Fenomena haji minimalis di Indonesia

id Haji 2019, media center haji 2019, mch 2019,kemenag,haji minimalis,berita sumsel, berita palembang, antara sumsel, antara palembang, antara hari ini,

Fenomena haji minimalis di Indonesia

Mantan Direktur Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah Kemenag Abdul Djamil di Asrama Haji Pondok Gede Jakarta Timur, Rabu malam. (ANTARA/Hanni Sofia)

Jakarta (ANTARA) - Fenomena haji minimalis atau menjalankan ibadah haji dengan kemampuan penguasaan manasik dan doa-doa yang terbatas dinilai banyak berkembang di kalangan jemaah haji Indonesia.

“Banyak yang pada akhirnya memilih jalan pintas menjadi jamaah haji minimalis,” kata Mantan Direktur Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah, Kementerian Agama Abdul Djamil di Asrama Haji Pondok Gede Jakarta Timur, Rabu malam.

Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo Semarang itu hadir memberikan materi dalam acara Pembekalan Terintegrasi Petugas Haji Arab Saudi Tahun 1440 H/2019 untuk memberikan motivasi kepada 1.108 petugas haji yang segera bertugas pada masim haji tahun ini.

Abdul Jamil yang juga pemerhati haji itu mengatakan banyak jemaah haji hanya mengandalkan doa sapu jagat yakni "rabbana atina fiddunya hasanah, wa fil akhirati hasanah wa qina ‘adzabannar".

Selain itu mereka juga banyak tergantung pada pembimbing haji bahkan ketika sedang melaksanakan rangkaian ibadah.

“Itulah mengapa di Tanah Suci sering didapati banyak jemaah haji Indonesia yang selalu bergerombol atau bareng-bareng selama mengikuti rangkaian ibadah. Bahkan saat ini sudah banyak KBIH yang modern dan canggih membekali jemaahnya dengan headset sehingga suara dikirimkan melalui frekuensi radio agar selalu bisa didengarkan selama menjalankan rangkaian ibadah,” katanya.

Abdul Djamil mengaku saat ini sudah jarang sekali mendapati jemaah haji yang mampu membaca langsung do’a-do’a yang ada di dalam buku panduan yang diberikan kepada jemaah.

“Mereka lebih memilih yang praktis dan minimalis. Apakah dengan seperti ini hajinya sah? Iya tetap sah,” katanya.

Meski begitu ia menyayangkan peluang yang tidak dioptimalkan oleh jemaah haji Indonesia di Tanah Suci tersebut.

Abdul Djamil menilai perlunya ada bimbingan haji yang lebih intensif kepada calon jemaah haji Indonesia.

“Kita selalu berupaya menciptakan haji yang mandiri dalam segala hal,” katanya.

Ia juga menilai perlunya mengubah pola pikir masyarakat di Tanah Air tentang pelaksanaan ibadah haji yang umumnya belum menjadi prioritas utama dalam kehidupan. Mereka umumnya mendaftarkan haji pada usia di atas 50-60 tahun sementara antrian panjang.

Hal itulah yang menurut dia menyebabkan rata-rata usia jemaah haji Indonesia saat melaksanakan ibadahnya sudah dalam kondisi lansia dan berisiko tinggi. Padahal ibadah haji cenderung merupakan ibadah fisik yang memerlukan kesehatan yang prima.

“Medan berat cuaca ekstrim panas, arafah wukuf mabit di Mina, lontar jumrah, Aqobah, ifadhah, wada’ bagi jemaah haji yang pulang awal, Mekah pra dan pasca wukuf. Inilah yang dihadapi jemaah saat melaksanakan ibadah haji,” katanya.