Bengkulu, (ANTARA News) - Dimana ada kemauan, disitu ada jalan.
Ungkapan ini tepat untuk menggambarkan upaya Rudy Marten, warga
Kelurahan Sumur Meleleh Kota Bengkulu yang menciptakan alat peringatan
dini tsunami dengan teknologi sederhana.
Latar belakang sebagai pedagang lontong yang sehari-hari berjualan
di depan Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Malabero tidak membatasinya
dalam berkreasi dan menciptakan alat yang berguna bagi orang banyak.
Teknologi cepat dan tepat guna itu ia ciptakan dari peralatan
sederhana yang kini terpasang di enam rumah di Kelurahan Sumur Meleleh
Kecamatan Teluk Segara.
"Sudah satu tahun terakhir alat ini kami siagakan di enam rumah,
dimana setiap satu RT ada satu rumah yang dititipkan alat sirene
tsunami," kata Rudy saat ditemui di rumah Wahidin, dimana satu alat
deteksi dini dan sirene tsunami terpasang, Kamis.
Pria kelahiran Medan, 12 Agustus 1972 ini mengatakan kondisi
Provinsi Bengkulu yang rawan gempa menjadi titik awal dalam merancang
alat deteksi dini tsunami itu.
Selain itu, bersama Hema Malini dan Al Adhiyat, istri dan anaknya,
mereka bermukim di pesisir pantai yang hanya berjarak 50 meter dari
bibir laut.
"Sebenarnya sejak gempa besar yang menggoncang Bengkulu tahun 2000
saya sudah berpikir untuk membuat alat peringatan tsunami, lalu bencana
tsunami menerjang Aceh pada tahun 2006 membuat tekad saya semakin
kuat," katanya.
Bersama kelompok Pengurangan Resiko Bencana (PRB) Sumur Meleleh,
Rudy mulai merancang alat peringatan dini berupa sirene dan kotak
otomatis secara swadaya.
Awalnya kata dia, pembuatan alat itu menggunakan berbagai material
dan bentuk namun kerap gagal. Upaya mengubah bentuk dan inovasi alat
deteksi tsunami akhirnya berhasil menciptakan alat yang dapat berbunyi
secara otomatis.
Peralatan sederhana untuk deteksi tsunami dibuat dari kotak
berbahan kayu yang berisi bandul seberat 250 gram dan digantung di salah
satu tiang dalam rumah.
Melalui kabel yang dialiri listrik, alat tersebut dihubungkan dengan sirene yang dipasang di luar rumah.
"Kalau getaran gempa kuat maka bandul itu akan bergoyang lalu
secara otomatis akan mengirim getaran untuk membunyikan sirene,"
katanya.
Awalnya kata dia, cukup sulit untuk menekan sensitivitas kotak
berisi bandul itu, sebab jika terlalu sensitif getaran kecil saja dapat
membuat sirene berbunyi.
Untuk mengatasi hal itu, bersama kelompok PRB yang beranggotakan
20 orang, ia terus melakukan inovasi hingga menciptakan kotak berisi
bandul yang diberi penopang berupa kawat sehingga tidak gampang
bergoyang.
"Sirene ini kami targetkan berbunyi jika kekuatan gempa sekitar 7
SR yang ditandai dengan perabotan rumah yang berjatuhan, berarti
berpotensi tsunami," tambahnya.
Bunyi sirene tersebut kata dia, dapat didengar dari jarak 50 meter
dan saat ini sudah ada enam alat deteksi dini di enam rumah anggota
kelompok.
"Untuk kelurahan Sumur Meleleh ada enam RT, tapi sudah pemekaran
menjadi tujuh RT, jadi masing-masing RT memiliki satu alat. Kami sedang
membuat satu alat untuk RT 7," katanya.
Lima menit
Wahidin, anggota kelompok PRB yang memelihara satu alat deteksi
dan sirene tsunami itu, mengatakan lebih yakin dengan alat deteksi dini
itu dibanding peralatan bantuan pemerintah.
"Karena ini berbunyi otomatis, jadi saat gempa terjadi walaupun
malam hari kita bisa cepat terjaga dan menyelamatkan diri," katanya.
Sementara alat sirene tsunami bantuan pemerintah yang harus
dioperasikan secara manual. Alat tersebut juga disambungkan dengan
tenaga listrik dari genset.
"Saat gempa datang, tidak ada yang ingat untuk membunyikan alat
itu, apalagi harus menghidupkan genset lebih dulu," tambahnya.
Kesempatan menyelamatkan diri saat gempa dan tsunami sangat
tergantung pada kecepatan peringatan dini tersebut serta kesiapsiagaan
masyarakat.
Rudy mengatakan, pembuatan alat deteksi tsunami dan sirene itu akan membantu warga menyelamatkan diri dalam lima menit.
"Alat ini membantu kami untuk mengingatkan segera bergegas
menyelamatkan diri, karena saat bencana terjadi keselamatan kita
bergantung pada diri kita sendiri," katanya menjelaskan.
Meski belum pernah berbunyi secara otomatis, alat tersebut tetap dirawat sebagai bentuk kesiapsiagaan.
Bentuk perawatan kata dia, warga di kelurahan tersebut juga
menggunakan sirene itu untuk mengumpulkan warga jika ada yang meninggal
atau acara pesta.
"Ada tiga warna sirene yang kami pasang yaitu merah untuk rumah
yang berada di bawah 100 meter dari bibir pantai, sirene kuning untuk
rumah berjarak 100 hingga 200 meter dan warna biru di atas 200 meter,"
tambahnya.
Jika di kelurahan tersebut ada warga yang meninggal dunia maka
sirene kuning akan dibunyikan, sedangkan sirene biru berbunyi jika ada
acara pesta pernikahan dan pesta syukuran lainnya.
Pria yang pernah mengecap pendidikan di perguruan tinggi selama
tiga semester ini berharap pemerintah dapat mengembangkan teknologi
sederhana tepat guna itu untuk membantu kesiapsiagaan masyarakat pesisir
menghadapi gempa dan tsunami.
"Pembuatannya cukup sederhana, modal Rp1 juta sudah bisa untuk
mengingatkan satu RT, sedangkan menara tsunami yang dibangun pemerintah
dengan dana miliaran sampai hari ini belum selesai," katanya.
(ANT-RNI/Parni)
Berita Terkait
Pencipta ChatGPT ingin kembangkan LLM yang dapat lahirkan temuan baru
Rabu, 14 Juni 2023 17:11 Wib
Royalti hak cipta lagu diberikan pada pencipta dan pemegang hak
Jumat, 9 April 2021 15:57 Wib
Pencipta lagu anak-anak Papa T Bob meninggal dunia
Jumat, 10 Juli 2020 13:48 Wib
Glenn Fredly, penyanyi dan pencipta lagu paling romantis
Kamis, 9 April 2020 11:36 Wib
Darmin, pencipta varietas unggul tamatan SD
Rabu, 16 Oktober 2019 13:18 Wib
Pencipta "Pacarku Si Otaku" ungkap tantangan sebagai komikus
Sabtu, 5 Oktober 2019 18:21 Wib
Delapan lagu berbahasa daerah Palembang siap dirilis
Jumat, 26 April 2019 10:34 Wib
Pencipta Spider-Man, tutup usia 95 tahun
Selasa, 13 November 2018 8:42 Wib