Jakarta (ANTARA) - Musik keroncong Tugu dalam lagu berjudul Oud Batavia mengalun merdu membelai syahdu gendang telinga pada awal 50 peserta Walking Tour tiba di Kampung Tugu, Jakarta Utara.

Andre Juan Michiels, keturunan warga negara Portugis generasi ke-10 yang tergabung dalam grup musik Krontjong Toegoe, menceritakan bahwa mereka adalah grup musik yang berdiri sejak 1988 dan masih melestarikan musik keroncong Tugu sampai saat ini.

Berangkat dari sejarah panjang, musik asli Indonesia yang lahir di kawasan berjuluk Kampung Portugis itu masih bisa dinikmati hingga sekarang.

Termasuk lagu Oud Batavia yang menceritakan tentang Batavia tempo dulu, yakni suatu suasana pada masa itu yang membuat penulis lagunya terkesan hingga terinspirasi menciptakan syair-syair yang unik dalam bahasa campuran Melayu dan Belanda.

Selesai bernyanyi, Andre pun coba mengenalkan sejarah Kampung Tugu. Kampung Tugu merupakan salah satu kampung tertua di Jakarta dan ditempati oleh nenek moyangnya (generasi pertama warga negara Portugis) sejak tahun 1661.

Kaum Mardijkers (tawanan perang Belanda yang dimerdekakan dan dibawa ke Batavia) kemudian membuka lahan dan bercocok tanam, menangkap ikan, hingga berburu.

Adapun bukti sejarah bahwa Kampung Tugu merupakan kampung tertua di Jakarta, antara lain terlihat dari keberadaan gedung Gereja Tugu, Cilincing, Jakarta Utara.

Gedung tersebut terakhir dibangun kembali pada tahun 1747 oleh tuan tanah Belanda Justinus van der Vinch karena sempat rusak. Namun pembangunan kembali gedung itu tetap mempertahankan mimbar dan jendela yang masih autentik.

Hingga kini, Gereja Tugu masih bertahan dan digunakan sebagai tempat peribadatan masyarakat Tugu dan sekitarnya.

Gedung gereja itu pun masih menghadap ke timur, bukan menghadap ke Jalan Raya Tugu di sisi utara. Hal itu karena dulu akses ke Kampung Tugu adalah dari saluran Kali Gomati.

Pada zaman itu, kali atau sungai tersebut merupakan akses utama masyarakat di sana untuk bermobilitas.

Kali Gomati dibangun pada abad V Masehi pada masa Kerajaan Tarumanegara di bawah kekuasaan raja ketiga, Purnawarman.

Panjang Kali Gomati 6.112 tumbak atau sekitar 12 kilometer, selesai dibangun setelah digarap  selama 21 hari.

Selesai pembangunan Kali Gomati, Raja Purnawarman membuat prasasti yang kini dikenal sebagai Prasasti Tugu, salah satu prasasti bersejarah yang tersimpan di Museum Nasional Indonesia atau juga dikenal Museum Gajah.

Prasasti Tugu diukir dengan huruf Pallawa dan sempat membuat terkesan Kaisar Naruhito dan Permaisuri Masako saat berkunjung ke Gedung A Museum Nasional Indonesia pada ruang Organisasi Sosial lantai 3, 20 Juni 2023.
Prasasti Tugu menceritakan jejak sejarah keterkaitan harmoni antara manusia Nusantara dengan alam guna menjaga keberlanjutan lingkungan, khususnya pada tata kelola air.

Kali Gomati kala itu dibangun untuk mengairi sawah dan mencegah banjir. Namun seiring perjalanan waktu, berkembang menjadi sarana lalu lintas perdagangan dan pelayaran antardaerah.

Di lokasi Prasasti Tugu saat itu ditemukan apa yang disebut Batutumbuh di Tugu, Jakarta Utara. Penamaan daerah penemuan sebagai Batutumbuh juga ada kaitannya dengan penemuan Prasasti Tugu.

Karena tanah di Tugu, Jakarta Utara, tergerus, maka semakin kelihatan dasarnya terkubur batu. Karena batu semakin muncul ke permukaan, maka oleh masyarakat sekitar akhirnya disebut sebagai "batu tumbuh".

Benda bersejarah itu kemudian diidentifikasi dan dinyatakan sebagai prasasti bersejarah, lalu dipindahkan ke Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen atau yang kini dikenal sebagai Museum Nasional pada 1911 setelah sebelumnya diletakkan sementara di Gereja Tugu yang terletak di Kampung Tugu.

Kampung yang menyimpan sejarah masa lalu Jakarta itu masih bisa dinikmati hingga kini. Dari perjalanan sejarah Kampung Tugu itu hendaknya membuat warga belajar, betapa penting menjaga tradisi agar tetap lestari hingga nanti.

Tujuannya, aga masyarakat pada masa mendatang tidak lupa bagaimana leluhurnya memiliki beberapa kearifan lokal yang berhubungan dengan pengelolaan air.

Kultur menjaga air tetap mengalir merupakan keharusan bagi generasi penerus pada masa mendatang.

Untuk memperingati Hari Pariwisata Sedunia, 50 peserta diundang mengikuti kegiatan Walking Tour di Kampung Portugis Tugu oleh Suku Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Parekraf) Kota Jakarta Utara berkolaborasi dengan Wisata Kreatif Jakarta, pada akhir September ini.

Sebanyak 50 orang yang terlibat sebagai peserta kegiatan itu terdiri atas unsur komunitas, vlogger, pelajar, Abang None Jakarta Utara, dan sejumlah unit kerja perangkat daerah terkait.

Kasudin Parekraf Kota Jakarta Utara Shinta Nindyawati menyatakan bahwa generasi saat ini harus bangga bahwa Jakarta Utara memiliki kekayaan yang luar biasa, mulai dari sejarah, budaya, kearifan lokal mengelola air.

Krontjong Toegoe pun merupakan cikal bakal pertumbuhan musik keroncong di Indonesia. Jadi, kawasan Kampung Tugu, yang merupakan bangunan cagar budaya, harus dilestarikan. Keberadaannya kini menjadi salah satu tujuan wisata pesisir Jakarta Utara.

Napak tilas di Kampung Portugis bukan sekadar berwisata, melainkan menjadi langkah untuk menyusuri masa lalu beserta jejak-jejak budaya beserta kearifan lokal yang ditinggalkan, seperti  Gereja Tugu, rumah kuno Portugis, musik keroncong Tugu, hingga kuliner khas setempat.

Kini kian banyak orang yang memahami mengapa Kampung Tugu disebut lokasi  bersejarah.

Kampung Tugu memiliki beragam keunikan. Tidak hanya memiliki bangunan bersejarah, namun ada pesan kuat dari leluhur, agar setiap generasi menjaga air tetap mengalir di Jakarta.












 

Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Menyusuri jejak sejarah di Kampung Tugu Jakarta Utara

 

Pewarta : Abdu Faisal
Editor : Syarif Abdullah
Copyright © ANTARA 2024