Jakarta (ANTARA) - Dusun Pantai Mangkiling, sebuah baluarti alam terpencil di Kecamatan Hantakan, Kabupaten Hulu Sungai Tengah, Kalimantan Selatan, menjadi saksi sebuah tradisi luhur yang telah diwariskan dari generasi ke generasi di masyarakat Suku Dayak Meratus.
Maliu, mungkin masih asing di telinga banyak orang. Ini adalah sebuah ritual menangkap ikan sungai yang dilakukan beramai-ramai secara tradisional. Bukan sekadar tradisi lokal, ia adalah perekat kebersamaan dan keharmonisan di tengah hutan hujan tropis Pegunungan Meratus.
Tradisi tersebut hanya dapat ditemukan ketika musim kemarau tiba yang melibatkan seluruh masyarakat Dusun Pantai Mangkiling, bahkan sampai desa tetangga, sehingga menghadirkan momen kebersamaan penuh makna setiap tahunnya.
Suasana damai dan alami hutan Pegunungan Meratus menjadi latar belakang yang sempurna bagi perayaan kegiatan itu.
Pagi yang berseri menjadi saksi ketika sekelompok warga mulai berkumpul di pinggir sungai yang mengalir tenang di ujung dusun mereka. Masyarakat setempat bersiap-siap menyambut hari penuh makna ini.
Di pagi itu, berdasarkan hasil rembuk warga bersama tokoh adat, saat itu adalah waktu yang tepat dilaksanakan Tradisi Maliu. Di tengah para pemuda dan warga dusun lainnya turun tangan mempersiapkan segala kebutuhan untuk menjalankan tradisi tersebut, seorang tetua adat memimpin ritual pemanggilan dan perlindungan.
Dengan suara menggema memenuhi udara, menciptakan atmosfer sakral yang mempersatukan hati setiap orang yang hadir, ritual ini tidak hanya untuk mendapatkan ikan, tetapi juga sebagai ungkapan syukur kepada roh alam dan sebagai wujud penghargaan terhadap sumber daya sungai yang menyuburkan.
Setelah ritual selesai dan semua persiapan dilakukan dengan semangat gotong-royong, menciptakan iklim kebersamaan yang tak tergantikan. Mereka secara beramai-ramai turun ke sungai yang bernama Kapiyau, yang ada di ujung kampung.
Masyarakat dayak Meratus bergotong royong melakukan tabatan liuan (menutup sungai) saat tradisi Maliu (menangkap ikan) di sungai Kapiyau, Dusun Pantai Mangkiling, Kabupaten Hulu Sungai Tengah, Kalimantan Selatan. ANTARA/Bayu Pratama Syahputra.
Meriah
Dalam proses menangkap ikan, warga terlebih dulu bersama-sama membendung aliran sungai dengan batu dan tanah agar aliran sungai bisa terbagi.
Tujuan dari pembendungan ini adalah untuk mengalihkan aliran sungai, menciptakan kondisi di mana air satu sisi tetap deras, sementara sisi lainnya mengalami surut.
Teknik pembendungan sungai yang teliti menjadi kunci keberhasilan Maliu. Dengan menggunakan batu-batu dan tanah, warga bekerja bersama-sama membangun dinding yang mampu mengalihkan arus sungai.
Proses ini memerlukan kerja sama yang baik, di mana setiap orang memegang peran penting dalam memastikan dinding pembendungan mampu menciptakan kondisi yang diinginkan.
Setelah pembendungan selesai, aliran sungai terbagi menjadi dua. Sisi satu tetap mengalir deras, menciptakan keadaan seperti aliran sungai pada umumnya. Sisi lainnya, yang mengalami surut, membentuk genangan air di antara tumpukan batu dan tanah. Inilah tempat di mana Tradisi Maliu akan dilaksanakan.
Saat air satu sisi sudah surut yang memperlihatkan tumpukan batu dari kecil hingga besar menyisakan genangan air pada celahnya, warga kemudian melarutkan akar tuba yang diambil dari alam sekitar.
