Malang, Jawa Timur (ANTARA) - Bagi sebagian orang, kue kering identik dengan jajanan yang disajikan pada saat perayaan hari besar seperti Idul Fitri dan Natal. Kue-kue itu banyak disajikan kepada para tamu, sebagai pelengkap tradisi perayaan hari besar.
Menjalankan bisnis kue kering bukanlah perkara mudah, terlebih bisa bertahan hingga hampir satu abad. Bertahan untuk menjalankan bisnis yang sama dan konsisten selama hampir 100 tahun, membutuhkan sebuah ketelatenan dengan tetap menjaga cita rasa yang unik.
Toko Madjoe, merupakan salah satu toko kue kering yang berada di kawasan Pasar Besar Kota Malang, Jawa Timur. Toko yang terletak di Jalan Pasar Besar Nomor 30B itu, terlihat terawat dengan nuansa klasik yang tetap dipertahankan.
Bangunan yang dibingkai dengan ornamen kayu dengan cat biru muda itu, telah ada sejak 1930 di kawasan tersebut. Papan nama berwarna hitam bertuliskan ejaan lama, Toko Madjoe, melengkapi kesan kuno yang sudah dikelola oleh tiga generasi tersebut
Toples-toples kaca kuno buatan Jerman, terlihat berjajar saat melintasi toko kue kering yang sudah berusia kurang lebih 91 tahun tersebut. Toko Madjoe, selama hampir kurang lebih satu abad, menjual jajanan kue kering yang masih bertahan hingga saat ini.
Saat ini, ada kurang lebih 25 jenis kue kering yang dijajakan di toko tersebut. Resep yang dipergunakan untuk memproduksi kue-kue kering itu, masih menggunakan resep lama yang dirawat secara turun-temurun.
Dari 25 jenis kue kering yang hingga saat ini masih dijual di toko bernuansa sederhana dan kuno tersebut, ada beberapa jenis kue kering yang masih digemari oleh konsumen. Beberapa jenis kue itu antara lain adalah, kue kenari, speculaas, jan hagel serta kue semprit putih dan cokelat.
Rasa klasik kue yang dijual, tetap sama seperti pada saat awal kue itu dibuat puluhan tahun lalu. Pada 1930, pemilik Toko Madjoe, Teh Bian Liep memulai usaha untuk berjualan kue-kue kering yang kemudian akhirnya digemari warga Kota Malang saat itu, termasuk orang-orang Belanda.
Generasi ke-5 pemilik Toko Madjoe, Cornelia Feliciana, (16) di Kota Malang, Jawa Timur, pekan lalu mengatakan bahwa kue-kue kering yang dijual tersebut, diproduksi secara rumahan oleh anggota keluarganya.
Usaha kue kering itu, merupakan usaha milik keluarga yang dikelola secara turun temurun. Kebanyakan, lanjutnya, para konsumen yang datang untuk membeli kue kering buatan Toko Madjoe tersebut merupakan pelanggan.
Selain itu, menurutnya, ada juga cerita-cerita unik yang muncul dari para pelanggan baru, terutama konsumen yang berusia 20-30 tahun. Para konsumen muda itu, kebanyakan juga memiliki kisah nostalgia dengan Toko Madjoe.
Para pelanggan yang bisa dikatakan baru tersebut, kebanyakan mampir di toko yang memang terlihat sederhana itu untuk sebuah kenangan masa lalu. Para pelanggan itu, sekedar ingin mengenang waktu saat mereka kecil bersama orang tua mereka.
"Biasanya, jika ada pelanggan baru yang berusia 20-30 tahun itu, mereka bercerita, dulu diajak orang tua atau nenek mereka untuk membeli kue di sini. Ada nostalgianya," ujarnya.
Cita rasa dan bangunan kuno Toko Madjoe, menjadi daya tarik tersendiri bagi para pelanggan tetap maupun pelanggan baru. Ciri khas bangunan sejak zaman Belanda itu tetap dipertahankan pemiliknya, meskipun di kanan kiri bangunan sudah berkembang pesat mengikuti zaman.
Sejak dibuka pada 1930, bangunan Toko Madjoe tidak berubah sama sekali. Selain bentuk bangunan, kondisi di dalam toko juga tidak berubah. Lantai toko juga tetap menggunakan ubin berwarna kuning, yang memudar seiring waktu namun tetap menyajikan daya tarik tersendiri.
Kue-kue yang dijual di toko tersebut, tidak dijual per kemasan. Kue-kue buatan rumah itu, dijual per kilogram dengan harga bervariasi mulai dari Rp140.000 hingga Rp250.000 per kilogram. Penjualan kue-kue itu, juga menggunakan timbangan klasik yang hingga kini dipertahankan.
