Elza Syarief bantah usulkan Miryam cabut BAP

id Elza Syarief,

Elza Syarief bantah usulkan Miryam cabut BAP

Pengacara Elza Syarief (kiri) memasuki Gedung KPK untuk menjalani pemeriksaan di Jakarta, Rabu (5/4/2017). Elza Syarief diperiksa sebagai saksi terkait kasus dugaan korupsi KTP Elektronik dengan tersangka Andi Agustinus alias Andi Narogong. (ANTARA/

Jakarta (Antarasumsel.com) - Pengacara Elza Syarief membantah dirinya mengusulkan mantan Anggota Komisi II DPR dari Fraksi Partai Hanura Miryam S Haryani mencabut berita acara pemeriksaan (BAP) dalam proses penyidikan kasus pengadaan paket KTP elektronik.      
"Untuk apa saya usukan cabut BAP dia, justru saya ingin dia jadi 'justice collaborator'," katanya setelah menjalani pemeriksaan sebagai saksi dalam penyidikan kasus pengadaan KTP-E di gedung KPK, Jakarta, Rabu.

Elza mengaku selalu memberikan saran yang baik sebelum Miryam menjadi saksi di persidangan perkara KTP-E pada Kamis (23/3).

"Saya selalu memberikan saran yang baik, bicara sesuai dengan fakta yang ada karena kan di KPK lengkap ada alat perekam suara dan videonya juga ada," tuturnya.

Ia juga mengatakan kepada Miryam, apabila menghalang-halangi penyidikan, maka ancaman hukumannya juga tinggi.

"Misalnya, kalau sampai memberikan keterangan palsu di bawah sumpah itu kan bisa kena 12 tahun kalau menghalang-halangi penyidikan. Sedangkan kalau gratifikasi kan ancamannya lima tahun, jadi kan rugi banget," ucap Elza.

Sementara itu, Juru Bicara KPK Febri Diansyah menyatakan ada delapan orang saksi yang diperiksa KPK pada Rabu untuk tersangka Andi Agustinus alias Andi Narogong dalam perkara proyek pengadaan KTP elektronik itu.

"Salah satu saksi adalah pengacara Elza Syarief yang kami panggil untuk klarifikasi sejumlah hal terkait datangnya saksi Miryam ke kantor Elza Syarief menyampaikan ada tekanan atau hal lain, itu yang kami dalami lebih lanjut. Siapa saja pihak yang melakukan tekanan ke saksi, sehingga mendorong saksi untuk ubah keterangan dalam persidangan," ucap Febri.

Dalam persidangan pada Kamis (23/3) di Pengadilan Tipikor Jakarta diketahui Miryam S Haryani mengaku diancam saat diperiksa penyidik terkait proyek kasus KTP-E.

"BAP isinya tidak benar semua, karena saya diancam sama penyidik KPK tiga orang, diancam pakai kata-kata. Jadi, waktu itu dipanggil tiga orang penyidik," jawab Miryam sambil menangis.

Terkait hal itu, Miryam dalam persidangan juga menyatakan akan mencabut BAP atas pemeriksaan dirinya.

Dalam dakwaan disebut Miryam menerima uang 23 ribu dolar AS terkait proyek sebesar Rp5,95 triliun tersebut.

Terdakwa dalam kasus ini adalah Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Irman dan Pejabat Pembuat Komitmen Dukcapil Kemendagri Sugiharto.

Atas perbuatannya, Irman dan Sugiharto didakwa berdasarkan Pasal 2 ayat (1) atas Pasal 3 UU No 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Pasal tersebut mengatur tentang orang yang melanggar hukum, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya jabatan atau kedudukan sehingga dapat merugikan keuangan dan perekonomian negara dan memperkaya diri sendiri, orang lain atau korporasi dengan ancaman pidana penjara maksimal 20 tahun denda paling banyak Rp1 miliar.

KPK juga menetapkan pengusaha Andi Agustinus alias Andi Narogong dan mantan Anggota Komisi II DPR RI 2009-2014 Fraksi Partai Hanura Miryam S Haryani sebagai tersangka dalam perkara tersebut.

Andi disangkakan pasal 2 ayat (1) atas pasal 3 UU No 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Korupsi jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo pasal 64 ayat (1) KUHP dengan ancaman pidana penjara maksimal 20 tahun denda paling banyak Rp1 miliar.

Sementara Miryam S Haryani disangkakan melanggar Pasal 22 juncto Pasal 35 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi.

Pasal tersebut mengatur mengenai orang yang sengaja tidak memberi keterangan atau memberi keterangan yang tidak benar dengan ancaman pidana paling lama 12 tahun dan denda paling banyak Rp600 juta.