Jakarta (ANTARA) - Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) menilai sejumlah kebijakan yang dikeluarkan oleh Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) pada masa pandemi COVID-19 belum optimal dalam mengatasi krisis di bidang pendidikan.“Kemendikbudristek seperti kehabisan akal untuk menghadapi kendala belajar dari rumah (BDR) atau Pendidikan Jarak Jauh (PJJ) selama masa pandemi COVID-19, meskipun serangkaian kebijakan telah dibuat, namun hingga April 2021 tampaknya belum menunjukkan hasil sebagaimana diharapkan. Justru angka putus sekolah bertambah dan peserta didik dari keluarga miskin nyaris tak terlayani karena ketiadaan alat daring,” kata Sekjen FSGI Heru Purnomo di Jakarta, Ahad.
Kekeliruan dari awal adalah Kemendikbudristek menjadikan BDR menjadi PJJ daring yang bertumpu pada internet, padahal disparitas digital sangat lebar antardaerah di Indonesia.
Selanjutnya, program BDR tidak efektif karena terlalu bertumpu kepada internet sehingga kebijakan yang dibuat adalah pemberian bantuan kuota pada pendidik dan peserta didik. Namun, pemberian bantuan kuota tidak disertai dengan pemetaan kebutuhan kuota yang beragam.
Selain itu peserta didik dari keluarga miskin yang tidak memiliki gawai dan wilayah yang tidak tersentuh jaringan internet tidak dapat menikmati bantuan kuota internet dan mereka tetap saja tidak terlayani PJJ.
Kemudian, kegagalan dalam menangani dampak buruk BDR atau PJJ justru melakukan relaksasi SKB 4 Menteri yang akan membuka sekolah tatap muka serentak pada Juli 2021 di tengah pandemi COVID-19 yang belum mampu dikendalikan oleh pemerintah.
Seolah melaksanakan Pembelajaran Tatap Muka (PTM) adalah cara ampuh mengatasi permasalahan pendidikan pada masa pandemi.
“Padahal ini hanya “kemalasan berpikir mencari terobosan lain” dan dapat menimbulkan permasalahan lain, misalnya ledakan kasus COVID-19 jika pembukaan sekolah tidak disertai kesiapan dan perlindungan berlapis untuk peserta didik dan pendidik. Sudah banyak kasus covid setelah satuan pendidikan menggelar PTM,” kata dia.
Kebijakan pendidikan yang dibuat untuk mengatasi PJJ kurang berhasil karena hanya bersifat umum dan cenderung menyeragamkan tanpa melihat kesenjangan yang begitu lebar dan tidak memanfaatkan potensi yang dimiliki daerah yang dapat dimanfaatkan untuk mengatasi kebuntuan PJJ secara daring.
“Peran kepala sekolah dalam mengatasi PJJ tidak mampu mengelola sekolah secara khas sesuai kondisi masing-masing. Jadi para guru yang kebingungan dalam melayani PJJ tidak mendapatkan bantuan, dukungan dan solusi dari Kepala Sekolahnya,” kata Wasekjen FSGI, Mansur.