Eni Maulani: saya hanya petugas partai
Jakarta (ANTARA News Sumsel) - Anggota Komisi VII DPR dari fraksi Partai Golkar Eni Maulani Saragih menegaskan bahwa dirinya hanya petugas partai dan bukan sebagai pelaku utama dalam perkara dugaan korupsi pemberian suap dalam proyek Pembangkit Listrik Tenaga Uap Mulut Tambang RIAU-1.
"Keterlibatan saya dalam proyek PLTU Riau-1 bukanlah sebagai pelaku utama sebagaimana disebutkan JPU dalam tuntutannya, tetapi semata karena saya selaku petugas partai mendapat penugasan dari pimpinan partai," kata Eni Maulani Saragih saat membacakan nota pembelaan (pledoi) di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Selasa.
Dalam perkara ini, Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK menuntut Eni agar dipenjara selama 8 tahun ditambah denda Rp300 juta subsider 4 bulan kurungan karena terbukti menerima menerima Rp10,35 miliar 40 ribu dolar Singapura.
Rinciannya, uang sejumlah Rp4,75 miliar diperoleh dari Johanes Budisutrisno Kotjo karena membantu Kotjo untuk mendapatkan proyek Independent Power Producer (IPP) Pembangkit Listrik Tenaga Uap Mulut Tambang RIAU-1 (PLTU MT RIAU-1) antara PT Pembangkitan Jawa Bali Investasi (PT PJBI), Blackgold Natural Resources (BNR) Ltd dan China Huadian Engineering Company (CHEC), Ltd.
Sedangkan gratifikasi sejumlah Rp5,6 miliar dan 40 ribu dolar Singapura diperoleh dari beberapa direktur dan pemilik perusahaan yang bergerak di bidang minyak dan gas.
Para pengusaha yang memberikan gratifikasi ke Eni adalah Prihadi Santoso selaku direktur PT Smelting sejumlah Rp250 juta, Herwin Tanuwidjaja selaku direktur PT One Connect Indonesia (OCI) sejumlah Rp100 juta dan 40 ribu dolar Singapura; Samin Tan selaku PT Borneo Lubung Energi dan Metal sejumlah Rp5 miliar dan Iswan Ibrahim selaku Presiden Direktur PT Isargas sejumlah Rp250 juta.
"Uang yang saya terima pun saya pergunakan untuk kepentingan partai, organisasi dan membantu masyarakat tidak mampu" tambah Eni.
Eni pun menyebutkan sejumlah kesalahannya.
"Kesalahan saya yang pertama adalah karena tadinya saya memandang proyek ini adalah proyek investasi dimana swasta menjadi agen yang legal, proses dan prosedur dari proyek ini benar, kepentingan negara dinomorsatukan dan rakyat akan mendapat listrik murah sehingga saya memandang kalau pun ada fee maka hal tersebut sah," ungkap Eni.
Kesalahan selanjutnya menurut Eni adalah ia memandang pemegang saham Blakgold Natural Resources (BNR) Ltd Johanes Budisutrisno Kotjo sebagai teman baik sehingga jika ada kebutuhan mendesak maka Eni menghubunginya untuk membantu sponsor kegiatan partai, kegiatan organisasi dan corporate social responsibility.
"Saya juga diperintah ketua fraksi saya selanjutnya yaitu bapak Melcias Mekeng untuk membantu perusahaan Samin Tan PT AKT (Asmin Koalindo Tuhup) di Kementerian ESDM. Saya mengakui saya bersalah karena ternyata jabatan saya sebagai anggota DPR melekat di diri saya sehingga tidak dibenarkan menerimanya," tambah Eni.
Eni menyadari dan mengakui kesalahannya tersebut maka ia mengklaim bersikap kooperatif dan terus membantu penyidik dan JPU dalam mengungkap secara lebih luas spektrum kasusnya.
"Saya pun telah mengembalikan kepada KPK sejumlah uang yang saya terima meski belum secara keseluruhan Rp4,05 miliar dan saya sudah mengupayakan pengembalian dari panitia munas sejumlah Rp713 juta ke kas KPK untuk disetor ke negara," tambah Eni.
Namun Eni mengaku kaget oleh tuntutan 8 tahun yang dibajakan JPU pada 6 Februari 2019.
"Jiwa saya hancur melihat anak saya menangis di ruang sidang ini, tidak ada rasa yang menyedihkan hati pada saat itu, saya menyesali, saya bertobat, saya menerima konsekuensi dari apa yang saya lakukan tapi saya mohon keadilan hukuman kepada Majelis Hakim yang mulia," tambah Eni.
Ia pun kaget mendengar JPU menolak permohonan justice collaborator (saksi pelaku yang bekerja sama dengan penegak hukum) untuk dirinya karena ia dianggap sebagai pelaku utama.
"Padahal sebagaimana saya sampaikan di dalam BAP dan secara konsisten dalam persidangan, bahwa diri saya sesungguhnya bukan siapa-siapa tanpa perintah petinggi partai untuk dapat berkenalan dan bekerja sama dengan pengusaha seperti Bapak Johannes B Kotjo yang merupakan pengusaha besar sejak era Presiden Soeharto. Saya pun masih orang baru di DPR RI, yang tidak mungkin tanpa perintah petinggi partai dapat ikut mengurus proyek besar seperti proyek PLTU Riau 1 ini," tegas Eni.
