Moderna klaim vaksin buatannya 94 persen efektif cegah COVID-19
New York (ANTARA) - Moderna Inc, Senin, mengeklaim vaksin eksperimental yang dikembangkannya 94,5 persen efektif untuk mencegah COVID-19 berdasarkan data sementara dari uji coba tahap akhir.
Moderna menjadi perusahaan pembuat obat kedua asal Amerika Serikat yang melaporkan hasil uji coba vaksin yang jauh melebihi harapan.
"Kami akan memiliki vaksin yang dapat menghentikan COVID-19," kata Presiden Moderna Stephen Hoge dalam wawancara telepon.
Analisis sementara Moderna didasarkan pada 95 infeksi di antara peserta uji coba yang menerima plasebo atau vaksin. Dari jumlah tersebut, hanya lima infeksi terjadi pada mereka yang menerima vaksin, yang diberikan dalam dua suntikan dengan selang waktu 28 hari.
"Memiliki lebih dari satu sumber vaksin yang efektif akan meningkatkan pasokan global dan, dengan keberuntungan, membantu kita semua untuk kembali ke keadaan normal sekitar tahun 2021," kata Eleanor Riley, profesor imunologi dan penyakit menular di Universitas Edinburgh.
Moderna berharap memiliki cukup data keamanan yang diperlukan untuk mendapatkan otorisasi AS sekitar minggu depan dan perusahaan berharap untuk mengajukan otorisasi penggunaan darurat (EUA) dalam beberapa minggu mendatang.
Bersama vaksin Pfizer Inc, yang juga lebih dari 90 persen efektif, dan menunggu lebih banyak data keamanan dan tinjauan peraturan, AS kemungkinan sudah akan memiliki dua vaksin yang disahkan untuk penggunaan darurat pada Desember, dengan sebanyak 60 juta dosis vaksin tersedia tahun ini.
Tahun depan, pemerintah AS kemungkinan bisa memiliki persediaan satu miliar dosis, itu baru dari dua produsen vaksin. Jumlah tersebut lebih dari yang dibutuhkan bagi 330 juta penduduk di negara itu.
Kedua vaksin COVID-19 itu, yang sama-sama dikembangkan dengan teknologi baru messenger RNA (mRNA), mewakili alat yang ampuh untuk melawan pandemi tersebut, yang telah menginfeksi 54 juta orang di seluruh dunia dan membunuh 1,3 juta orang.
Berita dari Moderna itu juga tiba pada saat kasus COVID-19 melonjak dan mencapai rekor baru di AS serta mendorong beberapa negara Eropa kembali menerapkan penguncian wilayah.
Sumber: Reuters
Moderna menjadi perusahaan pembuat obat kedua asal Amerika Serikat yang melaporkan hasil uji coba vaksin yang jauh melebihi harapan.
"Kami akan memiliki vaksin yang dapat menghentikan COVID-19," kata Presiden Moderna Stephen Hoge dalam wawancara telepon.
Analisis sementara Moderna didasarkan pada 95 infeksi di antara peserta uji coba yang menerima plasebo atau vaksin. Dari jumlah tersebut, hanya lima infeksi terjadi pada mereka yang menerima vaksin, yang diberikan dalam dua suntikan dengan selang waktu 28 hari.
"Memiliki lebih dari satu sumber vaksin yang efektif akan meningkatkan pasokan global dan, dengan keberuntungan, membantu kita semua untuk kembali ke keadaan normal sekitar tahun 2021," kata Eleanor Riley, profesor imunologi dan penyakit menular di Universitas Edinburgh.
Moderna berharap memiliki cukup data keamanan yang diperlukan untuk mendapatkan otorisasi AS sekitar minggu depan dan perusahaan berharap untuk mengajukan otorisasi penggunaan darurat (EUA) dalam beberapa minggu mendatang.
Bersama vaksin Pfizer Inc, yang juga lebih dari 90 persen efektif, dan menunggu lebih banyak data keamanan dan tinjauan peraturan, AS kemungkinan sudah akan memiliki dua vaksin yang disahkan untuk penggunaan darurat pada Desember, dengan sebanyak 60 juta dosis vaksin tersedia tahun ini.
Tahun depan, pemerintah AS kemungkinan bisa memiliki persediaan satu miliar dosis, itu baru dari dua produsen vaksin. Jumlah tersebut lebih dari yang dibutuhkan bagi 330 juta penduduk di negara itu.
Kedua vaksin COVID-19 itu, yang sama-sama dikembangkan dengan teknologi baru messenger RNA (mRNA), mewakili alat yang ampuh untuk melawan pandemi tersebut, yang telah menginfeksi 54 juta orang di seluruh dunia dan membunuh 1,3 juta orang.
Berita dari Moderna itu juga tiba pada saat kasus COVID-19 melonjak dan mencapai rekor baru di AS serta mendorong beberapa negara Eropa kembali menerapkan penguncian wilayah.
Sumber: Reuters