Jakarta (ANTARA) - Ramadhan 1441 Hijriah atau pada 2020 Masehi di seluruh dunia, tak terkecuali di Indonesia, dilalui dalam masa pandemi global COVID-19 yang hingga H-5 Lebaran (Idul Fitri) masih berlangsung.
Tentu saja, dalam situasi krisis bencana non-alam dari COVID-19 ini membutuhkan penyesuaian-penyesuaian dalam melaksanakan ibadah Ramadhan, khususnya terkait shalat berjamaah wajib lima waktu, seperti biasanya di masjid atau mushala, dan pula seperti shalat tarawih.
Situasi tidak normal saat ini kemudian membawa pada seruan-seruan untuk melaksanakan ibadah Ramadhan dengan suasana baru dan berbeda dari tahun-tahun sebelumnya.
Sebelum Ramadhan 1441 Hijriah tiba, sebenarnya seruan dari kalangan ulama tentang bagaimana menjalankan ibadah dalam situasi pandemi juga sudah ada.
Presiden Joko Widodo di Istana kepresidenan Bogor, Ahad (15/3) 2020
meminta agar masyarakat Indonesia bekerja, belajar, dan beribadah di rumah karena masifnya penyebaran virus corona jenis baru penyebab COVID-19 itu.
"Dengan kondisi seperti ini saatnya kita bekerja dari rumah, belajar dari rumah, ibadah di rumah. Inilah saatnya bekerja bersama-sama saling tolong menolong dan bersatu padu, gotong royong. Kita ingin ini menjadi gerakan masyarakat agar masalah COVID-19 ini tertangani dengan maksimal," kata Kepala Negara.
Khusus terkait dengan kegiatan ibadah tersebut, Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat akhirnya mengeluarkan Fatwa Nomor 14 Tahun 2020 tentang "Penyelenggaraan Ibadah Dalam Situasi Terjadi Wabah COVID-19" pada tanggal 21 Rajab/16 Maret 2020 Masehi.
Mengganti shalat
Secara garis besar, substansi dari Fatwa MUI itu diantaranya setiap orang wajib melakukan ikhtiar menjaga kesehatan dan menjauhi setiap hal yang diyakini dapat menyebabkannya terpapar penyakit, karena hal itu merupakan bagian dari menjaga tujuan pokok beragama (al-Dharuriyat al-Khams).
Kemudian, orang yang telah terpapar virus corona, wajib menjaga dan mengisolasi diri agar tidak terjadi penularan kepada orang lain. Baginya Shalat Jumat dapat diganti dengan Shalat Dzuhur di tempat kediaman, karena Shalat Jumat merupakan ibadah wajib yang melibatkan banyak orang sehingga berpeluang terjadinya penularan virus secara massal.
Selain itu, haram melakukan aktivitas ibadah sunnah yang membuka peluang terjadinya penularan, seperti jamaah shalat lima waktu/ rawatib, Shalat Tarawih dan Id di masjid atau tempat umum lainnya, serta menghadiri pengajian umum dan tabligh akbar.
Orang yang sehat, dalam hal ia berada di suatu kawasan yang potensi penularannya tinggi atau sangat tinggi berdasarkan ketetapan pihak yang berwenang maka ia boleh meninggalkan Shalat Jumat dan menggantikannya dengan Shalat Dzuhur di tempat kediaman, serta meninggalkan jamaah shalat lima waktu/rawatib, Tarawih, dan Id di masjid atau tempat umum lainnya.
Sedangkan dalam hal ia berada di suatu kawasan yang potensi penularannya rendah berdasarkan ketetapan pihak yang berwenang maka ia tetap wajib menjalankan kewajiban ibadah sebagaimana biasa dan wajib menjaga diri agar tidak terpapar virus corona, seperti tidak kontak fisik langsung (bersalaman, berpelukan, cium tangan), membawa sajadah sendiri, dan sering membasuh tangan dengan sabun.
Sementara, dalam kondisi penyebaran COVID-19 tidak terkendali di suatu kawasan yang mengancam jiwa, umat Islam tidak boleh menyelenggarakan shalat Jumat di kawasan tersebut, sampai keadaan menjadi normal kembali dan wajib menggantikannya dengan shalat dzuhur di tempat masing-masing.
Demikian juga tidak boleh menyelenggarakan aktivitas ibadah yang melibatkan orang banyak dan diyakini dapat menjadi media penyebaran COVID-19, seperti jamaah shalat lima waktu/rawatib, Shalat Tarawih dan Id di masjid atau tempat umum lainnya, serta menghadiri pengajian umum dan majelis taklim.
MUI menyatakan bahwa hendaknta pemerintah menjadikan fatwa ini sebagai pedoman dalam upaya penanggulangan COVID-19 terkait dengan masalah keagamaan dan umat Islam wajib menaatinya.
Rujukan
Di dalam tarikh (sejarah) Islam, ada rujukan yang bisa dijadikan contoh, yakni kisah masyhur pada era kekhalifahan Umar bin Khattab.
