Sinyal positif kestabilan harga pangan di Sumsel

id Harga pangan, sembako, kebutuhan pokok, Ramadhan-Lebaran Efek, daging sapi, Agus Yudiantoro, Dinas Perdagangan, Bulog sumsel

Sinyal positif kestabilan harga pangan di Sumsel

Pedagang pasar tradisional. (ANTARA FOTO)

Palembang (Antarasumsel.com) - Harga pangan yang cenderung stabil pada Idul Fitri 1438 Hijriah, di Sumatera Selatan menjadi catatan tersendiri setelah dalam dua tahun terakhir selalu tidak luput dari "Ramadhan-Lebaran Efek".

Di Sumatera Selatan, daging sapi yang senantiasa menjadi indikator kestabilan harga pangan diketahui hanya bergerak naik dari Rp130.000 menjadi Rp140.000---Rp145.000/kg pada H-1 Lebaran. Jika pun ada pedagang yang ngotot, paling pedagang tersebut hanya bisa menaikkan hingga Rp150.000---Rp155.000/kg.

Jika merujuk pada 2016, tentunya terjadi perubahan signifikan mengingat harga daging sapi ketika itu sempat menembus angka psikologis Rp180.000/kg.

Pemerintah Provinsi Sumsel sampai memasukan daging impor beku, tapi sangat disayangkan upaya itu kurang membuahkan hasil mengingat minat masyarakat sangat rendah. Dari total 7 ton daging beku, hanya terjual sekitar 3 ton dan selebihnya terpaksa dikirim lagi ke Jakarta.

Kepala Dinas Perdagangan Provinsi Sumatera Selatan Agus Yudiantoro mengatakan pada 2017 ini terjadi perubahan mencolok. Masyarakat mulai mau mengonsumsi daging beku yang terpantau dari tingginya permintaan di pusat-pusat perbelajaan modern, Rumah Pangan Kita dan Toko Tani Indonesia.

Menurut Agus, hal ini tak lepas dari gencarnya edukasi yang dilakukan para pemangku kepentingan ke masyarakat bahwa daging beku itu sejatinya lebih menyehatkan karena darah hewan sudah seratus persen diturunkan (tidak lagi bersisa). Berbeda dengan daging segar (bakalan) mengingat daging yang dijual merupakan hewan yang baru saja dipotong.

"Saya melihat masyarakat mulai suka daging beku. Ya kenapa pula tidak suka? Padahal jika makan di hotel mau, itu kan daging beku juga," kata dia.

Kepala Bulog Divisi Regional Sumatera Selatan dan Bangka Belitung Bakhtiar AS mengatakan, selama Ramadhan---Lebaran dipasok total 24 ton daging kerbau beku impor dari India ke Sumsel.

Mula-mula, Bulog hanya minta disuplai 4 ton tapi lantaran respon masyarakat terbilang tinggi yakni dalam dua hari langsung ludes maka dilakukan pasokan tambahan.

"Lalu kami minta kirim lagi 10 ton, dan ditambah terus sehingga total yang masuk ke Sumsel dengan disebar ke sejumlah kabupaten/kota mencapai 24 ton. Jika dibandingkan tahun lalu tentunya terjadi peningkatan signifikan," kata dia.

Ke depan, Bulog akan memperkuat kerja sama dengan mitra dagang yakni Toko Tani Indonesia dan Rumah Pangan Kita untuk membuat infrastruktur lemari pendingin sehingga bisa menampung daging beku di atas 100 kg.

Bukan hanya mitra, Bulog juga akan meningkatkan kapasitas gudang milik sendiri mengingat cool storage yang ada hanya mampu menampung 4 ton. Menurutnya andai saja gudang Bulog berdaya tampung lebih besar maka angka 24 ton yang dicapai sebenarnya bisa ditingkatkan lagi.

Aminah, salah seorang warga Kota Palembang mengatakan ketertarikannya membeli daging beku ini tak lain karena harganya yang rendah jika dibandingkan daging segar yakni hanya Rp80.000/kg.

Di tengah kesulitan ekonomi yang mendera keluarganya maka daging beku ini menjadi salah satu alternatif mengingat perayaan Hari Besar dengan mengonsumsi daging menjadi kebiasaan warga Palembang. "Intinya bisa ikut Lebaran. Beli daging Rp80.000/kg tidak apa-apa," kata dia.

Lantaran capaian ini, Perum Bulog memprediksi inflasi Sumatera Selatan pada Juli akan lebih rendah dari Juni karena harga komoditas pangan cukup terkendali.

Badan Pusat Statistik (BPS) telah merilis inflasi Sumsel pada Juni 2017 sebesar 0,87 persen. Adapun, inflasi kumulatif sampai bulan tersebut 2,05 persen, sementara inflasi tahun ke tahun (yoy)-nya 4,31 persen.

Inflasi bulan Juli diperkirakan masih akan dipengaruhi oleh kenaikan tarif listrik dan transportasi pascamusim Lebaran. Sebaliknya, harga komoditas pangan diperkirakan tidak terlalu berkontribusi signifikan untuk inflasi.

Sejumlah komoditas pangan seperti beras, gula, tepung, minyak goreng, daging, dapat dikendalikan selama bulan lalu yang berimpitan dengan Ramadhan.

Menurutnya, keberhasilan ini berkat dilakukan upaya pendekteksian dini oleh beragam pemangku kepentingan lintas sektoral.

Bank Indonesia dan Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan yang mengetuai Tim Pengendali Inflasi Daerah bekerja sama dengan Kepolisian sedari awal sudah mengingatkan para pemasok untuk tidak melakukan aksi penimbunan.

