wasit/juri. Jika ini tidak digerakkan semua maka akan timpang, dan tidak dapat mengimbangi kerja keras atlet dan pelatih di kamp," kata dia.
Juara dunia pencak silat Abas Akbar mengatakan faktor nonteknis sangat mempengaruhi olahraga bela diri yang mempertandingkan nomor seni dan pertarungan.
"Saya juga saat jadi atlet pernah merasakan adanya keberpihakan wasit. Oleh karena itu saya tidak mau yang biasa-biasa saja, ya bagaimana caranya, harus cetak poin telak," kata Abas.
Itu dari sisi atlet. Menurut dia, dari sisi kepengurusan juga harus berjuang dalam mengelola sisi non teknis sehingga tidak mengganjal atlet ketika bertanding.
Walau Indonesia menjadi presiden Persekutuan Pencak Silat Antarbangsa (Pesilat) yang diemban oleh Ketua PB IPSI Prabowo Subianto, Abas mempertanyakan sejauh mana dominasi Indonesia mengelola silat dunia.
"Jangan di perebutan medali, kita sudah kalah. Di kepengurusan dunia juga tidak bisa mendominasi, artinya lebih banyak orang-orang di luar Indonesia. Ingat, silat itu olahraga kita," kata Abas.
Menteri Pemuda dan Olahraga Zainudin Amali berjanji akan memanggil pimpinan pengurus cabang olahraga bela diri untuk merespons buruknya performa selama SEA Games Vietnam 2021.
"Saya sudah mendapatkan penjelasan dari para pengurus pencak silat bahwa saat ini banyak peraturan baru yang belum diadaptasi oleh para pelatih. Nah, kenapa sampai seperti itu nanti kami dengar," kata Zainudin di Hanoi, Minggu.
Walau demikian, pemerintah akan tetap mendorong pencak silat menjadi cabang olahraga Olimpiade dengan mengusung konsep Road to Olimpic.
Bagi dia, apa yang terjadi di arena SEA Games ini sama sekali tidak mempengaruhi rencana tersebut mengingat sejak Perpres Nomor 86 dikeluarkan mengenai Desain Besar Olahraga Nasional, target prestasi olahraga Indonesia adalah arena Olimpiade.
"Indonesia harus memenuhi sejumlah persyaratan di antaranya sudah digeluti di 75 negara dan 5 benua, artinya kampanye harus terus digencarkan," kata Zainudin.
Cukup kompleks apa yang terjadi dalam pencak silat. Di satu sisi, Indonesia bangga karena olahraga warisan leluhur ini kian diminati dunia bahkan berkembang pesat di negara-negara Asia Tenggara.
Namun di satu sisi, negara-negara ini telah menjadi ancaman untuk pencak silat Indonesia. Bahkan kini muncul sinisme bahwa Indonesia telah dijadikan sebagai 'musuh bersama' karena memborong 14 medali emas dalam Asian Games 2018 saat menjadi tuan rumah.
Tentunya kondisi ini jauh berbeda dengan Jepang yang hingga kini masih merajai pentas karate tingkat dunia.
Tak ada kata lain, Indonesia harus berbenah sebelum terlambat.