Beda virus dan bakteri menurut peneliti

id virus corona, corona virus, covid-19,SISJ, AJI Jakarta,seminar virtual,jakarta,penanganan corona,corona,covid-19,2019-nc,berita sumsel, berita palemba

Beda virus dan bakteri menurut peneliti

Slide ilustrasi gambar perbedaan antara virus dan bakteri (ANTARA/HO-Frilasita Aisyah)

Jakarta (ANTARA) - Virus corona (COVID-19) memicu beredarnya banyak informasi di masyarakat yang belum teruji kebenarannya, salah satunya terkait 
perbedaan antara virus dan bakteri.

Koordinator Emerging Virus Research Unit Eikjman Laboratory Jakarta, Frilasita Aisyah di Jakarta, Selasa, menjelaskan, virus dan bakteri tidaklah sama.

"Bakteri itu makhluk hidup, virus itu antara hidup dan mati, kalau ilmuwan menyebutkan seperti itu," kata Frilasita dalam Seminar dan Diskusi Meliput COVID-19.

Frilasita menjelaskan, virus termasuk dalam kelompok mikroorganisme, yakni makhluk hidup yang sangat kecil dan tidak dapat dilihat dengan mata. Untuk melihatnya harus menggunakan mikroskop elektron yang menggunakan cahaya.

"Mikroorganisme itu ada beberapa jenis, yakni bakteri, virus, fungi, algae dan protozoa," kata dia dalam seminar yang diselenggarakan melalui platform aplikasi komunikasi itu.

Baca juga: Yurianto : Kondisi Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi stabil

Virus sebagai bagian dari mikroorganisme bersifat parasit dan hanya dapat hidup dalam sel inang sehingga tidak bisa hidup di luar sel.

Kunci dari kesuksesan virus untuk bertahan hidup adalah strukturnya yang simpel, karena hanya terdiri dari sedikit material genetik berupa DNA dan RNA yang dibungkus dalam kapsul protein.

Kebanyakan virus ukurannya kecil dalam nano meter tetapi ada juga ukuran besar. Virus tidak dapat hidup di luar sel inang dalam waktu yang lama.

"Jadi dia (virus) harus jadi parasit, dia harus hidup pada 'host' tertentu untuk tetap hidup dan berkembang biak untuk kelangsungan hidup selanjutnya," kata wanita yang akrab disapa Sisi itu.

Sejarah penemuan virus pertama kali tahun 1883 oleh seorang ahli mikrobiologi bernama A Mayer yang melakukan percobaan dengan menyemprotkan ekstrak daun tembakau yang sakit kepada daun tembakau yang sehat.

Baca juga: Pemerintah yang berwenang larang ibadah berjamaah terkait COVID-19, kata MUI

Hasil percobaan tersebut, yakni setelah daun tembakau yang sehat disemprot ekstrak daun tembakau yang sakit ternyata membuat daun tembakau menjadi sakit.

Lalu 10 tahun kemudian dilakukan percobaan lagi oleh Dimitri Ivanovsky, seorang ahli botani. Dia tahun 1892 menemukan bahwa ternyata hasil percobaan pertama daun tembakau yang sakit bukan disebabkan oleh bakteri tapi karena makhluk yang lebih kecil lagi.

"Baru 100 tahun kemudian ditemukan ternyata penyakit tembakau memiliki jasad hidup yang dinamakan virus," kata Sisi.

Pada saat itu virus dinamakan "contagium vivum" sebagai frase pertama yang digunakan untuk menggambarkan virus.

"Kenapa masyarakat sulit membedakan antara virus dan bakteri, karena ketika seseorang sakit memiliki gejala yang mirip, ketika ke dokter biasanya tidak bisa dibedakan antara infeksi virus atau bakteri," katanya.

Baca juga: Dokter senior Handoko ikut berjuang lawan COVID-19

Sisi mengatakan, virus dan bakteri berbeda. Ada tiga hal utama yang membedakan keduanya, yaitu secara ukuran, struktur maupun biologis keduanya berbeda.

Biasanya bakteri ukurannya jauh lebih besar dan dapat dilihat dengan mikroskop cahaya. Sedangkan virus biasanya ukurannya lebih kecil sehingga membutuhkan mikroskop yang lebih canggih, yaitu mikroskop elektron untuk melihatnya.

Sedangkan bakteri, kata dia, "uniceluler" dan secara biologi memiliki dinding sel ribosom dan dapat bereproduksi sendiri. Kalau virus tidak memiliki sel, juga antara hidup dan mati serta membutuhkan sel inang untuk bereplikasi.

"Sehingga tidak seperti bakteri, virus ini bersifat parasit tidak bisa bereplikasi sendiri, dan yang paling penting kalau sakit antibiotik itu hanya dapat membunuh bakteri tapi tidak dapat membunuh virus, ini banyak yang salah," kata Sisi.

Seminar dan diskusi Meliput COVID-19 virtual dilaksanakan oleh Asosiasi Jurnalis Sains Indonesia (SISJ) bekerjasama dengan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta yang pertama kali di Indonesia diadakan dengan platform "WhatsApp".

Kegiatan ini didukung oleh Akademi Ilmuwan Muda Indonesia (ALMI) yang sebagian anggotanya menjadi pembicara.

Sejumlah pembicara yang mengisi seminar selain Frilasita, juga ada Ahmad Utomo (Principal Investigation di Stem Cell and Cancer Research Institue, Jakarta), Barry Juliandi (Sekretaris Jenderal ALMI) serta Nurul Nadia (konsultan kesehatan masyarakat).