Akar tuba tersebut telah menjadi bagian integral dari proses menangkap ikan dalam tradisi ini. Getah dari akar tuba tersebut kemudian dilarutkan ke aliran sungai di bagian yang telah surut.
Ikan yang terkena akar tuba tersebut akan pingsan dan muncul ke permukaan air, hal ini membuat proses menangkap ikan menjadi lebih mudah bagi warga.
Seketika berbagai jenis ikan sungai yang ada di wilayah tersebut, seperti baung dan jelawat, timbul, yang membuat proses panen ini cukup meriah, karena ketika itu warga bergegas menuju genangan air yang telah dilarutkan getah dari akar tuba dan dibarengi canda ria warga setelah selesai menangkap ikan.
"Ulun dapat satu ini ganal banar iwaknya, lajui mana wadahnya gasan iwaknya?,(aku dapat satu besar sekali ikannya, cepat mana tempat untuk ikannya)," teriak salah satu warga yang berhasil mendapatkan ikan.
Ketika Matahari mencapai puncaknya di langit, warga yang membawa hasil tangkapan ikan, berkumpul di tepi sungai, menyambut dengan senyuman dan tepukan tangan yang penuh apresiasi. Ikan yang berhasil ditangkap tidak hanya dianggap sebagai hasil memancing, tetapi juga sebagai rasa syukur atas berkah alam yang melimpah.
Selanjutnya warga bersama-sama membersihkan ikan hasil tangkapannya dan menyiapkan masakan mahumbal nasi (membakar nasi di dalam potongan bambu), yang tradisi memasak khas Suku Dayak Meratus.
Tiga jam berlalu, masyarakat Dusun Pantai Mangkiling mengakhiri hari penuh makna itu dengan syukuran bersama. Ikan hasil tangkapan menjadi hidangan utama dalam perjamuan khas, disajikan dengan bumbu-bumbu tradisional yang membuatnya lezat dan penuh kenangan di tepi Sungai Kapiyau.
Pelestarian
Meskipun modernisasi terus berjalan, masyarakat Dusun Pantai Mangkiling gigih mempertahankan tradisi Maliu. Mereka menyadari pentingnya memelihara warisan budaya ini untuk generasi mendatang.
Inisiatif pelestarian dan pendidikan tentang Maliu diterapkan agar nilai-nilai tradisional ini tetap hidup dalam keseharian mereka.
Tokoh adat, sekaligus Tetua Adat Dayak Meratus Musa mengatakan tradisi Maliu tidak sekadar menjadi sarana mencari ikan sebagai sumber protein, tetapi juga sebuah perayaan yang menggambarkan kekompakan dan saling gotong-royong.
Menurut dia, Dusun Pantai Mangkiling menjunjung tinggi tradisi ini sebagai bagian integral dari identitas mereka.
Tradisi Maliu bukan hanya tentang menangkap ikan di sungai, ia adalah perjalanan spiritual, kebersamaan, dan penghargaan terhadap lingkungan.
Geopark Meratus
Sejalan dengan semangat pelestarian alam, Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan (Pemprov Kalsel) menginisiasi Geopark Meratus. Program ini bertujuan untuk melestarikan keanekaragaman hayati, geologi, dan budaya di kawasan Pegunungan Meratus.
Salah satu elemen utama dalam Geopark Meratus adalah upaya pelestarian lingkungan, yang program ini mencakup pelestarian flora dan fauna khas hutan hujan tropis, serta mempromosikan kearifan lokal masyarakat Dayak Meratus.
Melalui Geopark Meratus, pemerintah berusaha menjaga ekosistem yang rapuh dan melibatkan masyarakat dalam upaya pelestarian.
Tradisi Maliu memiliki keterkaitan erat dengan alam sekitarnya, yang sejalan dengan tujuan Geopark Meratus untuk meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap pentingnya pelestarian alam dan budaya.
