Padang (ANTARA News Sumsel) - Direktur Jenderal Komunikasi dan Informasi Publik Kementerian Komunikasi dan Informatika RI Rosarita Niken Widiastuti mengatakan 92,60 persen sumber hoaks berasal dari media sosial.
"Di media sosial kebebasan pers dimanfaatkan orang untuk tujuan-tujuan tertentu, sehingga seolah-olah kebebasan pers adalah bebas-sebebasnya tanpa aturan, tanpa etika sama sekali," katanya dalam diskusi publik dengan tema "Hantam Hoaks Dengan Keterbukaan Informasi" dalam rangka peringatan Hari Pers Nasional (HPN) di Padang, Kamis.
Ia mengungkapkan setiap orang terkoneksi dengan gadget atau media sosial hampir sembilan jam dalam sehari, jadi aktivitas yang lain dilakukan di sela-sela melihat gadget.
"Pekerjaan pokoknya melihat gadget yang lainnya adalah sampingan," katanya.
Faktanya di internet, katanya empat dari sepuluh orang aktif di media sosial, baik tua maupun muda, dan nyatanya manusia hanya tahan untuk tidak melihat ponsel hanya dalam waktu tujuh menit.
"Ketika dilihat pada dunia nyata tidak ada kegiatan apapun, namun di internet luar biasa sibuknya," ujar dia.
Dalam satu menit terdapat 168 juta email yang beredar, 695 ribu status facebook, serta 98 ribu cuitan twitter. Itu semua, katanya merupakan kegiatan informasi yang beredar dan tersebar dari orang ke orang dari grup ke grup dan lainnya.
Sementara, ujarnya minat baca di Indonesia sangat rendah menduduki ranking 60 dari 61 negara. Dalam setahun setiap orang Indonesia hanya membaca buku 27 lembar berarti rata-rata per bulan sekitar dua lembar.
"Sehingga dapat dipertanyakan informasi seperti apa yang tersebar dan beredar di media sosial itu," tambahnya.
Hal itu, jelasnya tentu saja berkorelasi antara kurang membaca dengan keaktifan di media sosial. Akhirnya, munculah hoaks yang beredar di masyarakat dengan begitu banyak ujaran kebencian melalui media sosial.
Oleh karena itu, ia berharap agar masyarakat berhati-hati dalam menggunakan media sosial sehingga tidak menjadi pemproduksi maupun penyebar hoaks.
"Setiap informasi yang diterima harus dicek terlebih dahulu kebenarannya, terutama yang beredar di media sosial," ujarnya.
Sedangkan, bentuk saluran hoaks adalah tulisan sebanyak 62 persen, gambar 37,50 persen dan video 0,40 persen. Sumber hoaks dari radio 1,2 persen, email 3,10 persen, media cetak 5 persen, televisi 8,70 persen, situs website 34,90 persen, dan lainnya.
Sementara itu, Ketua Komisi Informasi (KI) Tulus Subardjono mengatakan komisi itu seharusnya dapat menjadi penawar hoaks agar berita bohong hilang dengan sendirinya.
"Caranya tentu saja bisa intervensi ke masyarakat, intervensi ke media, bisa ke badan publik, dan lainnya," katanya.
Ia mengatakan dalam waktu dekat akan membuat nota kesepahaman bersama dengan PWI untuk mendorong hoaks hilang dari peredarannya.
(T.KR-MKO/Subagyo)