Jakarta (Antarasumsel.com) - Tujuan benar harus dilakukan dengan cara yang baik.
Tujuan baik harus dilakukan dengan cara yang benar.Itu pembuka
nasehat Sunan Bonang, salah satu Wali Songo, penyebar agama Islam di
Jawa abad ke-15 untuk para perampok di bawah pimpinan Gentho Lokajaya.
Alkisah, menurut cerita Kethoprak, sandiwara tradisional atau opera
Jawa, Sunan Bonang sedang melakukan perjalanan dari Tuban, Jawa Timur,
untuk kerajaan Demak, kerajaan Islam pertama di Jawa, menyusul runtuhnya
Majapahit.
Tiba-tiba ia disergap oleh segerombolan begal (perampok), ingin merampas harta yang dibawanya.
Sang Wali yang sudah mencapai tingkat pemahaman agama yang tinggi dengan tenang menghadapi para perampok itu.
Ia tidak mempan digertak "pilih harta atau nyawa". Alih-alih, Sunan
Bonang menyilakan para perampok untuk mengambil apa yang mereka minta.
Para perampok pun segera beraksi, cincin dan tongkat yang Nampak
terbuat dari emas dan berhiaskan logam mulai segera ingin diambil. Tapi
para perampok itu jatuh terjengkang ke belakang, konon karena "kuwalat"
(kena tulah) sang wali yang terkenal sakti.
Gentho Lokajaya, yang aslinya bernama Raden Mas Said, putra adipati
Tuban Wilatikta, mengamati perilaku dan apa yang terjadi dengan anak
buahnya.
Sunan Bonang yang melihat para perampok masih penasaran ingin
memiliki harta menunjuk sebatang pohon aren yang berbuah lebat sambil
berkata: "Kalau masih kurang dan lebih gampang diambil, panjat pohon
aren yang berbuah emas itu".
Para perampok pun dengan penuh nafsu memanjat pohon itu namun satu per satu jatuh, terjengkang, tunggang langgang.
Lokajaya, sang komandan perampok, terkesima melihat adegan itu.
Terbersit dalam hatinya pemahaman: "orang yang dirampok ini sangat
sakti, bukan orang sembarangan". Segera ia menjatuhkan dirinya, bersujud
minta ampun dengan mengiba; "Duh, tuan yang mulia, siapakah paduka?".
"Orang suka menyebut saya Sunan Bonang, Nak....", terdengar jawaban lunak penuh kasih.
Mendengar itu, Lokajaya mencium kaki Sunang Bonang, menangis
terisak-isak seraya mengiba: "Duh, Sang Guru, paduka yang sudah lama
hamba cari-cari. Mohon izin, hamba ingin menjadi murid paduka".
Permintaan Lokajaya diterima oleh Sunan Bonang, yang "waskitha"
(cerdas rasio dan rasa) dengan beberapa syarat untuk berguru, yakni
menjalani syariat (sholat lima waktu, yang disebut sembah raga), tarekat
(sembah cipta/kalbu untuk mengendalikan pikiran sebagai sumber
keinginan), hakekat (sembah rasa, berlaku zuhud, tanpa pamrih) agar
mencapai makrifat (pemahaman akan rahasia Allah, Sang Maha Pecinta).
Kode etik
Sebagai ketua perampok, yang berdarah biru, Lokajaya sejak awal
sudah wanti-wanti mengingatkan anak buahnya untuk tidak merampok wanita,
apalagi dengan tindakan nista, orang tua dan yang paling penting hasil
rampokan itu untuk dibagikan kepada orang miskin (kaum dhuafa).
Bukan untuk pesta pora diri sendiri dengan mabuk-mabukan akibat
menenggak minuman keras, berjudi dan perbuatan asusila, yakni pergaulan
bebas laki-perempuan yang tidak terikat pernikahan (free sex).
Lokajaya menerima begal (perampok) yang ingin bergabung dengan
baiat, mengucapkan dan mengamalkan Kode Etik Begal Tuban (KEBgT), yang
berbunyi: "Kami, Ksatria Penegak Keadilan, Kami, Ksatria Pemberantas
Kemiskinan, Kami, Ksatria Pemberantas Kemaksiatan". Alasannya, mereka
terpaksa merampok sebagai sarana membagi kekayaan bagi kaum miskin
karena belum ada sistem yang menjamin keadilan sosial.
Sasaran untuk dirampok adalah para pejabat atau penguasa kerajaan
dan pedagang yang berselingkuh untuk menumpuk harta dengan menghalalkan
segala cara demi menguasai hajat hidup anak negeri, yang umumnya miskin,
melarat, sengsara.
Lokajaya memberi contoh merampok gudang ayahnya sendiri, menguras isinya untuk dibagikan kepada kaum miskin.
Diiringi tangis sedu-sedan, Lokajaya mengungkapkan semua itu kepada
Sunan Bonang sebagai pertobatan. Sunan Bonang terkenal ahli menempa
kuningan sebagai bahan bonang, salah satu instrumen gamelan (musik Jawa)
dengan melaksanakan amalan: "Tempa pada waktu panas tertentu dengan
ketukan palu yang pas menghasilkan bunyi yang selaras dan khas".
Sunan Bonang, yang juga bernama Raden Maulana Makdum Ibrahim,
menyahut pertobatan itu dengan lemah lembut: "Tujuan baik, harus dicapai
dengan cara yang benar. Tujuan benar, harus dilakukan dengan cara yang
baik. Teladani perilaku Kanjeng Nabi Muhammad, Rasulullah".
Mendengar wejangan sang wali, Lokajaya dan anak buahnya jatuh,
terduduk, tunduk, bertobat dan siap dengan hati ikhlas mengikuti
petunjuk Sunan Bonang.
Kelak setelah lulus menempuh laku yang berat, menurut ukuran orang
biasa, berkat rahmat dan hidayah Allah, Lokakaya dinobatkan sebagai
Sunan Kalijaga, sebagai wali kesembilan atau wali penutup Tanah Jawa
oleh gurunya, Sunan Bonang.
Adegan kethoprak dipanggung, dapat berlangsung hanya sekitar satu jam, cukup seru, menggelitik dan menarik.
Penasaran? Silahkan bergabung untuk main atau sekedar menonton dan
menyimak pagelaran kethoprak Serambi Budaya binaan Dompet Dhuafa (DD)
sebagai media dakwah dengan pendekatan budaya.
*) Penulis adalah pendiri Yayasan Dompet Dhuafa, wartawan senior,
Pemimpin Umum/Pemimpin Redaksi LKBN ANTARA periode 1998-2000, dan
Direktur Utama Radio Republik Indonesia (RRI) periode 2005-2010.
Wejangan Sunan Bonang untuk para perampok
....Tujuan benar harus dilakukan dengan cara yang baik....