Bank Indonesia juga meluncurkan aplikasi google playstore Seimusi untuk memantau harga-harga kebutuhan pokok di tingkat kabupaten/kota se-Sumsel, kemudian Bulog meluncurkan Gerakan Stabilitas Pangan.

Bawang Putih

Hanya saja ada satu komoditas yang cukup menjadi sorotan selama Ramadhan yakni harga bawang putih. Bumbu dapur ini bergerak naik dari Rp35.000 menjadi Rp80.000/kg.

Kenaikan terjadi pada satu pekan menjelang Ramadhan dan baru dapat diturunkan pada dua pekan menjelang Hari Raya setelah dilakukan beragam upaya, di antaranya meminta tambahan pasokan 10 ton dari Jakarta.

Berkurangnya pasokan bawang karena berkurangnya pasokan impor. Ketersediaan bawang putih di Indonesia hingga kini masih didominasi impor berasal dari dua negara, yakni Tiongkok dan India. Tiongkok memegang porsi mayoritas sebesar 99,25 persen, sementara India 0,65 persen.

Total impor bawang untuk periode Januari-Februari 2017 mencapai 60,9 ribu ton dengan nilai impor 70,5 juta dolar AS. Secara volume terjadi penurunan dari periode sama tahun sebelumnya, yakni 77,2 ribu ton atau sebanyak 21,13 persen. Namun, nilai impornya justru naik sebanyak 22,06 persen atau dari 57,7 juta dolar AS.

Meski demikian Inspektur Jenderal Kementerian Perdagangan Srie Agustina saat berkunjung ke Palembang 16 Juli 2017 tetap mengkalim bahwa harga sembako pada Ramadhan tahun ini cenderung lebih stabil jika dibandingkan tahun-tahun sebelumnya meski tidak menampik adanya lonjakan harga bawang putih.

Srie dalam kegiatan pasar murah di Pondok Pesantren Aulia Cendekia mengatakan, pernyataan ini dilatari data Badan Pusat Statistik yang menggambarkan terjadi penurunan inflasi dibandingkan tahun lalu.

"Malahan saya berani mengatakan bahwa terjadi perubahan yang cukup signifikan pada tahun ini. Tidak perlu merujuk kemana-mana, karena BPS sendiri sudah menampilkan datanya," kata Srie.

Ia memberikan bukti seperti yang terjadi di Jawa Timur, yakni dari delapan kota yang biasa mengalami kenaikan harga daging, ternyata tahun ini justru bisa mematok kisaran Rp89.000/kg pada pekan ini. Lebih mengejutkan, karena harga itu terjadi untuk daging sapi segar (bakalan).

Begitu pula dengan harga kebutuhan pokok lainnya berdasarkan pemantauan di sejumlah pasar tradisional, seperti harga gula pasir sudah menembus harga eceran tertinggi (het) Rp12.500/kg dan cabai merah Rp25.000-Rp30.000/kg. Selain itu, masyarakat juga mulai menyukai daging kerbau/sapi beku.

Sedangkan untuk bawang putih, menurut Srie, setelah sempat dilakukan operasi pasar oleh Bulog membuat harganya berangsur-angsur turun dari Rp70.000/kg menjadi Rp40.000/kg.

Menurutnya, capaian ini tak lain berkat langkah antisipasi sejak sebelum Ramadhan. Para pejabat di tingkat Kementerian hingga pemerintah kabupaten/kota diminta untuk turun ke lapangan menjaga kestabilan harga.

"Kami di Kementerian juga terus melakukan pertemuan dengan para pengusaha sektor hulu karena targetnya yakni bagaiamana sisi hulu mengurangi marginnya, sehingga akan berdampak ke hilir," ujar Srie.

Pengamat ekonomi dari Universitas Sriwijaya Prof Didik Susetyo, menyampaikan harga pangan yang cenderung stabil pada Lebaran tahun ini tak lain berkat kerja sama tim antara berbagai pemangku kebijakan.

Terkait penstabilan harga, pemerintah membentuk satuan tugas pangan yang terdiri atas Polri, Kementerian Pertanian, Kementerian Perdagangan.

"Tidak seperti selama ini kerja-kerjanya sendiri-sendiri, kali ini keroyokan. Saya lihat juga jajaran pejabat di kementerian juga turun ke daerah untuk memantau harga pangan," kata dia.

Melalui berbagai upaya itu, maka bisa dikatakan harga pangan pada puasa dan Lebaran tahun 2017 menjadi yang paling stabil jika dibandingkan beberapa tahun lalu. Hal ini tercermin pada inflasi Juni 2017 sekitar 0,69 persen. Penyumbang utamanya bukan lagi komoditas pangan tapi transportasi.

"Hal ini tentunya sangat positif karena menjadi sinyal bagus ke pasar. Tentunya akan menimbulkan persepsi positif bagi pelaku pasar, yang ujung-ujungnya diharapkan akan menggairahkan investasi di dalam negeri," kata dia.

Kenaikan harga pangan setiap Ramadhan dan Lebaran di negeri ini sepertinya dipandang sebagai suatu kewajaran karena senantiasa terjadi setiap tahun. Tak ayal jika kestabilan harga yang terjadi pada tahun ini justru dipandang aneh.

Tentunya masyarakat berharap apa yang telah dicapai Pemerintah Joko Widodo-Jusuf Kalla ini dapat dipertahankan, dan Indonesia seperti layaknya negara-negara di Eropa yang justru banjir potongan harga saat perayaan Natal.