Proses pembendungan sungai adalah bentuk partisipasi aktif masyarakat dalam menjaga aliran sungai dan ekosistemnya. Penggunaan akar tuba sebagai alat untuk menangkap ikan merupakan contoh bagaimana masyarakat memanfaatkan sumber daya alam secara berkelanjutan, tanpa merusak ekosistem sekitar.
Selain itu, Geopark Meratus tidak hanya ditujukan untuk pelestarian, tetapi juga sebagai tujuan ekowisata yang menarik.
Maliu, dengan segala keunikan dan keindahannya, dapat menjadi salah satu daya tarik utama wisatawan yang berkunjung ke Geopark Meratus.
Melibatkan wisatawan dalam pengalaman Maliu juga dapat menjadi sumber pendapatan tambahan untuk mendukung pelestarian dan pengembangan Geopark Meratus.
Hingga kini, Pemprov Kalsel terus mendorong Geopark (Taman Bumi) Meratus menjadi UNESCO Global Geopark (UGGp), setelah ditetapkan sebagai Geopark Nasional pada 2018.
Badan Pengelola Geopark Meratus (BPGM) mengatakan, saat ini Geopark Meratus memiliki 54 situs warisan budaya yang terbentang di wilayah Kalsel.
Dalam rentang waktu tujuh bulan ke depan, pemerintah daerah fokus memperbaiki dan membangun segala akses dan fasilitas yang belum memadai agar Geopark Meratus layak untuk mendapatkan status Global Geopark dari UNESCO.
Sejarah budaya Kalimantan Selatan dituangkan ke dalam 54 situs Geopark Meratus, yang nantinya pengunjung bisa mengetahui semua keterangan melalui papan informasi yang dipajang.
Keberlanjutan Geopark Meratus bergantung pada kolaborasi antara pemerintah, masyarakat lokal, dan pihak terkait lainnya. Program ini menciptakan platform di mana tradisi lokal, seperti Maliu dapat bersinergi dengan upaya pelestarian alam dan budaya dalam merajut keberlanjutan kawasan Pegunungan Meratus.
Kolaborasi yang baik akan memastikan bahwa Geopark Meratus tidak hanya berfungsi sebagai area konservasi, tetapi juga sebagai pusat kearifan lokal dan objek wisata yang berkelanjutan.
Maliu, mungkin masih asing di telinga banyak orang. Ini adalah sebuah ritual menangkap ikan sungai yang dilakukan beramai-ramai secara tradisional. Bukan sekadar tradisi lokal, ia adalah perekat kebersamaan dan keharmonisan di tengah hutan hujan tropis Pegunungan Meratus.
Tradisi tersebut hanya dapat ditemukan ketika musim kemarau tiba yang melibatkan seluruh masyarakat Dusun Pantai Mangkiling, bahkan sampai desa tetangga, sehingga menghadirkan momen kebersamaan penuh makna setiap tahunnya.
Suasana damai dan alami hutan Pegunungan Meratus menjadi latar belakang yang sempurna bagi perayaan kegiatan itu.
Pagi yang berseri menjadi saksi ketika sekelompok warga mulai berkumpul di pinggir sungai yang mengalir tenang di ujung dusun mereka. Masyarakat setempat bersiap-siap menyambut hari penuh makna ini.
Di pagi itu, berdasarkan hasil rembuk warga bersama tokoh adat, saat itu adalah waktu yang tepat dilaksanakan Tradisi Maliu. Di tengah para pemuda dan warga dusun lainnya turun tangan mempersiapkan segala kebutuhan untuk menjalankan tradisi tersebut, seorang tetua adat memimpin ritual pemanggilan dan perlindungan.
Dengan suara menggema memenuhi udara, menciptakan atmosfer sakral yang mempersatukan hati setiap orang yang hadir, ritual ini tidak hanya untuk mendapatkan ikan, tetapi juga sebagai ungkapan syukur kepada roh alam dan sebagai wujud penghargaan terhadap sumber daya sungai yang menyuburkan.
