Jakarta (ANTARA) - Komnas Perempuan menyebut kasus pembunuhan menantu perempuan yang dilakukan ayah mertua di Pasuruan Jawa Timur merupakan tergolong femisida.
"Kasus pembunuhan oleh mertua terhadap menantunya yang sedang hamil termasuk femisida," kata Anggota Komnas Perempuan Rainy Hutabarat saat dihubungi di Jakarta, Jumat.
Menurut Rainy Hutabarat, perempuan menjadi sasaran pembunuhan karena posisinya dipandang sub-ordinat dan makhluk seksual.
"Pelaku femisida bisa laki-laki dari mana saja, mulai dari pasangan yang dapat disebut femisida pasangan intim, orang tak dikenal, ayah tiri, mertua, bahkan juga pejabat publik atau aktor negara," katanya.
Femisida adalah pembunuhan terhadap perempuan yang didorong oleh kebencian, dendam, penaklukan, penguasaan, penikmatan dan pandangan terhadap perempuan sebagai kepemilikan sehingga boleh berbuat sesuka hatinya.
Pihaknya menyebut femisida merupakan bentuk kekerasan berbasis gender yang paling sadis dan ekstrem.
Femisida umumnya bukan kekerasan tunggal, melainkan kekerasan berlapis.
Korban mengalami kekerasan fisik atau kekerasan lainnya sebelum dibunuh.
"Dalam kasus femisida oleh mertua terhadap menantu yang tengah hamil, korban dibunuh saat mempertahankan diri, mencegah pemerkosaan oleh mertua laki-laki," kata Rainy Hutabarat.
Namun, istilah femisida sendiri belum dikenal dalam perundang-undangan nasional.
Komnas Perempuan menyebut data terpilah untuk pembunuhan berbasis gender atau femisida belum tersedia di kepolisian, sehingga femisida masih diperlakukan sebagaimana pembunuhan pada umumnya.
Sebelumnya, F (23), seorang perempuan yang tengah hamil tujuh bulan ditemukan meninggal dunia di rumahnya, di Pasuruan, Jawa Timur, Selasa (31/10).
Korban diduga dibunuh oleh ayah mertuanya, K (52), dengan menggunakan pisau.
Sebelum korban dibunuh, pelaku berniat memperkosa korban.
Saat peristiwa tragis itu terjadi, korban sedang berada di rumah bersama ayah mertuanya. Sementara suami korban sedang bekerja.
"Kasus pembunuhan oleh mertua terhadap menantunya yang sedang hamil termasuk femisida," kata Anggota Komnas Perempuan Rainy Hutabarat saat dihubungi di Jakarta, Jumat.
Menurut Rainy Hutabarat, perempuan menjadi sasaran pembunuhan karena posisinya dipandang sub-ordinat dan makhluk seksual.
"Pelaku femisida bisa laki-laki dari mana saja, mulai dari pasangan yang dapat disebut femisida pasangan intim, orang tak dikenal, ayah tiri, mertua, bahkan juga pejabat publik atau aktor negara," katanya.
Femisida adalah pembunuhan terhadap perempuan yang didorong oleh kebencian, dendam, penaklukan, penguasaan, penikmatan dan pandangan terhadap perempuan sebagai kepemilikan sehingga boleh berbuat sesuka hatinya.
Pihaknya menyebut femisida merupakan bentuk kekerasan berbasis gender yang paling sadis dan ekstrem.
Femisida umumnya bukan kekerasan tunggal, melainkan kekerasan berlapis.
Korban mengalami kekerasan fisik atau kekerasan lainnya sebelum dibunuh.
"Dalam kasus femisida oleh mertua terhadap menantu yang tengah hamil, korban dibunuh saat mempertahankan diri, mencegah pemerkosaan oleh mertua laki-laki," kata Rainy Hutabarat.
Namun, istilah femisida sendiri belum dikenal dalam perundang-undangan nasional.
Komnas Perempuan menyebut data terpilah untuk pembunuhan berbasis gender atau femisida belum tersedia di kepolisian, sehingga femisida masih diperlakukan sebagaimana pembunuhan pada umumnya.
Sebelumnya, F (23), seorang perempuan yang tengah hamil tujuh bulan ditemukan meninggal dunia di rumahnya, di Pasuruan, Jawa Timur, Selasa (31/10).
Korban diduga dibunuh oleh ayah mertuanya, K (52), dengan menggunakan pisau.
Sebelum korban dibunuh, pelaku berniat memperkosa korban.
Saat peristiwa tragis itu terjadi, korban sedang berada di rumah bersama ayah mertuanya. Sementara suami korban sedang bekerja.