Sidang vonis Eni akan dilangsungkan pada 1 Maret 2019.
"Keterlibatan saya dalam proyek PLTU Riau-1 bukanlah sebagai pelaku utama sebagaimana disebutkan JPU dalam tuntutannya, tetapi semata karena saya selaku petugas partai mendapat penugasan dari pimpinan partai," kata Eni Maulani Saragih saat membacakan nota pembelaan (pledoi) di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Selasa.
Dalam perkara ini, Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK menuntut Eni agar dipenjara selama 8 tahun ditambah denda Rp300 juta subsider 4 bulan kurungan karena terbukti menerima menerima Rp10,35 miliar 40 ribu dolar Singapura.
Rinciannya, uang sejumlah Rp4,75 miliar diperoleh dari Johanes Budisutrisno Kotjo karena membantu Kotjo untuk mendapatkan proyek Independent Power Producer (IPP) Pembangkit Listrik Tenaga Uap Mulut Tambang RIAU-1 (PLTU MT RIAU-1) antara PT Pembangkitan Jawa Bali Investasi (PT PJBI), Blackgold Natural Resources (BNR) Ltd dan China Huadian Engineering Company (CHEC), Ltd.
Sedangkan gratifikasi sejumlah Rp5,6 miliar dan 40 ribu dolar Singapura diperoleh dari beberapa direktur dan pemilik perusahaan yang bergerak di bidang minyak dan gas.
Para pengusaha yang memberikan gratifikasi ke Eni adalah Prihadi Santoso selaku direktur PT Smelting sejumlah Rp250 juta, Herwin Tanuwidjaja selaku direktur PT One Connect Indonesia (OCI) sejumlah Rp100 juta dan 40 ribu dolar Singapura; Samin Tan selaku PT Borneo Lubung Energi dan Metal sejumlah Rp5 miliar dan Iswan Ibrahim selaku Presiden Direktur PT Isargas sejumlah Rp250 juta.
"Uang yang saya terima pun saya pergunakan untuk kepentingan partai, organisasi dan membantu masyarakat tidak mampu" tambah Eni.
Eni pun menyebutkan sejumlah kesalahannya.
"Kesalahan saya yang pertama adalah karena tadinya saya memandang proyek ini adalah proyek investasi dimana swasta menjadi agen yang legal, proses dan prosedur dari proyek ini benar, kepentingan negara dinomorsatukan dan rakyat akan mendapat listrik murah sehingga saya memandang kalau pun ada fee maka hal tersebut sah," ungkap Eni.
Kesalahan selanjutnya menurut Eni adalah ia memandang pemegang saham Blakgold Natural Resources (BNR) Ltd Johanes Budisutrisno Kotjo sebagai teman baik sehingga jika ada kebutuhan mendesak maka Eni menghubunginya untuk membantu sponsor kegiatan partai, kegiatan organisasi dan corporate social responsibility.
"Saya juga diperintah ketua fraksi saya selanjutnya yaitu bapak Melcias Mekeng untuk membantu perusahaan Samin Tan PT AKT (Asmin Koalindo Tuhup) di Kementerian ESDM. Saya mengakui saya bersalah karena ternyata jabatan saya sebagai anggota DPR melekat di diri saya sehingga tidak dibenarkan menerimanya," tambah Eni.
Eni menyadari dan mengakui kesalahannya tersebut maka ia mengklaim bersikap kooperatif dan terus membantu penyidik dan JPU dalam mengungkap secara lebih luas spektrum kasusnya.
"Saya pun telah mengembalikan kepada KPK sejumlah uang yang saya terima meski belum secara keseluruhan Rp4,05 miliar dan saya sudah mengupayakan pengembalian dari panitia munas sejumlah Rp713 juta ke kas KPK untuk disetor ke negara," tambah Eni.
Namun Eni mengaku kaget oleh tuntutan 8 tahun yang dibajakan JPU pada 6 Februari 2019.
"Jiwa saya hancur melihat anak saya menangis di ruang sidang ini, tidak ada rasa yang menyedihkan hati pada saat itu, saya menyesali, saya bertobat, saya menerima konsekuensi dari apa yang saya lakukan tapi saya mohon keadilan hukuman kepada Majelis Hakim yang mulia," tambah Eni.
Ia pun kaget mendengar JPU menolak permohonan justice collaborator (saksi pelaku yang bekerja sama dengan penegak hukum) untuk dirinya karena ia dianggap sebagai pelaku utama.
"Padahal sebagaimana saya sampaikan di dalam BAP dan secara konsisten dalam persidangan, bahwa diri saya sesungguhnya bukan siapa-siapa tanpa perintah petinggi partai untuk dapat berkenalan dan bekerja sama dengan pengusaha seperti Bapak Johannes B Kotjo yang merupakan pengusaha besar sejak era Presiden Soeharto. Saya pun masih orang baru di DPR RI, yang tidak mungkin tanpa perintah petinggi partai dapat ikut mengurus proyek besar seperti proyek PLTU Riau 1 ini," tegas Eni.
Sidang vonis Eni akan dilangsungkan pada 1 Maret 2019.