Setelah ritual selesai dan semua persiapan dilakukan dengan semangat gotong-royong, menciptakan iklim kebersamaan yang tak tergantikan. Mereka secara beramai-ramai turun ke sungai yang bernama Kapiyau, yang ada di ujung kampung.
Meriah
Dalam proses menangkap ikan, warga terlebih dulu bersama-sama membendung aliran sungai dengan batu dan tanah agar aliran sungai bisa terbagi.
Tujuan dari pembendungan ini adalah untuk mengalihkan aliran sungai, menciptakan kondisi di mana air satu sisi tetap deras, sementara sisi lainnya mengalami surut.
Teknik pembendungan sungai yang teliti menjadi kunci keberhasilan Maliu. Dengan menggunakan batu-batu dan tanah, warga bekerja bersama-sama membangun dinding yang mampu mengalihkan arus sungai.
Proses ini memerlukan kerja sama yang baik, di mana setiap orang memegang peran penting dalam memastikan dinding pembendungan mampu menciptakan kondisi yang diinginkan.
Setelah pembendungan selesai, aliran sungai terbagi menjadi dua. Sisi satu tetap mengalir deras, menciptakan keadaan seperti aliran sungai pada umumnya. Sisi lainnya, yang mengalami surut, membentuk genangan air di antara tumpukan batu dan tanah. Inilah tempat di mana Tradisi Maliu akan dilaksanakan.
Saat air satu sisi sudah surut yang memperlihatkan tumpukan batu dari kecil hingga besar menyisakan genangan air pada celahnya, warga kemudian melarutkan akar tuba yang diambil dari alam sekitar.
Akar tuba tersebut telah menjadi bagian integral dari proses menangkap ikan dalam tradisi ini. Getah dari akar tuba tersebut kemudian dilarutkan ke aliran sungai di bagian yang telah surut.
Ikan yang terkena akar tuba tersebut akan pingsan dan muncul ke permukaan air, hal ini membuat proses menangkap ikan menjadi lebih mudah bagi warga.
Seketika berbagai jenis ikan sungai yang ada di wilayah tersebut, seperti baung dan jelawat, timbul, yang membuat proses panen ini cukup meriah, karena ketika itu warga bergegas menuju genangan air yang telah dilarutkan getah dari akar tuba dan dibarengi canda ria warga setelah selesai menangkap ikan.
"Ulun dapat satu ini ganal banar iwaknya, lajui mana wadahnya gasan iwaknya?,(aku dapat satu besar sekali ikannya, cepat mana tempat untuk ikannya)," teriak salah satu warga yang berhasil mendapatkan ikan.
Ketika Matahari mencapai puncaknya di langit, warga yang membawa hasil tangkapan ikan, berkumpul di tepi sungai, menyambut dengan senyuman dan tepukan tangan yang penuh apresiasi. Ikan yang berhasil ditangkap tidak hanya dianggap sebagai hasil memancing, tetapi juga sebagai rasa syukur atas berkah alam yang melimpah.
Selanjutnya warga bersama-sama membersihkan ikan hasil tangkapannya dan menyiapkan masakan mahumbal nasi (membakar nasi di dalam potongan bambu), yang tradisi memasak khas Suku Dayak Meratus.
Tiga jam berlalu, masyarakat Dusun Pantai Mangkiling mengakhiri hari penuh makna itu dengan syukuran bersama. Ikan hasil tangkapan menjadi hidangan utama dalam perjamuan khas, disajikan dengan bumbu-bumbu tradisional yang membuatnya lezat dan penuh kenangan di tepi Sungai Kapiyau.
Pelestarian
Meskipun modernisasi terus berjalan, masyarakat Dusun Pantai Mangkiling gigih mempertahankan tradisi Maliu. Mereka menyadari pentingnya memelihara warisan budaya ini untuk generasi mendatang.