Selain mempertahan desain dan bangunan yang tidak berubah selama puluhan tahun itu, resep turun-temurun selama puluhan tahun juga tidak diubah. Resep berusia hampir satu abad itu, mampu bertahan dan bersaing dengan kue-kue dengan cita rasa modern yang kini menjamur.
"Rasa yang tidak bisa dicari, itu resep turun temurun. Rasa yang kami tawarkan itu, sulit untuk dibuat oleh pelaku usaha lainnya. Kue sekarang lebih modern rasanya, tapi kami memilih untuk mempertahankan rasa yang lebih kuno," ujarnya.
Salah seorang pembeli di Toko Madjoe, Riyangka Paramita mengatakan bahwa kue-kue kering yang dijual di Toko Madjoe memang memiliki cita rasa tersendiri. Rasa kuno yang khas, cocok dijadikan teman untuk meminum kopi atau teh saat sore hari.
Menurutnya, bahan baku yang dipergunakan pada kue-kue kuno yang dijual Toko Madjoe merupakan bahan berkualitas dan mampu memanjakan lidah para pembelinya. Rasa kue tersebut seimbang, tidak terlalu manis dan renyah.
"Rasanya enak, khas kue dengan menggunakan resep kuno. Manisnya tidak berlebihan dan renyah.Ini cocok jadi teman minum kopi atau teh panas," katanya.
Mengimbangi Perubahan Zaman
Kue-kue kering yang dijual di Toko Madjoe, selama ini dipasarkan menggunakan metode pemasaran konvensional. Toko kue kering itu, juga tidak membuka cabang lain dan hanya dipasarkan melalui toko yang ada di kawasan Pasar Besar Kota Malang itu.
Namun, dengan perkembangan zaman dan era teknologi informasi yang berkembang pesat, saat ini, generasi ke-5 pemilik Toko Madjoe juga mulai memanfaatkan media sosial seperti Facebook dan Instagram.
Pemanfaatan media sosial untuk mempromosikan produk kue kering tersebut, bermula pada saat terjadi pandemi penyakit akibat penyebaran virus Corona. Pandemi COVID-19, memberikan dampak terhadap penurunan omzet pada toko tersebut.
Cornelia menambahkan, pandemi COVID-19 memang berpengaruh terhadap omzet yang diterima namun tidak sampai mengancam keberlangsungan bisnis keluarga itu. Mereka tetap bertahan dari para pelanggan tetap yang menyukai cita rasa khas kue kering Toko Madjoe.
Meskipun bertahan, namun omzet Toko Madjoe saat itu bisa dikatakan tidak dalam kondisi yang optimal. Daya beli konsumen juga dinilai terpengaruh penyebaran virus yang pertama kali merebak di Wuhan, China itu.
Pada 2020, di tengah pandemi COVID-19, Toko Madjoe dipromosikan di salah satu akun Facebook. Semenjak saat itu, omzet Toko Madjoe yang sebelumnya terdampak pandemi COVID-19 mulai merangkak naik hingga saat ini.
"Saat awal pandemi, memang ada penurunan permintaan. Namun sejak Desember 2020, ada yang mempromosikan Toko Madjoe di Facebook. Semenjak itu, omzet kita naik dan stabil sampai sekarang," ujarnya.
Saat ini, Cornelia juga memanfaatkan platform media sosial lain seperti Instagram untuk mempromosikan kue-kue yang dijualnya itu. Namun, dikarenakan kesibukan sekolah gadis berusia 16 tahun itu, promosi menggunakan akun media sosial itu masih belum optimal.
"Saya sudah membuat Instagram untuk promosi. Namun mungkin karena waktu saya sama sekolah masih sibuk, jadi masih belum bisa fokus," katanya.
Berbekal resep turun temurun dan keunikan cita rasa kue yang dijualnya, Toko Madjoe merupakan salah satu bagian dari sejarah yang harus terus dipertahankan dan menjadi salah satu daya tarik wisata kuliner Kota Malang.
Keberadaan platform digital sebagai media promosi, saat ini banyak dimanfaatkan para pelaku usaha termasuk Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM). Platform media sosial tersebut, dinilai efektif untuk mempromosikan produk dan mendongkrak penjualan.
Sebagai toko kue kering tertua di Kota Malang, Jawa Timur, Toko Madjoe akan terus berupaya untuk mengimbangi pesatnya perkembangan teknologi informasi. Pemanfaatan media sosial untuk promosi produk, memang harus dilakukan meskipun secara bertahap.
Terbukanya ruang promosi pada media digital, tentu saja akan menyasar pangsa pasar yang lebih luas yakni anak-anak generasi muda kekinian. Para generasi muda tersebut, sudah selayaknya bisa mencicipi bagian dari sejarah kuliner yang ada di Kota Malang.