Itu terjadi di tahun keenam masa kepemimpinan Umar bin Khattab, pada tahun 18 Hijriah atau 561 Masehi. Kala itu, umat Islam diuji dengan wabah penyakit mematikan yang dikenal dengan Tha'un 'Awamas, yang disebutkan terjadi di sebuah desa kecil di Damaskus.
Dengan proses musyawarah yang alot dengan para sahabat yang lain, baik dari kalangan Muhajirin dan Anshar, salah satu sahabat yakni
Abdurrahman menyampaikan pesan Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan dalam hadits riwayat (HR) Bukhari, Muslim, dan Ahmad) yang menyatakan:
"Jika kalian mendengar adanya wabah di suatu negeri maka janganlah kalian memasukinya. Namun, jika terjadi wabah di tempat kalian berada maka jangan tinggalkan tempat itu."
Lalu, sang khalifah memilih untuk menghindari wabah penyakit yang mematikan itu dan tidak melanjutkan perjalanan.
Penceramah di Radio Fajri (90,3 FM) Bogor ustadz Muadz Hendrisman, S.Ud menyatakan bahwa dengan apa yang terjadi pada masa kekhalifahan Umar bin Khattab itu, sudah jelas bahwa umat Islam bisa menjadikan rujukan utamanya.
Bila dikaitkan dengan situasi COVID-19 saat ini, kata dia, para ulama telah memberikan nasihatnya, di mana saat ini juga diperkuat dengan pandangan para ahli kesehatan.
Karena sudah ada nasihat baik dari sisi ilmu keagamaan dan kesehatan, maka mestinya umat Islam bisa menjadikan rujukan bagaimana beribadah di saat sedang terjadi wabah penyakit.
"Bahwa ada pandangan yang masih berbeda, itu wajar-wajar saja. Namun, perlu ikhtiar untuk menjauhi bahaya," katanya.
Ketua Umum nonaktif Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH Ma'ruf Amin pun melihat bahwa selama masa pandemi COVID-19, penyesuaian tata cara ibadah dilakukan bukan lah untuk mencari kemudahan, namun dalam rangka menghadapi kondisi kritis yang terjadi secara global.
"Ini, saya kira, bukan dalam arti mencari sesuatu yang mudah-mudah saja, bukan juga dalam arti berlebihan dalam mencari kemudahan. Akan tetapi, ini adalah dalam rangka keadaan yang kritis," kata Ma'ruf Amin yang juga Wapres itu.
Tetap bisa
Lalu, dengan penyesuaian yang ada --khususnya dengan pola ibadah di rumah-- apakah umat Islam masih bisa mereguk kemuliaan bulan Ramadhan?
Tentu saja bisa, karena semua peribadatan yang bersifat wajib (fardhu) dan sunnah tetap bisa dilaksanakan. Persoalannya adalah sebatas "memindahkan" yang semula berjamaah di masjid atau mushala, karena ada wabah penyakit dialihkan sementara ke rumah.
"Selama pandemi ini, tak dapat dipungkiri ada perasaan tidak terbiasa, namun dengan pertimbangan kemaslahatan yang lebih baik, ibadah-ibadah bisa dilakukan di rumah," kata ustadz Muadz Hendrisman.
Ketua Umum Pimpinan Pusat Muslimat Nahdlatul Ulama (PP Muslimat NU) Khofifah Indar Parawansa menyebut bahwa dalam situasi saat ini umat Islam dapat menjadikan rumahnya masing-masing sebagai pesantren selama Ramadhan 1441 Hijriah.
"Di bulan suci ini, mari jadikan rumah kita masing-masing sebagai pesantren dan fokus beribadah di hadapan Allah SWT," katanya.
Khofifah, yang juga Gubernur Jawa Timur itu menambahkan bahwa pada Ramadhan di tengah pandemik COVID-19 saat ini harus bisa diambil hikmahnya dan menjadi kesempatan bagi umat Islam untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Menurut dia banyak hikmah yang bisa diambil, seperti melakukan tetap tadarus dan khataman Al Quran dari rumah. Juga ibadah lainnya, termasuk bisa mengaksesnya melalui aplikasi tentang Islam dari teknologi informasi yang ada.
"Karena itu, marilah tetap kita maksimalkan ibadah kita di Ramadhan ini," katanya.
Sejatinya, tak ada halangan yang berarti dalam pelaksanaan ibadah Ramadhan 1441 Hijriah di tengah pandemi saat ini, dengan rujukan syari' yang ada, sehingga umat Islam yang sedang melaksanakan shaum (puasa) tetap dapat mereguk kemuliaan-kemuliaan Ramadhan.*
Mereguk kemuliaan bulan Ramadhan pada masa pandemi
Di bulan suci ini, mari jadikan rumah kita masing-masing sebagai pesantren dan fokus beribadah di hadapan Allah SWT