Inisiatif pelestarian dan pendidikan tentang Maliu diterapkan agar nilai-nilai tradisional ini tetap hidup dalam keseharian mereka.
Tokoh adat, sekaligus Tetua Adat Dayak Meratus Musa mengatakan tradisi Maliu tidak sekadar menjadi sarana mencari ikan sebagai sumber protein, tetapi juga sebuah perayaan yang menggambarkan kekompakan dan saling gotong-royong.
Menurut dia, Dusun Pantai Mangkiling menjunjung tinggi tradisi ini sebagai bagian integral dari identitas mereka.
Tradisi Maliu bukan hanya tentang menangkap ikan di sungai, ia adalah perjalanan spiritual, kebersamaan, dan penghargaan terhadap lingkungan.
Geopark Meratus
Sejalan dengan semangat pelestarian alam, Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan (Pemprov Kalsel) menginisiasi Geopark Meratus. Program ini bertujuan untuk melestarikan keanekaragaman hayati, geologi, dan budaya di kawasan Pegunungan Meratus.
Salah satu elemen utama dalam Geopark Meratus adalah upaya pelestarian lingkungan, yang program ini mencakup pelestarian flora dan fauna khas hutan hujan tropis, serta mempromosikan kearifan lokal masyarakat Dayak Meratus.
Melalui Geopark Meratus, pemerintah berusaha menjaga ekosistem yang rapuh dan melibatkan masyarakat dalam upaya pelestarian.
Tradisi Maliu memiliki keterkaitan erat dengan alam sekitarnya, yang sejalan dengan tujuan Geopark Meratus untuk meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap pentingnya pelestarian alam dan budaya.
Proses pembendungan sungai adalah bentuk partisipasi aktif masyarakat dalam menjaga aliran sungai dan ekosistemnya. Penggunaan akar tuba sebagai alat untuk menangkap ikan merupakan contoh bagaimana masyarakat memanfaatkan sumber daya alam secara berkelanjutan, tanpa merusak ekosistem sekitar.
Selain itu, Geopark Meratus tidak hanya ditujukan untuk pelestarian, tetapi juga sebagai tujuan ekowisata yang menarik.
Maliu, dengan segala keunikan dan keindahannya, dapat menjadi salah satu daya tarik utama wisatawan yang berkunjung ke Geopark Meratus.
Melibatkan wisatawan dalam pengalaman Maliu juga dapat menjadi sumber pendapatan tambahan untuk mendukung pelestarian dan pengembangan Geopark Meratus.
Hingga kini, Pemprov Kalsel terus mendorong Geopark (Taman Bumi) Meratus menjadi UNESCO Global Geopark (UGGp), setelah ditetapkan sebagai Geopark Nasional pada 2018.
Badan Pengelola Geopark Meratus (BPGM) mengatakan, saat ini Geopark Meratus memiliki 54 situs warisan budaya yang terbentang di wilayah Kalsel.
Dalam rentang waktu tujuh bulan ke depan, pemerintah daerah fokus memperbaiki dan membangun segala akses dan fasilitas yang belum memadai agar Geopark Meratus layak untuk mendapatkan status Global Geopark dari UNESCO.
Sejarah budaya Kalimantan Selatan dituangkan ke dalam 54 situs Geopark Meratus, yang nantinya pengunjung bisa mengetahui semua keterangan melalui papan informasi yang dipajang.
Keberlanjutan Geopark Meratus bergantung pada kolaborasi antara pemerintah, masyarakat lokal, dan pihak terkait lainnya. Program ini menciptakan platform di mana tradisi lokal, seperti Maliu dapat bersinergi dengan upaya pelestarian alam dan budaya dalam merajut keberlanjutan kawasan Pegunungan Meratus.
Kolaborasi yang baik akan memastikan bahwa Geopark Meratus tidak hanya berfungsi sebagai area konservasi, tetapi juga sebagai pusat kearifan lokal dan objek wisata yang berkelanjutan.